1.1

1095 Words
Reza mengikuti langkah terburu-buru Uci dengan kesusahan, ia bahkan tidak sempat berpamitan pada salah satu dosen universitas tempat ia belajar dulu. Ketidakberdayaan Reza untuk mengejar Uci tentu saja bukan dikarenakan kaki cewek itu mengalami pertumbuhan pesat selama ia tinggal pergi, tapi karena kondisi tubuh Reza yang sudah sangat kelelahan ditambah dengan sama sekali belum makan seharian ini. “Ci!!!” panggil Reza kembali dan sama seperti sebelumnya, Uci hanya mempercepat langkah dan sekarang cenderung seperti seseorang yang sedang berlari. “Mau kemana? Mengadu pada mantanmu???” teriak Reza kesal. Sudah tidak diragukan lagi kebenaran tuduhannya yang satu ini. Uci dan mantannya yang sialnya juga adalah sahabat Reza sendiri benar-benar membuatnya cemburu, selalu. Duh memang kapan Reza tidak cemburu? Langkah Uci memelan dan tanpa Reza duga sang gadis pujaannya berbalik dan berjalan ke arahnya dengan wajah gelisah sekaligus ragu. “Jangan ganggu Raka!” Reza kira apa yang ingin cewek ini katakan. Ternyata hanya omong kosong yang membuatnya tertawa sumbang di trotoar jalan yang tidak bisa dikatakan sedang sepi. “Aku harus cerita ini ke Raka kan?” tanya Reza  masih terkekeh. “Jak! Aku yakin kamu masih mau berteman dengan kami-” “Kami??? Maksudnya kamu dan mantanmu itu? Kenapa semakin hari dalam beberapa tahun ini kamu dan dia menjadi bagian tidak terpisahkan??” “....” “Hentikan permainan ini, Ci, karena aku bahkan sudah memohon pada papaku untuk meminang kamu.” Wajah Uci memucat mendengar kata pinang-meminang yang dengan lancar Reza ucapkan. Sejak kapan temannya ini belajar untuk begitu terang-terangan? Uci menormalkan napasnya kemudian mengeluarkan jurus ampuh yang sudah bertahan selama enam tahun terakhir. “Aku pacar orang dan tidak akan putus dengannya.” “Oh ya? Apa kata pacarmu saat tahu pacarnya sering keluyuran dengan mantan pacar berkedok teman? Apa pacarmu tidak marah?” sindir Reza yang sama kesalnya dengan Uci. Bukan hal baru lagi bukan, kalau keduanya saling memanggang diri sendiri? Keduanya memang sudah terlahir dengan takdir untuk saling memancing permasalahan. “Pacarnya udah tahu kok, kalo Uci ga bisa jauh dari mantannya,” sahut sang mantan disaat Uci sedang berusaha mencari kata yang tepat untuk disemburkan ke Reza sedangkan Reza dengan menggebu ingin melihat bagaimana reaksi Uci. Uci langsung membuka matanya, mendapati Raka dengan rambut sediki mencuat. “Ka, lo? Lagi??” tanya Uci marah. Ia sangat ingin menendang Raka saat mantannya itu tidak menunjukkan pembelaan atas kecurigaannya. Lalu disinilah Reza untuk ribuan kalinya berdiri seperti orang bodoh di depan sepasang mantan yang selalu berbicara dari hati ke hati yang hanya mereka berdua yang mengerti. Sekarang Reza bahkan merasa ia sudah tak kasat mata karena perhatian Uci sudah kembali tertuju pada sahabatnya sendiri. “Gue tadi ditelfon Bian, katanya kalian bakalan perang lagi. Santai aja kali, Jak, liatin guenya,” tambah Raka Aditya Orlando pada temannya yang tampak tidak suka dengan keberadaannya saat ini. Raka mengambil tangan Uci dan Reza lalu membuat keduanya bersalaman dengan tangannya yang tetap membungkus kedua tangan manusia yang ia jumpai sedang membuat para pejalan kaki dan penjual sate mendapat tontonan gratis. Raka menutup matanya lalu menarik napas pelan dan tersenyum. Sudah lama mereka tidak merasakan perdebatan mubazir waktu seperti ini karena biasanya mereka akan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Kecuali Indah yang hanya sibuk dengan putranya yang tahun ini akan sekolah di taman kanak-kanak. “Kurang Indah ya, guys?” ucap Raka yang hanya ditanggapi oleh debu jalan dan daun kering yang beterbangan. Raka membuka mata dan menemukan Uci dan Reza yang sedang saling buang muka. “Elah.. Naufal aja ga gini amat sama temannya,” sambung Raka yang mulai kesal. Kenapa dua orang ini selalu membuatnya seperti berada dalam sebuah fashion show musim gugur dengan dirinya yang mengenakkan outfit musim semi??? “Kalian bener-bener bikin malu tau ga? Elo juga, pulang itu bilangin ke kita biar bisa dijemput, diajakin makan juga,” dan sekarang Raka sudah kembali dalam mode cerewet, berdialog dengan dirinya sendiri. Raka merangkul Uci dan Ejak lalu mengajaknya naik ke mobil sambil memberikan wejangan-wejangan seputar pertemanan. Dimana tentu saja Reza menahan kesal karena yang ada dalam otaknya saat ini adalah bahwa Raka sedang memanfaatkan pertemanan untuk merangkul cewek yang ingin Reza rangkul pula saat ini. >>>>  Erwin Chavali memperhatikan anaknya yang hanya menonton TV di malam minggu yang cerah. Biasanya Bian akan keluar tapi sepertinya si anak sedang bertengkar dengan pacarnya. “Eheem...  Kakak kamu sudah sampai belum?” “Paling lagi sama Bang Raka.” “Raka? Kamu telfon dia?” tanya Papanya Bian kaget.  “Biasa aja dong kanjeng prabu..  Kakak kan emang lebih akrab sama Bang Raka.  Kalo bahasa merekanya partner in crime gitulah. Kalo bahasa akunya, Bang Raka itu pawangnya Kakak.” “Ya tapi nak.. Reza sedang berusaha untuk meyakinkan Kakakmu,” Bian melongo dan langsung mengecilkan volume TV.  Ia sudah menghadap pada papanya dengan sempurna sekarang. Dan dia tampak senang karena membayangkan sebuah pernikahan untuk Kakak kesayangannya.  Namun ketika tanpa sengaja matanya bertemu dengan wajah sang Abang kandung yang tergantung di dinding, Bian berdeham.  “Ba-baguslah.. Berarti sudah seharusnya Bang Raka ada di tengah-tengah mereka,”  ucap Bian seolah saat ini Abangnya sedang melihat dengan tampang datar ke arahnya. “Loh?  Tadi aja kamu suruh Kak Uci dandan dulu sebelum ketemu Reza.” “E-eh??? S-si-siapa bilang? Papa ngigau ya?” Bian menyangkal.  Ia mematikan langsung TV dan berjalan ke kamar sambil melirik ke foto Abangnya.  “Ga ada kok...  Malah aku yakin kakak ga butuh nikah nikahan. Suer!!” ucap Bian seolah foto Abang sedang meminta penjelasan padanya. Erwin Chavali mengangkat sebelah alisnya heran melihat kelakuan sang anak yang memang agak aneh.  Lalu ia menyalakan TV kembali sambil menyantap gorengan, bakwan dan tempe yang tadi Bian beli. >>>>  “Turun Jak!” ucap Uci malas, mereka sudah sampai di depan rumah Reza tapi dia tetap menempelkan pantatnya di jok mobil Raka. “Apaan si, Ci? Lo jangan pancing Ejak dong. Dia pasti masih kangen sama kita. Dua bulan loh kita ditinggal pergi,” ucap Raka memandang Uci dengan lirikan mematikannya. “Mabok lo!  Dua minggu dan seminggu pertama lo juga sama dia kan?” “Duh mantan gue emang begini, Jak..  Lo siram pakai air panas aja dia ga akan bergeming saking ga pekanya dia. Arap maklum ya, Jak.” “Bacot lo Ka! Bangga  amat lo nyebut gue mantan.” “Lah iya.  Karena lo mantan yang selalu ngekorin gue.” Reza yang awalnya merasa curiga karena dia diantar duluan menjadi jengah mendengar Uci dan Raka saling berkomunikasi indah ala mantan.  Ia turun dan menyuruh keduanya untuk segera pulang lalu cuci kaki, gosok gigi dan tidur. Berjalan gontai memasuki rumah, Reza langsung mendapai Mamanya yang juga tampak sedang berjalan ke arah yang berlawanan dengannya. “Malam, Ma,” sapa Reza lalu memeluk Mamanya erat tak lupa mencium pipi sang Mama. “Kenapa kamu baru sampai rumah? Baru pulang kok ga cari Mamanya dulu malah nyari anak bungsu orang.  Cemburu Mama tau ga, Jak?” Reza terkekeh. Ia pasti sudah membuat Mama khawatir sepanjang hari apalagi ponselnya yang kehabisan daya. “Tadi ketemu Raka sama Uci dulu, Ma..  Ga aneh-aneh kan?” Sang Mama menangkup wajah lelah anak semata wayangnya lalu menyuruhnya mandi. Dan lebih dari siapapun, wanita itu tau bahwa bukan perjalanan yang membuat anaknya tampak sangat kuyu hari ini. Hari ini juga masih sama. Masih tentang perempuan itu. “Aku makan dulu aja, Ma...  Papa mana, Ma?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD