RANTAU 2 - Selamat Datang di Jakarta

1867 Words
Keesokan harinya Damar masih berangkat ke sekolah seperti biasa. Tidak banyak perubahan yang ia rasakan kecuali bertambahnya rasa kepercayaan dirinya dan juga rasa bangga terhadap dirinya sendiri. Pemuda itu melangkahkan kakinya memasuki gerbang sekolah dengan dagunya yang sedikit terangkat. Bukan sombong, tetapi saat itu dia disambut oleh teman-temannya yang ikut merasa senang atas apa yang bisa diraih oleh Damar. “Damar! Aku mau titip oleh-oleh kalau nanti kamu balik ke Garut,” celetuk salah satu temannya. “Mau apa? Akan aku belikan kalian semua! Mau Monas? Mau apa lagi? Hahaha ….” sahut Damar sambil bercanda dengan teman-temannya. Begitulah kehidupan Damar dan teman-temannya yang senang bersenda gurau. Sejenak Damar sempat berpikir, apakah kehidupannya di Jakarta nanti akan sama dengan kehidupannya di Garut? Lingkup pertemanan yang terasa seperti keluarga, udara sejuk yang bisa dipastikan tidak akan sama dengan kota besar seperti Jakarta yang sudah penuh dengan kendaraan bermotor, makanan yang ia makan apakah akan sama seperti di sini. Meski Damar sudah mengetahui jika segalanya tidak akan sama, tetapi Damar tetap berharap jika dia bisa mendapatkan teman-teman yang baik seperti di Garut seperti sekarang. Hari kelulusan pun tiba, Damar dan para siswa lainnya kini mengenakan setelan jas untuk upacara kelulusan. Sedangkan untuk para siswinya, mereka mengenakan kebaya dengan rambut yang disanggul. Masing-masing dari mereka didampingi oleh orang tuanya, hanya saja tempat duduk yang disediakan terpisah. Pak Hadi Bramantya, bapaknya Damar, menatap dengan penuh kebanggaan dari tempat duduknya saat Damar dan dua siswa lainnya dipanggil naik ke atas panggung untuk memberikan sepatah dua patah kata pada seluruh orang yang hadir di sana sebagai wakil dari sekolahnya yang menerima beasiswa ke Jakarta. Tidak mungkin sebagai seorang bapak tidak merasa bangga terhadap prestasi yang diraih oleh anaknya ‘kan? Setelah acara kelulusan berakhir, Pak Hadi dan Damar langsung pulang ke rumahnya. Sang istri, Utari, saat ini sedang mempersiapkan acara syukuran untuk Damar. Setidaknya akan lebih banyak orang yang mendoakan Damar agar bisa menmpuh pendidikannya di Jakarta tanpa kendala sedikit pun, serta mendoakan kesuksesannya di Jakarta nanti. Beberapa hari kemudian Pak Hadi mengantarkan Damar ke Jakarta. Mereka menggunakan jasa travel untuk bisa sampai ke Jakarta. Sebuah mobil berjenis elf microbus kini sudah melaju di tengah jalan tol mengantarkan Pak Hadi, Damar, dan juga beberapa penumpang lain ke Jakarta. “Damar, nanti di Jakarta kamu harus jaga diri baik-baik ya,” pesan Pak Hadi pada putranya. “Iya, Pak,” jawab Damar. Kemudian Pak Hadi mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih ukuran yang besar dan tampak tebal, lalu dimasukkannya ke dalam tas Damar yang diletakkan di bawah kakinya. “Untuk kamu jaga-jaga di Jakarta,” ucap Pak Hadi setelahnya. “Apa itu, Pak?” tanya Damar penasaran dengan amplop tebal tersebut. Damar hendak membuka tas dan mengambil kembali amplop yang dimasukkan oleh bapaknya untuk melihat isi di dalamnya. Tetapi Pak Hadi dengan cepat menahan tangan Damar. “Sstt …! Jangan diambil,” kata Pak Hadi. “Apa itu, Pak?” Damar masih merasa penasaran dengan amplop putih tebal tersebut. Pak Hadi pun akhirnya menjawab, “Modal hidup untuk kamu nanti di Jakarta.” “Tapi kan Damar -” "Sstt ... diam saja kamu, Mar!” seru Pak Hadi seraya meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Damar. Sebagai orang tua tentunya Pak Hadi tidak mau membiarkan Damar hidup kesusahan di perantauannya. Dia menjual sebagian sawahnya dengan cepat pada orang yang dianggap kaya raya di desanya. Uang hasil penjualan sawahnya dia masukkan semuanya ke dalam amplop putih tadi sebagai modal bagi Damar hidup di Jakarta. Damar memang mendapatkan beasiswa untuk meneruskan pendidikannya, tetapi bukan berarti Damar juga mendapat fasilitas lengkap seperti tempat tinggal ataupun untuk biaya makan. Oleh karena itu Pak Hadi rela menjual sebagian sawahnya agar Damar tidaklah kelaparan dan memiliki tempat tinggal yang layak di Jakarta. Setibanya mereka di Jakarta, Pak Hadi dan Damar langsung mencari tempat tinggal untuk Damar yang jaraknya tidaklah jauh dari tempat Damar berkuliah nanti. Tempat tinggal yang dimaksud yaitu seperti rumah kos-kosan atau kontrakan. Mereka sempat menanyakannya pada warga sekitar, dan ditunjukkannya pada sebuah rumah kos yang memang biasa ditinggali oleh para mahasiswa. Tentunya harga sewa bulanannya tidaklah terlalu mahal. Sebuah kamar berukuran 2,5x2,5 meter di sebuah rumah kos dua lantai akan ditempati oleh Damar mulai malam ini. Pak Hadi juga akan menginap selama satu malam untuk beristirahat. Dia akan kembali ke Garut keesokan harinya. Di dalam kamar tersebut hanya terdapat sebuah kasur busa yang diletakkan di lantai dan juga sebuah lemari berbahan dasar plastik untuk penghuni kos meletakkan pakaian mereka. Jadi, semalaman itu Pak Hadi dan Damar memasukkan semua pakaian Damar ke dalam lemari, dan menyusun beberapa barang bawaan Damar yang lainnya di sudut-sudut kamar. Hari pun berganti dengan cepat. Pak Hadi berpamitan pulang pada putranya. Damar mengantarkan Pak Hadi sampai ke depan pintu gerbang rumah kos tersebut. Sebuah mobil elf microbus yang sama seperti kemarin sudah terparkir di depan sana siap untuk mengantarkan Pak Hadi kembali ke Garut. “Hati-hati nyak, Pak,” ucap Damar seraya memeluk sang bapak. “Kamu juga, jaga diri di Jakarta,” balas Pak Hadi. Kemudian Pak Hadi menaiki mobil tersebut. Damar yang berdiri di depan gerbang kini melambaikan tangannya saat mobil tersebut berjalan meninggalkan Damar. Mulai hari ini, kehidupan Damar yang penuh perjuangan dan pengorbanan di Jakarta sudah dimulai. Perjuangan pertama adalah dia harus mulai membiasakan diri dengan keramaian di kota Jakarta. Saat tinggal di Garut, saat waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam saja dia dan juga keluarganya sudah tidur dengan nyenyak. Akan tetapi kini di Jakarta, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan kamar di sebelahnya masih terdengar ramai. Bahkan tawa mereka yang terbahak-bahak mengganggu Damar yang hendak memejamkan kedua matanya. Lalu untuk mengisi perutnya Damar harus mencari warteg atau rumah makan di sekitar tempat kosnya. Satu kali dia makan bisa menghabiskan sepuluh hingga lima belas ribu rupiah. Sangat berbeda dengan saat dia di Garut. Ada ibunya tercinta yang selalu menyediakan makanan untuk dia dan adik-adiknya makan. Bahkan baru dua hari di Jakarta Damar sudah merindukan rumahnya di Garut. Dia juga merindukan sukun kukus yang biasa ia makan saat pagi hari. Hari ketiga di Jakarta Damar mendatangi tempat dimana ia akan melanjutkan pendidikannya. Damar menyerahkan segala kelengkapan yang diminta. Damar juga langsung diberitahu kapan ia akan mulai berkuliah dan apa saja yang harus ia lakukan di hari pertama kuliahnya. “OSPEK?” Damar tercengang saat melihat berkas yang ia dan yang lainnya terima sebagai panduan untuk seluruh mahasiswa baru. “Kamu tahu OSPEK nggak?” tanya seorang pemuda yang menghampiri Damar. Dilihat dari penampilannya tampaknya pemuda itu juga sama sepertinya, mahasiswa baru. Berkas yang berada dalam genggaman tangannya semakin meyakinkan Damar akan hal itu. “Pernah dengar, tapi belum paham apa maksudnya,” jawab Damar dengan logat sundanya yang kental. “OSPEK itu Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus. Ya … kurang lebih nanti akan ada kakak-kakak senior dan juga beberapa dosen yang akan membawa kita keliling kampus dan mengenalkan bagian-bagian dari kampus ini.” Pemuda itu berusaha memberikan penjelasan. “Oh … begitu,” sahut Damar sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ngomong-ngomong asal kamu dari mana? Logat sunda kamu jelas banget,” tanya pemuda tersebut. Damar pun menjawab, “Saya dari Garut.” “Garut? Wah, hebat kamu bisa kuliah di Jakarta,” puji pemuda tersebut. “Oh, iya. Kenalin nama gue Farel. Farel Mahardika,” lanjut pemuda itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. Damar menyambut uluran tangan Farel lalu balas memperkenalkan dirinya. “Saya Damar. Damar Hadi Pratama.” “Senang ketemu sama lo. Eh, nggak masalah kan kalau kita ngobrol pakai lo – gue?” tanya Farel. Damar mengangguk kikuk. Dalam benaknya dia langsung berpikir jika memang seharusnya di Jakarta mereka menggunakan kata tidak formal seperti lo dan gue saat berbincang dengan teman-temannya. “Damar, lo tahu kan saat kita OSPEK nanti kita juga akan dimarahi oleh kakak-kakak senior?” tanya Farel. Kurang lebih memang Damar sempat mendengarnya. Tetapi membayangkan hal itu sekarang membuat Damar menjadi sedikit gugup. Dia juga membayangkan apa yang akan terjadi padanya saat berkumpul dengan seluruh mahasiswa dan dimarahi secara bersama-sama. “Setidaknya kita akan bareng-bareng kan? Hehehe …,” kekeh Damar. “Betul juga sih!” sahut Farel. “Nggak perlu khawatir kalau begitu. Hanya tiga hari kan?” Perkataan Damar menenangkan Farel. “Hebat memang nyali anak rantau kayak kamu, Mar. Untung aku bisa ketemu sama kamu.” Farel menepuk punggung Damar seraya mengajaknya pergi dari sana. “Nggak perlu takut. Usaha saya bisa kuliah di Jakarta lebih berat dibandingkan dimarahi oleh senior-senior!” celetuk Damar. “Hahaha … iya benar!” Farel membenarkan perkataan Damar. “Eh, ngomong-ngomong habis dari sini lo mau ke mana? Kita makan dulu yuk!” ajak Farel kemudian. Sayangnya Damar menolak ajakan Farel. “Maaf, saya pulang saja. Saya makan di kosan saja.” Penolakan Damar didasarkan oleh pengalamannya dalam beberapa hari hidup di Jakarta dan harus menguras cukup banyak uang baginya hanya untuk biaya makan. Damar takut uang yang diberikan oleh bapaknya itu akan habis dengan cepat. Namun, Farel merasa sangat antusias untuk lebih lama berbincang dengan Damar. Dia baru menemukan teman dari daerah lain seperti Damar. Semua teman Farel adalah orang yang tinggal di Jakarta. Oleh karena itu Farel ingin mendekatkan diri dan juga bertanya-tanya pada Damar tentang kehidupannya di Garut. “Damar, lo tinggal di mana? Biar gue antar. Gue bawa motor kok,” Farel menawarkan tumpangan pada Damar. Mendengar jika Farel membawa kendaraan bermotor, Damar langsung menyetujui tawaran Farel. Karena dengan begitu ia akan menghemat ongkos angkot. “Benar mau antar? Kosan saya dekat kok di sana,” kata Dama seraya menunjukkan ke arah di mana kosannya berada. “Ya sudah ayo kita ke parkiran motor!” ajak Farel. Mereka berdua akhirnya melangkahkan kaki bersama-sama menuju ke parkiran motor. Farel memarkirkan motor maticnya berjajar dengan motor-motor lainnya. “Mana motor kamu?” tanya Damar. “Itu yang hitam,” tunjuk Farel. “Dia kuda hitam aku, Mar. Hehehe,” sambungnya terkekeh. Beruntungnya lokasi rumah kos Damar tidaklah terlalu jauh sampai harus melewati jalan protokol yang mewajibkan penumpang kendaraan bermotor yang duduk di kursi belakang wajib mengenakan helm. Lokasi rumah Damar masih berada di sekitar jalan tersebut. Biasanya hanya sekitar lima menit saja jika naik angkot. Jadi Farel dan Damar tidak perlu khawatir jika kali ini Damar tidak menggunakan helm. Sebelum benar-benar tiba di rumah kos tempat Damar tinggal, mereka menyempatkan diri mampir ke rumah makan yang menyediakan masakan Padang untuk membeli makan siang. “Kali ini lo gue yang traktir,” ucap Farel saat membayar makanan untuk dirinya dan juga untuk Damar. “Eh, jangan begitu. Ini saya bayar saja.” Damar merasa sungkan dan mengeluarkan selembar uang senilai dua puluh ribu rupiah. “Sudah, nggak apa-apa! Lain kali saja bayarin makanan gue. Yang itu lo simpan saja,” tolak Farel. Meski masih merasa sungkan dan tidak enak hati, tetapi Damar cukup berterima kasih pada Farel karena dengan begitu dia bisa menghemat pengeluarannya. “Makasih ya,” ucap Damar. “Santai aja,” balas Farel. Setelah itu mereka berdua melanjutkan perjalanan mereka menuju ke tempat kos Damar. Hanya sekitar dua ratus meter saja dai rumah makan tadi ke tempat kos Damar. Di dalam sana Damar dan Farel menikmati masakan Padang dengan minum sebotol air mineral dingin. Tak lupa mereka menambahkan kerupuk berbentuk bulat dan berwarna putih sebagai pelengkap saat makan masakan Padang tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD