Chapter 1 - Not a fault

1577 Words
  Bagi Adam, pernikahannya dengan Laras bukanlah sebuah kesalahan. Laki-laki itu sangat mencintai Laras. Bahkan, setelah ia mendengar bahwa Laras hamil setelah pengumuman kelulusan, Adam rela mundur dari cita-citanya yang ingin sekali pindah ke Jepang dan berkuliah di negara tersebut. Adam menikah dengan Laras dua minggu setelah mereka lulus dari SMA. Baik orang tua Adam mau pun Laras, sudah sepenuhnya melepas keduanya karena mereka sudah menikah. Sebuah kontrakan dua petak pun menjadi naungan Adam dan Laras untuk berlindung. Adam bekerja sebagai seorang pramusaji di sebuah restoran fast food ayam goreng yang terkenal itu. Sedangkan Laras, selagi kehamilannya belum besar dan terlihat, ia memutuskan untuk bekerja di sebuah toko roti untuk menambah tabungan mereka. Baik Laras mau pun Adam, keduanya sama-sama berjuang dan memutuskan untuk bangkit. Dari pada menyesalinya, lebih baik memperbaiki keadaan, begitu kata Laras. Seperti biasa, Adam menjemput Laras pulang bekerja lalu mengajaknya membeli makan malam di pinggiran. Mereka berdua terlihat bahagia, meskipun sebagian tetangga kontrakan mereka selalu berbisik di belakang mereka. “Kamu mau makan apa?” tanya Adam, mereka berada di atas motor menuju jalan pulang. “Hmmm… Pangsit?” kata Laras, yang tiba-tiba saja makanan tersebut muncul di benaknya. Adam mengerutkan dahi, “Pangsit? Udah malam, di mana nyarinya? Besok pagi aja ya?” “Yaudah, kalau gitu nasi goreng aja gimana?” “Oke, setuju.” Adam segera pergi menuju penjual nasi goreng langganannya, dan mereka menunggu nasi goreng pesanan mereka selesai dibuatkan. Laras meraba perutnya yang sudah mulai sedikit membuncit, usia kandungannya sudah menginjak empat bulan. “Namanya, nanti siapa ya?” tanya Laras sambil mengusap perutnya lembut. “Siapa ya? Kan kita belum tau anaknya perempuan atau laki-laki,” kata Adam. Mata Laras memandangi suasana malam hari yang sudah cukup sepi, hanya ada beberapa kendaraan yang lewat di sana. “Cahaya! Kalau perempuan namanya Cahaya, kalau laki-laki namanya Binar.” “Binar itu nama perempuan,” kata Adam menolak, “kurang macho!” “Eh iya juga ya,” kata Laras yang kini sepemikiran dengan Adam. “Nih mas nasi gorengnya, totalnya dua puluh dua ribu,” kata sang penjual nasi goreng, memberikan pesanan milik Adam. Adam segera membayar nasi goreng tersebut, dan mereka pun pulang menuju kontrakan kecil mereka yang berada tidak jauh dari posisinya sekarang. Seperti biasa, sesampainya di kontrakan, mereka berdua makan malam bersama dan setelahnya, Adam membuatkan s**u hamil untuk Laras. Meskipun laki-laki itu lelah, Adam harus menyelesaikan beberapa pekerjaan rumah yang memang belum sempat dikerjakan. Seperti mencuci pakaian dan mencuci piring. Tentu saja, karena mereka tidak memiliki mesin cuci, Adam harus mencuci baju secara manual. Seumur hidupnya, belum pernah laki-laki itu mencuci baju dengan tangannya. Namun setelah menikah, Adam tidak tega jika harus menyuruh Laras mengerjakan itu semua. “Kamu tidur aja, biar aku yang lanjut,” kata Laras, perempuan itu berdiri di ambang pintu kamar mandi mereka yang berukuran mini. Adam menggeleng, “Kamu tidur aja, ras, sebentar lagi aku selesai kok. Kamu jemur ini aja besok pagi, oke?” Laras mengangguk, “Yaudah, aku tidur duluan ya.” Adam tersenyum, “Good Night.” Karena hari sudah cukup larut, Adam segera menyelesaikan cucian pakaiannya, memerasnya agar Laras tidak perlu memerasnya lagi ketika menjemur, dan meninggalkan ember berisi cucian tersebut di depan pintu kamar mandi. Laki-laki itu kemudian pergi ke kasur busa mereka yang terletak di lantai, dan berbaring tepat di sebelah Laras. Istrinya sudah tertidur, sedangkan Adam masih belum bisa memejamkan matanya meskipun tubuhnya merasa lelah. Ia tidak tahu apa yang akan ia hadapi lagi di masa depan. Apa lagi, di usianya yang baru menginjak sembilan belas tahun ini, ia sudah harus siap menjadi calon dari seorang anak yang dikandung oleh Laras. Adam meletakan tangannya di bahu Laras, ia mengelusnya dengan lembut. Air mata turun di pipinya, dan laki-laki itu memeluk istrinya dan membenamkan wajahnya di punggung Laras.     *   “Bayinya sehat,” kata dokter Rita, seorang dokter yang selama ini menangani kehamilan Laras. “Tapi, di sini perlu diperhatikan. Karena Laras hamil diusia remaja, hal itu beresiko besar. Jadi, Laras harus seirng-sering makan sayuran, buah-buahan, dan makanan yang banyak seratnya ya.” Adam mengangguk mengerti, “tapi kalau Laras makan sehat, bayinya nggak akan kenapa-napa kan dok?” “Saya belum bisa memastikan bagaimana nanti ketika persalinan. Yang jelas untuk saat ini, bayinya sehat.” “Jenis kelaminnya, laki-laki atau perempuan dok?” tanya Laras. “Perempuan ya,” kata dokter Rita. Laras yang selama ini tahu apa saja resiko hamil ketika usia remaja pun mengangguk mengerti, ia bersyukur setidaknya bayinya sehat dan tidak terjadi apa-apa. Sebuah foto hasil pemeriksaan ultrasonografi milik anaknya pun ia pajang sebagai wallpaper handphonenya. Bayinya berjenis kelamin perempuan, dan ia sangat bahagia mendengarnya. Selesai pemeriksaan oleh dokter, Laras diberikan berbagai macam vitamin untuk mendukung kehamilannya. Gadis itu sudah tidak bekerja di toko roti karena kehamilannya yang sudah menginjak usia delapan bulan. Keseharian Laras di kontrakannya hanya mengerjakan pekerjaan rumah, memasak, dan menunggu Adam pulang. Kini di hidupnya tidak ada lagi tujuan lain selain melahirkan bayinya dengan sehat dan juga selamat. Laras baru saja menyelesaikan makannya, dan tiba-tiba saja, perempuan itu merasa perutnya mulas seperti terpelintir. Beberapa menit kemudian, ia menyadari bahwa sebuah cairan keluar dan membanjiri roknya. Karena panik dan dalam keadaan kesakitan, Laras buru-buru menghubungi Adam yang sedang bekerja. Laki-laki itu tentu saja tidak memegang handphonenya ketika bekerja, ia tidak menjawab telepon dari Adam. Tidak memiliki pilihan lain, Laras menghubungi orang tuanya. “Mah, air ketuban Laras keluar,” ujar Laras di tengah-tengah kepanikannya. “Kamu kan baru delapan bulan, Ras. Kamu yakin itu air ketuban? Adam di mana?” tanya ibunya dari balik telepon. “Yakin mah, perut Laras sakit. Laras bisa minta jemput nggak buat ke rumah sakit? Adam lagi kerja dan nggak angkat telepon,” jelas Laras. “Oh yaudah, mama siap-siap ke sana, kamu tungguin mama dan jangan kemana-mana.” “Iya mah.” Dengan penuh kesakitan, gadis itu hanya bisa duduk di sebuah kursi dan menunggu ibunya pulang sambil terus menghubungi Adam. Laki-laki itu masih tidak merespon, karena ini masih pukul tujuh malam, dan malam minggu. Sudah pasti, restoran cepat saji cukup sibuk karena banyak sekali pelanggan yang datang. Laras menggigit bibirnya, gadis itu hampir kehilangan kesadarannya karena tidak kuat menahan rasa sakitnya. Karena jarak rumah orang tua Laras dengan kontrakannya tidak terlalu jauh, ibunya sudah sampai di sana setelah lima belas menit kemudian. Laras segera dibawa ke rumah sakit, sementara ayah perempuan itu pergi ke tempat kerja Adam untuk mengabari laki-laki itu.   *   Pukul delapan malam, Adam masih sibuk dengan pekerjaannya ketika salah satu rekan kerjanya menghampirinya dan mengatakan bahwa ada seorang pria yang mencari dirinya dan ingin berbicara dengannya. Adam segera menghampiri pria itu, yang ternyata adalah ayah mertuanya. “Ada apa, pak?” tanya Adam bingung. “Laras melahirkan,” ujar ayah Laras, membuat mata Adam melebar. “Tapi kan usia kandungan Laras masih delapan bulan pak?” tanyanya bingung. “Mungkin bayinya akan lahir prematur,” ujar ayah Laras, “kamu bisa izin kan?” tanyanya. Adam mengangguk, ia berjalan dengan cepat mencari supervisornya, dan izin untuk pulang lebih cepat dengan alasan ibunya masuk rumah sakit. Ia memang merahasiakan status pernikahannya dari restoran tempatnya bekerja. Kalau tidak, mungkin Adam tidak bisa bekerja di tempat itu. Untung saja, supervisornya mengizinkan Adam untuk pulang lebih dulu meskipun restoran sedang ramai. Ia segera bergegas pergi ke rumah sakit dengan perasaan gelisah bersama ayah mertuanya. Astaga, bagaimana bisa seperti ini? Adam baru menyadari bahwa apa yang dikatakan dokter Rita soal kehamilan di usia remaja itu memang sangat berbahaya dan penuh resiko. Meskipun Laras sudah berusaha makan makanan sehat, hal itu tidak menutup kemungkinan akan terjadi sesuatu ketika perempuan itu melahirkan.   Adam sampai di rumah sakit, Adam langsung masuk ke dalam ruang persalinan. Laki-laki itu bisa melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Laras tengah berjuang melahirkan anaknya dengan penuh kesakitan. Digenggamnya tangan Laras, dielusnya kepala perempuan itu, hingga Adam sendiri hampir menangis melihatnya. “Kamu pasti bisa, Ras,” kata Adam, menyemangati istrinya. Laras mengangguk, ia berjuang cukup lama untuk melahirkan anaknya. Ketika datang, Laras sudah dibawa ke ruang persalinan karena ternyata kulit kepala bayinya sudah terlihat. Mengejutkan? Tentu saja, hal ini mengejutkan bagi perempuan yang baru pertama kali mengalaminya. Ketika terakhir kalinya Laras mengejan dengan sekuat tenaganya yang tersisa, bayi mereka lahir, dan suara tangisan langsung memenuhi ruang persalinan. Laras tersenyum lega, begitu juga dengan Adam yang langsung mengecup kening istrinya, merasa bangga dengan Laras yang sudah berhasil melahirkan anak perempuan mereka. Namun, kebahagiaan Adam tidak bertahan lama. Laras mulai kehilangan kesadarannya ketika pendarahan tidak bisa dihentikan oleh dokter. Adam sudah berusaha menepuk-nepuk pipi Laras agar perempuan itu tetap sadar, namun Laras tetap memejamkan matanya. Perlahan, bibir Laras mulai pucat. Adam mulai histeris, sementara dokter berusaha kuat menahan pendarahan Laras. “Laras… Bangun Ras!” pekik Adam. Begitu pun dengan ibu Laras, ia mencoba untuk membangunkan anak perempuannya. Wanita itu kemudian memberanikan diri mengecek napas Laras. Setelahnya, wanita itu mundur perlahan, menyadari bahwa Laras sudah tidak bernapas. Adam yang melihat reaksi ibu mertuanya pun bingung, ia segera melakukan apa yang dilakukan oleh ibu mertuanya, mengecek napas Laras. Dan benar, istrinya sudah tidak bernapas. Dokter Rita pun segera mengecek kondisi Laras, wajahnya berubah ketika menyadari hal yang sama. Pendarahan memang sudah berhenti, namun Laras kehilangan nyawanya. “Saya minta maaf,” kata dokter Rita, ia merasa bersalah tidak bisa menyelamatkan Laras. Adam mulai menangis meraung-raung, ia memeluk istrinya yang sudah tidak bernyawa. Ia berharap hari ini hanyalah mimpi. Ia tidak mungkin menjalani hidup ini tanpa Laras. Ia tidak mungkin mengurus bayi itu sendirian…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD