Part 4: That Man is The Leader

1011 Words
Aku masih terdiam memikirkan dua hal yang menghantui diriku saat ini, hingga seketika aku teringat saat kali pertamanya aku terbangun.    Pada saat itu Minor mengatakan bahwa ketika ditemukan, aku tertidur dan membeku di dalam sebuah peti yang berdasarkan perak serta dilapisi oleh beberapa batu berlian, aku tertidur dalam posisi terlentang memeluk sebuah buku dan nyaris seluruh tubuhku diselimuti oleh salju yang entah kenapa tidak pernah mencair.   Aku sama sekali tidak mengingat apapun selain nama yang tertulis di atas peti itu… ‘Adrea Hunt’ dan sejak saat itu aku mengetahui bahwa itu adalah namaku. aku kembali berpikir kemungkinan saja aku mengalami geger otak sebelum akhirnya tertidur dalam peti itu dan laki-laki bermata biru itu mungkin saja seseorang yang penting dalam hidupku hingga aku selalu teringat dan memimpikannya, namun… satu hal yang menjadi janggal dalam mimpiku itu adalah makhluk yang bernama Motremus, apakah itu adalah memori terburukku hingga akhirnya aku lebih mengingatnya dibandingkan dengan memori indahku? Ataukah mereka Makhluk mengerikan itu lah sebabnya aku ditemukan tertidur dalam peti itu??   Aku meringis ketika aku sama sekali tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan diriku sendiri, yang membuatku sangat frustasi memikirkannya.   …   “jadi, hal apa yang membuatmu sempat melamun seperti boneka vodoo.. dan membuatmu meringis seperti orang yang gila, Adrea?” kutolehkan kepalaku menatap seorang wanita yang kini berdiri dihadapanku. Wanita dengan tubuh berisi dan kulit sawo matang, dengan pipi yang chuby dan merona, senyuman manis terlihat di bibir tebal dengan warna nude, rambut panjang dengan keritingan indah yang ia ikat setengah kuncir kuda dengan pita yang juga indah, terbuat dari akar-akar kering yang diubah sedemikian rupa menjadi amat cantik. Kedua bola matanya yang berwarna hazel itu nampak mengkilap ketika menatapku dengan lembut hingga dalam sejenak aku sempat beranggapan bahwa dia adalah seorang malaikat yang memiliki kecantikan serta kelembutan yang begitu terpancar ketika melihat ia tersenyum seperti saat ini.   Kugelengkan kepalaku dengan singkat berusaha untuk sadar dari rasa keterpukauanku pada kedua matanya yang indah dan kudapati dia segera terdiam di tempatnya “aha, maaf… aku hanya ingin menyapamu” aku tersenyum mendengar kepolosannya, kutatap ia yang datang menghampiriku dengan membawakan segelas air hangat yang di dalamnya terdapat dua butir biji yang asing bagiku.   Ia berhenti tepat dihadapanku, kedua matanya tak pernah lepas menatapku dengan lembut dan segera menyerahkan gelas itu padaku  “minumlah, ini akan memulihkanmu” Kukerutkan keningku ketika menatap tanaman serta biji yang berada di dalamnya “ apa ini?” alih-alih langsung meminumnya, perasaan ragu menggerayang dihatiku hingga akhirnya aku bertanya dan menatapnya yang masih tersenyum disampingku “itu adalah ramuan herbal yang kutemukan, minumlah! tubuhmu akan terasa semakin segar” setelah mendengar jawabannya pandangku kembali menatap tanaman hijau serta biji itu. Rasa penasaranku masih tertuju kepada mereka, dedaunan yang terlihat sedikit merekah serta biji yang melayang-layang didalam minuman yang kugenggam hingga akhirnya kembali kutanyakan lagi padanya mengenai apa yang ada didalam gelas tersebut yang membuatnya kini menghela nafas ringan “Jericho dan Manadarake, itu adalah tanaman rose jericho serta biji dari tanaman mandragora yang belum tumbuh.” Kutelan salivaku mendengarnya “minumlah” meski terdengar lembut namun kata-kata itu seperti sebuah perintah mutlak untukku, lagi dan lagi kutelan salivaku yang terkumpul di dalam mulutku, dengan ragu kuminum air itu. Kukernyitkan dahiku kala kurasakan air itu menjadi kental ketika mengalir dalam tenggorokkanku, rasanya asin dan sedikit berbau amis hingga mual yang kurasakan begitu kuat. Anggap saja seperti kau tengah meminum cairan ayam (telur ayam) di tengah tempat penyembelihan sapi yang darahnya bau sekali.   Kedua mataku bertemu pandang dengan gadis yang masih tersenyum di sana “telanlah, kau akan sehat” ucapan yang dia lontarkan membuatku menghela nafas dalam gelas tersebut dan segera menghabiskan seluruh air yang ada dalam gelas itu. Kutatap daun yang berwarna hijau yang tersisa di dalam gelas itu perlahan menjadi kering dengan cepat dan berubah warna menjadi hitam kecoklatan, sedangkan biji mandagora itu sudah berada di dasar gelasnya, Aku dibuat bingung bukan main karenanya, ingin sekali rasanya kembali kutanyakan kenapa dedaunan itu bisa berubah namun kuurungkan ketika ia memperkenalkan dirinya padaku.   Cassandra, dia adalah gadis yang menemukanku dan lebih tepatnya lagi adik dari lelaki yang bernama Rason itu. Pandanganku kini teralihkan olehnya yang saat ini mengulurkan tangannya padaku, sejenak terdiam sebelum akhirnya kujabat ia dan kupasang senyumanku sambil kuucapkan namaku “aku Adrea, Adrea Hunt” dia mengangguk dengan pasti, dan entah kenapa kami sama-sama melontarkan senyuman manis satu sama lain. Teman baru, anggap saja ia teman baru yang telah menyelamatkanku dari kematian, aku merasa berterimakasih padanya yang mau menolongku saat itu.   Embusan angin terasa begitu kencang hingga dengan jelas kami mendengar suara gelebukannya menerpa gubuk ini, kedua pandangan kami kini tertuju pada Rason yang datang dan segera meraih Rifle yang tersandar di dinding gubuk itu.   Untuk sekedar informasi saja, kukatakan gubuk karena bangunan ini terbuat dari kayu-kayu yang disatukan sedemikian rupa, diikat oleh akar-akar yang kuat untuk dijadikan tempat berteduh dan berlindung, ukuran dari gubuk ini tidaklah besar karena di sini menurutku hanya mampu menampung 4-5 orang jika mereka berbaring bersamaan secara vertikal di sana.   Kutatap Rason kini memasukan peluru dan memasangnya dengan segera, membuatku cukup penasaran hingga bertanya “ada apa?” tanyaku “mereka datang” jawabnya dengan singkat, beriringan dengan itu ia segera pergi keluar dari gubuk itu disusul dengan Cassandra. Membuatku semakin penasaran sebenarnya siapa yang datang? Itulah yang ada dalam pikiranku.   Kulangkahkan kakiku perlahan mendekati tirai yang menutupi gubuk itu, menghalangi perbatasan antara gubuk dan dunia luar. Ketika aku keluar dari gubuk tersebut, temperatur udara terasa menurun. Dingin … semakin dingin di sekitar sini, sepi, indra penglihatanku tidak menangkap satupun orang yang ada di sana, namun ketika kupincingkan pandanganku kearah depan, betapa terkejutnya aku hingga kubulatkan kedua bola mataku saat melihat sekitar 20-30 Malea yang datang menghampiri kami.   Perasaanku resah dan pandangku teralih menatap Rason yang berdiri tepat di depan sana membawa Rifle yang sempat ia bawa “Fire!!!!” teriaknya dengan lantang, bersamaan dengan itu kudapati berpuluh-puluh orang muncul dari banyak sudut dan mulai menembaki Malea dengan peluru dan panah yang mereka buat sendiri. Dentuman senjata terdengar menggelegar tiada habisnya, satu persatu tubuh Malea tumbang karena tembakan yang melesat ke arah mereka secara bergantian dan tak berkesudahan, tidak ada kesempatan bagi mereka untuk melawan, melindungi diri maupun bersembunyi.   Tembakan itu terdengar silih berganti hingga perlahan menghilang ketika Rason memberikan sebuah aba-aba berupa mengangkat tangan kanannya yang ia kepal. Kutatap Rason mulai berjalan mendekati mereka, “apakah mereka masih hidup?” tanyaku penuh dengan keraguan dan dia menoleh seraya menggelengkan kepalanya, ya… dipastikan mereka binasa detik itu juga. Rason berjalan mendekatiku dan Cassandra “Mereka mati, ayo bersihkan sampah ini!!” “Baik!!” perintah yang dikeluarkan Rason serta reaksi orang-orang disekitar sini membuatku dapat menyimpulkan bahwa Rason adalah pemimpin mereka di wilayah ini.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD