2. Mempertaruhkan Hidup dan Mati

1565 Words
Dayang Arum di hadapkan pada pilihan sulit. Jika dia tetap bertahan di atas tebing, bukan tidak mungkin sang pangeran akan celaka bersama dirinya. Jika Dayang Arum nekat terjun ke segara Lintang, bukan tidak mungkin kalau mereka berdua akan hanyut dan tenggelam. “Duh Gusti ... biarlah nyawa aku pertaruhkan! Aku rela kehilangan nyawa demi bayi yang tidak berdosa ini.” Teriakan Dayang Arum memecah kesunyian bersama suara air dari segara yang seolah merespons ucapan Dayang Arum. “Menyerahlah, Dayang! Kau sudah tidak memiliki pilihan! Serahkan bayi itu atau kalian akan kami lenyapkan?” suara seorang prajurit andalan Arundapati mengintimidasi Dayang Arum. “Sampai nyawaku kalian ambil pun aku tidak akan menyerahkan bayi ini kepada kalian! Manusia-manusia laknat! Tidak punya hati!” Dayang Arum berteriak memaki. “Lancang, Kau! Ini untuk yang terakhir! Serahkan bayi itu atau kalian akan kami musnahkan? Akan kami berikan kalian kepada harimau di alas ini! Ha ha ha ....” “Biadab!” Dayang Arum tetap bertahan sembari mendekap erat sang pangeran kecil. “Setan, Kau! Prajurit! Tangkap mereka! Serang! Lenyapkan dan penggal kepala mereka!” Kepala prajurit itu bernada kasar. “Duh Gusti ... hamba mohon, selamatkan bayi yang tidak berdosa ini,” teriak Dayang Arum meratapi kekejaman penguasa Arundapati. Byurrr ... Dayang Arum terjun ke segara Lintang. Semua prajurit terperangah dengan apa yang baru saja mereka saksikan. Tebing yang cukup tinggi itu, diterjang oleh Dayang Arum yang berharap bahwa dengan menceburkan diri ke segara Lintang, maka masih ada peluang sang bayi akan selamat. Dari pada tetap bertahan di atas tebing lalu jika mereka tertangkap oleh prajurit Arundapati, maka tidak akan ada lagi peluang sang pangeran hidup di dunia ini. “Tidak perlu dikejar! Percuma saja! Lihatlah Dayang Arum menceburkan dirinya ke Segara Lintang yang dalam, angker, dan aku yakin, mereka tidak akan selamat! Karena kemungkinan untuk hidup hanya angan-angan. Ayo kita kembali ke Arundapati dan menyampaikan berita ini kepada Raja Ganendra!” Kepala prajurit merasa menang dan keping emas menanti dirinya di sana. *** Perjalanan panjang menuju Arundapati memakan waktu berhari-hari. Setelah sekian lama mereka mengejar Patra dan Dayang Arum yang membawa pergi sang bayi. Akhirnya Patra tewas terkena pedang dan Dayang Arun beserta bayi malang itu terjun ke Segara Lintang. Suara derap telapak kaki kuda beradu dengan batu-batuan di tanah Arundapati, terdengar jelas hingga sampai ke istana. Mereka yang berada di dalam istana, tengah bersiap menantikan kabar baik atau buruk. Sang Raja durjana tengah duduk di singgasananya. Terlontar senyuman menyeringai bagai serigala yang siap menerkam mangsa. Perasaannya sangat yakin kalau bayi Selir Puspa Kencana sudah tewas bersama dayang dan pengawal pribadi Puspa Kencana. Manik mata sang Raja durjana itu menggelap seperti tidak memiliki jiwa welas asih. Seolah hanya tersirat dendam yang merengkuh jiwanya. Tidak ada kata maaf jika sekali menyakiti hati sang Raja, maka balasannya adalah hukuman mati. *** Kepala prajurit sudah tiba di halaman istana. Langkah kakinya penuh kemantapan, lantaran dirinya akan memberi kabar bahagia untuk sang junjungan. Kepala prajurit itu bernama Bayu Aji. Seorang prajurit yang patuh kepada sang Raja Ganendra. Tidak berbeda jauh. Sifat mereka benar-benar, licik, dan kejam. Bayu Aji melangkah memasuki istana Raja Ganendra. Dengan gagah dan penuh kemenangan, Bayu Aji bangga karena berhasil menjalankan titah sang Raja. Ia menghentikan langkahnya tepat di depan pendopo singgasana sang Raja. Bayu Aji memberikan hormat kepada Raja Ganendra yang menjadi junjungannya. “Hamba menghadap Gusti Raja untuk menyampaikan berita baik.” Bayu Aji berlutut di depan pendopo Raja Ganendra. “Katakan berita baik apa yang akan Kau sampaikan, Bayu!” Raja Ganendra terlihat sangat bahagia. Walau dirinya sudah mengetahui apa yang dimaksud oleh Bayu Aji. “Hamba beserta bala tentara yang pergi mengejar Patra dan Dayang Arum yang membawa bayi Selir Puspa Kencana, telah berhasil menjalankan titah Gusti. Patra tewas di tangan bala tentara kita. Sedangkan Dayang Arum menjatuhkan tubuhnya ke dalam Segara Lintang bersama bayi yang ada dalam dekapannya.” Bayu Aji menjawab dengan penuh rasa percaya diri. “Apa kau sudah memastikan bahwa mereka tidak akan selamat?” Raja Ganendra mengernyitkan dahinya. “Kami jamin, siapa pun yang menceburkan diri ke dalam Segara Lintang dari atas tebing alas Nggaranggati, tidak akan selamat. Karena tubuh kita akan terhempas, mengingat betapa dalamnya Segara Lintang. Ditambah lagi, tebing di alas Nggaranggati sangat tinggi. Batu-batu cadas yang tajam menanti mereka di bawah sana, Gusti.” Bayu Aji menyampaikan berita itu dengan mengulas senyuman penuh kemenangan. “Kau! Berani-beraninya Kau membunuh mereka, hah? Lancang sekali! Ha ha ha ... kalimat itu yang akan terlontar dari mulut manis Puspa Kencana. Ha ha ha ... bayi yang dirindukannya kini telah kembali ke pangkuan Sang Dewa ... Ha ha ha ....” tawa sang Raja durjana itu menggelegar bagai petir yang bergemuruh menyapu cakrawala. “Prajurit! Cepat kabarkan kepada Selirku, Puspa Kencana. Masa lalunya sudah lenyap bersama kenangan. Ha ha ha ....” Raja Ganendra sangat bahagia mendapatkan kabar itu. Ia memang berniat mengubur dalam-dalam masa lalu Puspa Kencana. Selir yang sangat dia cintai melebihi sang Permaisuri. Namun, anak yang ada dalam kandungan Puspa Kencana bukan darah daging Raja Ganendra. Sehingga ia ingin melenyapkan anak itu. Inilah alasan Puspa Kencana meminta tolong kepada Dayang Arum dan Patra agar membawa pergi putranya sejauh mungkin dari kejaran prajurit Arundapati. *** Seorang wanita duduk termenung melihat ke arah luar jendela di istananya. Pandangannya mengedar menatap bunga yang layu di taman itu. Raganya lesu duduk bersandar pada jendela. Pikirannya tidak fokus, dan hatinya hampa. Ia merasa tidak memiliki daya. Bagaimana tidak? Dia kehilangan bayi yang telah ia kandung selama sembilan bulan lamanya. Anak yang ia tunggu-tunggu kehadirannya. Seorang putra yang lahir dari perjuangan antara hidup atau meregang nyawa. Peluh yang bercucuran kala itu, bersambung dengan tetesan air mata yang menganak sungai. Tiada henti Puspa Kencana bersedih meratapi nasib putranya. Mata lentik itu kini sembap. Tidak ada lagi rona bahagia di wajah sang Selir. Bahkan Puspa Kencana tidak bernafsu makan selama beberapa hari ini, lantaran memikirkan keselamatan putranya. ‘Aku rela menukar nyawaku dengan keselamatan putraku ... Dewananda ... bagaimana keadaanmu saat ini, Nak? Ibu berharap semoga suatu hari nanti Kau akan kembali ke dalam pelukan Ibu.’ Tangis Puspa Kencana kembali pecah. Memecah kesunyian yang begitu lekat terasa, sepeninggal sang pangeran kecil. *** Suara ketukan pintu dari seorang dayang pengganti Dayang Arum, membuyarkan lamunan Puspa Kencana. Tok! Tok! Tok! Pintu yang terbuat dari kayu jati yang diukir itu diketuk oleh Dayang Malawati. Istana indah itu bak sangkar emas untuk Puspa Kencana. “Gusti, hamba menghadap,” suara tegas Malawati terdengar hingga sanubari Puspa Kencana. ‘Ada apa ini? Mengapa hatiku terus menyesak, jantungku terus berdebar seketika Malawati memanggilku? Semoga ini bukan pertanda buruk,’ ujar Puspa Kencana dalam hatinya. “Masuklah, Mala!” Puspa Kencana mengizinkan Dayangnya masuk ke dalam ruangan itu. Ia beranjak dari duduknya. Walau raganya masih bergeming di depan jendela itu. Puspa Kencana mengusap air matanya. Ia berusaha terlihat tegar walau hatinya kini sudah hancur sebagian, karena serangkai peristiwa yang ia hadapi. “Sendiko Dawuh Gusti, hamba menghadap Kanjeng Selir Puspa Kencana, karena ada seorang prajurit Raja Ganendra membawakan pesan yang ingin disampaikan kepada Gusti.” Malawati masih berlutut. “Kabar apa yang dia ingin sampaikan?” Puspa Kencana memiliki firasat buruk. Jiwanya bagai tersambar petir. Tubuhnya bergeming seperti sulit untuk bernapas. Malawati hanya menunduk dan menggelengkan kepalanya. “Biarkan dia masuk! Katakan saja, berita apa yang ingin dia sampaikan!” Puspa Kencana berusaha tegar dengan berita yang akan disampaikan utusan itu. Sang utusan mulai berjalan ke arah pendopo Selir Puspa Kencana. Begitu juga Puspa Kencana berjalan ke luar menuju pendopo. Ia berdiri tegar di pendopo, menunggu berita yang segera disampaikan oleh salah seorang prajurit Raja Ganendra. Selir Puspa Kencana menatap dengan tegar prajurit yang menemuinya itu. “Sendiko Dawuh Gusti, hamba menghadap Gusti Puspa Kencana karena ada berita dari Gusti Raja Ganendra yang harus hamba sampaikan.” Prajurit itu berlutut sembari merapatkan kedua telapak tangannya di depan wajahnya sembari menunduk memberi hormat. “Katakan! Berita apa yang ingin Raja Ganendra sampaikan kepadaku?” Puspa Kencana tidak pernah menganggap atau mengakui dirinya sebagai selir. Baginya pernikahannya dengan sang Raja durjana itu adalah sebuah petaka. “Mohon maaf, Gusti. Apabila yang saya sampaikan kepada Gusti akan menyakiti hati dan perasaan Gusti Puspa Kencana. Saya mendapatkan mandat untuk menyampaikan bahwa Patra tewas di tangan prajurit Raja Ganendra. Sedangkan ....” prajurit utusan itu merasa iba. Suaranya tercekat ketika ingin mengatakan kabar paling buruk kepada Puspa Kencana. “Katakan! Ka—katakan saja!” Puspa Kencana memerintahkan dengan lirih. Firasatnya mengatakan bahwa berita itu adalah berita yang sangat buruk. Ingin rasanya berteriak. Namun, Puspa Kencana menahannya. “Dayang Arum terjun ke Segara Lintang bersama bayi yang digendongnya. Mereka dipastikan tenggelam, karena kecil kemungkinan untuk selamat. Mengingat banyak juga batu-batuan karang yang tajam di sana. Jika ada yang terjun ke dalamnya, kemungkinan besar tidak bisa selamat.” Prajurit itu masih menunduk. “Pergilah! Katakan kepada Raja junjunganmu! Putraku tidak akan mati! Putraku akan kembali suatu hari nanti!” dengan suara menahan jeritan. Napas yang seakan mencekik tenggorokan. Puspa Kencana masih berpegang teguh pada keyakinannya. “Aku yakin putraku masih hidup! Pergilah! Sampaikan itu kepada Raja junjunganmu!” Puspa Kencana yang lemah lembut, bisa garang dengan suara yang menggelegar bagai petir yang siap menyambar Raja Ganendra. “Sendiko Gusti. Hamba mohon pamit.” Prajurit itu berjalan mundur hingga menghilang dari pandangan. Puspa Kencana langsung ambruk. Air matanya seakan mengering. Saat ini yang ada dalam hatinya hanya keyakinan bahwa suatu hari putranya akan kembali menemuinya di Kerajaan Arundapati. *** Bersambung ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD