Marriage issue

1113 Words
Selia terlihat sangat menakjubkan dengan bodycon merahnya yang dipadukan stiletto berwarna senada. Najla lebih terlihat anggun dengan slip dress berwarna putih. Dan aku mengandalkan little black dress ketat dan strap heels silver untuk malam ini. Black is never go wrong. Setelah lelah menari di lantai dansa yang penuh sesak kami bertiga memesan makanan ringan dan minuman. Selia tentu saja memesan vodka and cranberries favoritnya. Sementara aku memesan mocktail  dan Najla bertahan dengan sodanya. “Arah jam 7. Cowok ganteng dijamin high class.” Ujar Selia yang berpura-pura mengaduk minumannya setelah sedikit mengintip pada cowok itu. Najla memutar kedua bola matanya menanggapi perkataan Selia. Berbeda denganku yang penasaran, tentu saja aku mengikuti arahan Selia. Sial! Bad timing. Aku menoleh padanya tepat saat dia memperhatikan kami. Aku tersenyum menghindari kecanggungan lalu kembali memutar kepalaku mengacuhkannya. “Sialan, gue kepergok merhatiin doi.” Ucapku sambil mengambil kentang di atas meja. Kedua temanku terbahak-bahak. “Gatel sih, lo.” Ledek Najla. Diantara kami bertiga, Najla lah yang paling cuek untuk urusan laki-laki. Bukan berarti mataku jelalatan, please, Rei kekasih paling sempurna untukku. Namun, salahkan naluriku yang terlewat kepo. Selalu ingin tahu apa yang ada disekitar. Lebih tepatnya, makhluk tampan apa yang ada disekitar. Eh, itu bukan jelalatan, kan? Menurutku sih, bukan. “Oops, he’s coming.” Aku baru mencerna perkataan Selia tepat saat suara laki-laki terdengar disampingku. “Girls.” Sapanya sambil mengangguk. Cowok itu, yang belakangan diketahui bernama Christian, ternyata sosok dengan rasa percaya diri yang lumayan tinggi.  Mungkin karena dia adalah CEO sebuah startup terkemuka di Jakarta ditambah lagi wajah blasterannya memang tampan dipadukan dengan badannya yang gagah. Dia bergeming di meja kami lebih lama dari yang ku perkirakan dan terlihat mencoba mengenalku lebih dekat. Walaupun sebelumnya Najla sudah menyinggung sekilas alasan kami disini karena aku yang sedang berulang tahun dan pacarku sedang di luar negeri. Seolah tidak peduli, dia hanya mengangguk mendengar penjelasan Najla. Najla melemparkan pandangan menyeringai dan aku tahu dalam hati dia menertawakanku karena dianggap memberi Christian sinyal untuk mendatangiku. Selia masih melayani cowok itu dengan bincang-bincang ramah yang terlalu basa-basi. Najla hanya tertawa dan sibuk dengan ponselnya. Aku menderita karena harus berpura-pura lapar dan lebih memedulikan kentang yang sudah hampir habis karena berpindah mengisi perutku. Sayang sekali aku meninggalkan ponselku dirumah karena percuma saja membawa ponsel tanpa baterai. Yah, lagipula aku sedang tidak mengharapkan telepon dari siapapun. Satu-satunya cowok yang kuharapkan akan menghubungiku tidak akan menelepon karena sibuk dengan kliennya. The precious client, over than me. “Masih lapar? Mungkin kita bisa pindah ke lantai atas buat dinner.” Tawar Chris yang dengan geli memperhatikanku menghabisi kentang itu hingga habis. Yah, you didn’t see me eat a bucket of KFC wings, right, Chris? You’ll surprise if you do, kataku dalam hati. Aku menggeleng sambil tersenyum. “Kita rencananya emang mau pulang kok setelah ngabisin ini. Dia udah di absen suaminya.” Jelasku sambil mengedikan daguku ke arah Najla. Dengan pengertian dia mengangguk dan pergi pamit kembali ke mejanya beberapa menit setelah aku mengatakan itu. “Oh, gitu ya.. ngebanting harga jual gue dengan cara sebut-sebut suami yang sama sekali ga tahu kapan ketemunya.” “Lah, emang lo demen sama dia? Kenapa daritadi nyuekin tu cowok.” “Yang diperhatiin dari awal sama doi itu cuma lo. Emang lo kira gue mau jadi pilihan kedua?” “Lo ketiga kali, Naj. Kan yang kedua gue.” Selia menyela dengan bercanda. Najla berpura-pura kesal sambil mengutarakan pendapatnya, “Tapi itu emang tipe lo banget sih, Sel.” Selia selalu mencari pria bule. Minimal blasteran. Dia tidak pernah berkencan dengan pria lokal. Menurutnya, pria lokal tidak ada yang sesuai dengan seleranya. Walaupun ada, pria tersebut biasanya tidak cocok dengan karakter Selia yang terlalu bebas dengan dirinya. Namun, dari semua pria yang dekat dengannya tidak ada yang ingin ia pertahankan hingga tahap yang lebih serius. Rugi, katanya, masih banyak pria yang mengantre. Ayahnya berasal dari Australia, yang menyebabkan mata Selia berwarna biru cerah dan rambut pirang keemasan. Membuatnya terlihat cantik dipadukan dengan hidung yang mancung dan badannya yang tinggi. Aku dan Najla memiliki tinggi badan hampir sama. Najla 167cm sedangkan aku 169cm. Tinggi badan Selia mengalahkan kami berdua yaitu 174cm. Lagi-lagi karena gen dari ayahnya. Kedua orangtuanya bercerai saat dia berumur 9 tahun. Ibunya pulang ke Jakarta, kota asalnya, lebih dulu. Selia baru mengikuti ibunya saat ia menginjak SMA. Disanalah kami bertiga bertemu dan menjadi dekat hingga sekarang walaupun kita bekerja di perusahaan dan bidang yang berbeda. Dulu, Najla adalah gadis kutu buku yang selalu menghabiskan waktunya di ruang osis. Berbeda jauh dengan penampilannya sekarang yang anggun. Karena aku berpacaran dengan ketua osis disana, sesekali aku sering mampir dan membawakan makanan untuk pacarku atau menunggunya selesai rapat. Dan entah sejak kapan aku menjadi terlalu akrab dengan Najla walaupun dulu dia jutek setengah mati karena merasa terganggu dengan kedatanganku. Aku tidak menyangka Najla akan cepat akrab saat aku mengenalkan Najla pada Selia yang satu kelas denganku. Mungkin karena Selia selalu bersikap terbuka pada siapapun. Diam-diam aku mensyukuri pertemanan kami walaupun sikap kami bertolak belakang. “Tipe gue sih, itu nya gede gitu kayaknya.” Ucap Selia sambil menatap kepergian Christan yang sedang kembali ke mejanya. Aku membelalakan mata pada Selia. “Badannya maksud gue.” Jawabnya asal. “Gebetan lo yang terakhir juga itunya gede tapi tetep aja lo ga mau.” Komentarku itu membuat Selia menjawab dengan tangkas. “Gede kalau b******k ga ada gunanya buat dipertahanin.” “Makanya ga usah terpaku sama ukuran. Mana ada cowok yang fisik sama kelakuannya sempurna.” Canda Najla setelah menghabiskan tegukan terakhir soda ke-3 nya. “Ada kok. Rei gede tapi nggak berengsek. Ya, ngga Sab?” “Monyet lo.” Tanganku menoyor kepala dengan penuh pikiran kotor milik Selia. “Off limit ya cowok gue, ga usah dibahas.” Kedua sahabatku tertawa mendengar komentarku. “Tapi Sab, Rei itu emang udah pujaan hati lo banget ga sih? Dia bisa memenuhi faktor kepuasan lo dalam segala hal.”             “True!” Selia berteriak setuju menanggapi argumen Najla. “Dia ganteng, itu faktor utama, kedua, well his body menggambarkan kepuasan lo di suatu hal lainnya, ketiga dan yang paling terpenting kelakuannya normal dan siap lo jadikan suami.” “Please, don’t bring the marriage issue in front of my face.” Aku memutar mataku pada mereka berdua. “Nooooo, don’t get me wrong. Gue ga nyuruh lo nikah sama dia atau gimana tapi yang satu ini layak untuk lo pertahanin.” “Well, I’m not keeping someone in my room. Kalo dia mau stay disamping gue, gue sisakan tempat. But if he doesn’t want to? The door is always open for good.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD