Rere dan Raka
Seperti biasa, kehadiran Rere selalu dihindari oleh murid-murid yang lainnya. Ketika akan berpapasan, mereka lebih memilih balik kanan, bertukar arah, beringsut mundur, bersembunyi, atau pura-pura tidak melihat. Rere tersenyum geli melihat gelagat mereka yang sengaja menghindarinya. Gadis itu terus melangkah dengan gaya pongah. Lengan kemejanya selalu digulung, baju seragamnya tidak pernah dimasukkan ke dalam. Sebuah plester melekat di keningnya walau sebenarnya tidak ada luka di sana. Gerakan mulutnya yang tak henti mengunyah permen karet, semakin menambah kesan brutal.
Rere memang suka berpenampilan boyish. Di luar sekolah, dia lebih sering terlihat memakai setelan baju kaos longgar dan celana kodok. Dia juga selalu disemprot Revan karena sering memakai kemeja dan boxer miliknya. Rere memang jauh dari kesan feminim. Selain bedak tabur dan doedorant, dia tidak mengenal jenis kosmetik wanita lainnya.
“Apa lo lihat-lihat?” Rere menghardik kumpulan siswa yang tak sengaja menengok ke arahnya.
Kumpulan siswa itu hanya menunduk lalu lari terbirit-b***t. Rere pun kembali melanjutkan langkahnya menuju kelas yang terletak di ujung koridor. Rambut keritingnya yang mengembang ikut naik turun mengiringi langkah kakinya. Tiba-tiba langkah kakinya itu terhenti. Rere menyipitkan matanya sejenak lalu kembali mundur sebanyak tiga langkah. Kemudian perlahan dia menoleh pada sosok yang kini menarik perhatiannya itu.
Pintu kelas di samping Rere kini menutup pelan. Rere tersenyum geli lalu mendekati pintu itu. Perlahan dia mendongakkan kepalanya ke balik pintu itu. Rere melihat seorang siswa bersembunyi dibalik pintu itu dengan ekspresi ketakutan. Siswa itu menutup matanya rapat-rapat dengan mulut komat-kamit entah apa yang tengah disebutnya. Selain itu jemarinya juga berpagutan erat seakan tengah memohon pertolongan.
“Ngapain lo sembunyi-sembunyi gitu, ha!” hardik Rere sambil menendang pintu itu dengan keras.
“M-maaf ... a-aku nggak sembunyi kok.” siswa itu tergelinjang kaget dan menjawab terpatah-patah.
Rere tersenyum sinis lalu meludahkan sisa permen karetnya ke lantai. Sementara Siswa itu menelan ludah dan kembali menundukkan wajah. Kali ini Rere menatap tajam, lalu meletakkan tangannya di atas bahu siswa itu secara perlahan. Bagai terkena aliran listrik, tubuh siswa itu langsung menggelinjang begitu tangan Rere menyentuhnya. Lututnya mulai menggigil, jemarinya bergetar saat membetulkan letak kacamatanya yang melorot.
“Oke, nama lo Danny, ya?” tanya Rere sambil menyentuh name tag milik Danny di bajunya.
“I-iya ...,” jawabnya lirih.
“Sekarang balikin uang gue!” Rere menengadahkan telapak tangannya.
“U-uang apa?” tanya Danny.
“Nggak usah pura-pura b**o deh ... kemaren kan, lo minjem uang gue dua puluh ribu. Sini cepet balikin,” bentak Rere.
“A-aku nggak pernah minjem uang sama kamu,” Danny menatap heran.
“Yaelah ini kutu beras pake acara lupa. Semalam lo minjem uang sama gue,” ulang Rere.
“K-kapan? di mana?” tanya Danny.
Rere tersenyum lalu mendekatkan wajahnya ke telinga Danny. “Semalam ... di mimpi gue,” jawabnya.
“M-mimpi maksudnya?” Danny makin kelabakan.
Rere meniup poni keritingnya. Tatapan matanya kini berubah ganas. Dia tidak lagi bersuara dan hanya menatap Danny dengan pandangan yang mematikan. Tidak ingin memperpanjang masalah, Danny pun lekas mengeluarkan uang dari kantongnya. Setelah melihat uang kertas itu, barulah raut wajah Rere kembali melunak.
“Nah gitu dong. Pokoknya ... kalo lo di mimpi butuh uang, gue bakalan kasih pinjeman sama lo. Asalkan lo bayar keesokan harinya, oke!” Rere mengelus kepala Danny yang masih ketakutan.
_
Rhea Khusnadi atau biasa dipanggil Rere memang dikenal sebagai bandit di sekolah. Banyak gelar yang telah disematkan padanya. Mulai dari biang kerok, tukang palak, ratu bully, hingga mafia sekolah. Setiap harinya ada saja kelakuan Rere yang membuat pamornya sebagai murid paling nakal naik level. Bahkan dia telah mengukuhkan dirinya sebagai yang paling terkuat setelah berhasil mengalahkan Gilang dalam duel maut.
Sebelumnya, Gilang menyabet predikat sebagai murid yang paling ditakuti. Banyak para siswa yang berakhir menjadi kacungnya. Mereka berperan sebagai dayang-dayang Gilang yang selalu setia melayani. Mengerjakan semua PR dan tugas sekolah, membelikan makanan dan rokok, serta memijit Gilang ketika dia merasa lelah.
Namun Gilang harus menelan kenayataan pahit setelah kalah dari Rere. Gadis itu tak segan menantang Gilang untuk duel satu lawan satu. Kejadian itu menjadi tontonan menarik warga sekolah. Mereka beramai-ramai berkumpul sepulang sekolah untuk menyaksikan pertarungan antara Raja Preman dan Ratu Bully yang akan memperebutkan tahta.
Sebagai pemilik sabuk hijau Taekwondo, mengalahkan Gilang hanya perkara mudah bagi Rere. Gilang bahkan tidak punya kesempatan untuk menyerang balik. Dia berakhir dengan luka lebam dan memar kebiruan yang tersebar disekujur tubuh dan wajahnya. Bahkan Rere menutup aksi heroiknya itu dengan tendangan maut yang mengakibatkan Gilang kehilangan kesadaran waktu itu.
Peristiwa itu menyebabkan Gilang frustasi dan tidak lagi masuk ke sekolah. Hingga akhirnya tersiar kabar bahwa Gilang mengajukan permohonan untuk pindah ke sekolah lain. Sejak saat itulah Rere menjadi satu-satunya, the one and only sebagai murid paling ditakuti dan menduduki kursi kekuasaannya.
_
Setelah mendapatkan uang dari Danny, Rere malah memutar arahnya menuju kantin. Dia asyik menyeruput cappucino cincau kesukaannya dan memilih nangkring di sana sambil memakan bakwan ibu kantin yang terkenal enak. Sesekali Rere tertawa keras setelah melihat layar handphonenya. Sementara tangannya yang lain sibuk menyuap bakwan ke mulutnya. Sudah tidak terhitung berapa biji bakwan yang dia makan. Ibu kantin yang sedari tadi memerhatikannya, kini mulai gelisah dan akhirnya mendatangi Rere.
“Sudah berapa biji bakwan yang kamu makan?” tanya Ibu kantin.
“Wah, si Ibuk, kenapa buk? Ibuk takut bakwannya nggak dibayar?” Rere merasa tersinggung.
“Kamu itu kan, suka tipu-tipu! Makan bakwan 5 ngakunya 3,” ucap Ibu kantin.
“Loh kok gue yang di salahin?” tanya Rere.
“Emang kamu yang salah! Kalau begini terus bisa tekor saya jualan di sini,” jawab Ibu kantin.
“Terus itu apa maksudnya?” Rere menunjuk sebuah spanduk iklan yang dijadikan Ibu kantin sebagai pelindung dagangannya dari cahaya matahari.
“Maksud kamu?” tanya ibu kantin.
“Di situ tertulis diskon 50% artinya bayar separoh dong! Masih mending saya makan 5 bayar 3, harusnya saya makan 6 biji baru bayar segitu. Ih, si ibuk ngemakan riba,” tuding Rere.
“I-itu ... k-kamu ....” ibu kantin kewalahan menjawab nyinyiran Rere.
“Udah Buk ... jangan nyolot! udah jelas ibuk yang salah,” lanjut Rere.
“Kamu itu bener-bener kurang ajar ya! siapa sih orang tua kamu? pasti mereka nggak pernah ngajarin sopan santun.” Ibu kantin mulai tersulut emosi.
Rere memicingkan matanya sejenak. Kemudian dia bangkit dari duduknya dan menatap Ibu kantin lekat-lekat. Sang ibu kantin kini berhenti meracau melihat sorot tajam mata Rere. Dia terus berjalan mendekat sambil menghempaskan dagangan ibu kantin yang terjangkau oleh tangannya. Sementara murid-murid yang lain hanya diam. Mereka semua tidak ingin terlibat dan berurusan dengan sosok Rere.
“Ibuk boleh ngehina saya sesuka hati Ibu, tapi jangan pernah bawa-bawa orang tua saya.” Rere menekankan ujung kalimatnya.
Jemari Rere meraih pegangan kuali besar yang penuh berisi nasi goreng. Dia tersenyum sinis, lalu menatap ibu kantin yang kini menggelengkan kepala. Mengisyaratkan agar Rere tidak melakukan hal itu. Suasana kantin menjadi tegang. Seluruh mata kini tertuju pada Rere yang hendak mengamuk. Rere bersiap menjungkir balikkan kuali itu, namun tiba-tiba ada sebuah tangan yang mencegatnya.
“Jangan ngelampiasin emosi lo sama makanan, nggak baik,” ucapnya.
Rere menoleh pada pemilik suara. Itu Raka, teman sekelasnya.
“Lo nggak usah ikut campur!” teriak Rere.
Raka tersenyum. “Maaf ... tapi kali ini gue harus ikut campur. Sekali lagi gue minta maaf,” ucap Raka.
Raka kemudian mengeluarkan beberapa helai uang kertas dan menyerahkannya pada Ibu kantin sambil tersenyum.
“Apa-apaan sih lo?” Rere semakin jengkel.
Raka tidak menjawab, dia hanya tersenyum lalu membawa Rere pergi dari sana.
“Sebentar lagi bel bakalan bunyi, ayo kita ke kelas,” ucapnya.
_
Raka Cahya Prasetio, siswa yang menyeret Rere itu adalah sosok yang berhasil meraih gelar Student of the year tahun ini. Bukan tanpa alasan, Raka telah berhasil mengharumkan nama sekolah dengan menyabet juara 1 tingkat nasional dalam olimpiade matematika. Selain itu Raka juga berkontribusi dengan menjabat sebagai ketua Osis yang terkenal dengan inovasi dan program-program yang gemilang. Selain prestasi dalam dunia akademik, Raka juga terkenal sebagai seorang vokalis band. Meski masih manggung dari kafe ke kafe, Raka sudah memiliki basis fans yang selalu setia dan loyal padanya.
Mempunyai otak encer dan wajah yang rupawan, semakin melengkapi kesempurnaan Raka. Dia menempati posisi nomor satu dalam survey siapa siswa yang paling diinginkan untuk berkencan. Raka berpostur atletis dengan rahang yang tegas. Bola matanya berwarna cokelat pudar, beralis tebal, hidung mancung, dan memiliki bibir berwarna merah alami.
“Lo ngapain, sih?” Rere menarik tangannya dari genggaman Raka.
“Maaf, tangan lo sakit, ya?” tanya Raka dengan wajah polos.
“Eh, lo nggak usah sok baik sama gue, okey.” Rere mendengus kesal dan bermaksud pergi.
“Emangnya salah kalau gue baik sama lo?”
Pertanyaan Raka membuat Rere kembali balik badan. Dia menatap siswa paling populer itu dengan tersenyum sumbang. Rere mendekat sambil melipat tangannya di d**a. Kemudian Rere bermaksud menyerang Raka dengan tatapan mautnya.
Rere terhenyak. Dia menjadi grogi karena Raka justru membalas tatapannya. Keduanya beradu pandang dalam waktu yang cukup lama. Kali ini seulas senyuman terbentuk di wajah Raka. Rere pun mengerjapkan matanya dan segera mengalihkan tatapannya. Rere merasa ada hawa aneh yang baru saja menyergap dan membuatnya jadi merinding seketika.
“Besok gue bakalan ganti uang lo tadi.” Rere akhirnya bersuara kembali.
“Oke.” Raka menjawab singkat lalu tersenyum.
“Lo nggak usah sok-sok senyum manis sama gue!” bentak Rere.
“Jadi menurut lo senyum gue manis?” senyum Raka semakin merekah.
“Bukan gitu ... maksud gue-”
Untuk pertama kalinya lidah Rere terpeleset. Dia kesulitan meneruskan kata-katanya. Rere mendengus kesal dan segera melangkah pergi. Namun bunyi bel langsung berdentang keras. Seiring dengan itu juga Raka kembali meraih tangannya dan memaksanya masuk ke kelas.
_
“Sialan! gara-gara dia gue harus terjebak sama mata pelajaran yang gue benci.” Rere berucap pelan dengan sebuah pensil yang sudah patah di genggamannya.
Di depan kelas, bu Sukma masih sibuk menerangkan rumus Fisika yang membuat otak Rere panas. Lembaran bukunya dipenuhi coretan semberawut melambangkan isi pikirannya. Kekesalannya bertambah melihat sosok Raka yang sibuk bolak balik ke depan kelas. Karena memang hanya dia yang bisa menyelesaikan soal yang di berikan oleh bu Sukma.
“Sepertinya cuma Raka yang memerhatikan saya menerangkan pelajaran. Kenapa kalian tidak belajar seperti Raka? Dia itu selalu serius dan fokus ... makanya gampang menangkap pelajaran,” puji bu Sukma.
“Iya Buk ...!” seisi kelas menjawab serempak dengan nada lesu.
“Bu, saya izin keluar sebentar.” Rere mangacungkan tangannya.
“Terus nanti nggak balik lagi?” bu Sukma sudah bisa membaca pikiran Rere.
“Saya kebelet Bu! Ibu mau saya kencing di sini?” ancam Rere.
“Pokoknya selama jam pelajaran saya, tidak ada satu pun yang boleh izin keluar!” tutup bu Sukma.
Rere memutar bola matanya pelan. “Iya deh, bu-suk ... ma,” ucap Rere.
Seisi kelas sontak terkejut dan kini menatap padanya, termasuk Raka.
“Kamu bilang apa tadi?” tanya bu Sukma.
“BU-SUK MA!” Rere mengulang kalimatnya dengan intonasi dan penekanan lebih jelas.
“Kamu mempermainkan saya?”tanya bu Sukma.
“Oh, nggak Bu. Saya nggak suka mainin orang,” jawab Rere asal.
“Berani betul kamu, ya! Benar-benar tidak punya sopan santun. Sekarang juga kamu keluar! Kamu tidak boleh mengikuti pelajaran saya lagi!” kata bu Sukma marah.
“Oke!” Rere menjawab santai sambil mengemasi perlengkapan alat tulisnya.
Dia bersenandung pelan dan bersikap acuh pada bu Sukma yang masih menatapnya. Sementara murid-murid lainnya kini sudah tegang dan takut. Rere bahkan terkesan sengaja berlama-lama memasukkan buku ke dalam tasnya. Setelah itu barulah dia melangkah riang keluar kelas.
“Saya jamin nilai fisika kamu semester ini tidak akan tuntas!” ucap bu Sukma lagi.
Rere balik badan, lalu tersenyum.
“OKE!” jawabnya santai.
_
Bersambung...