Part 3

1811 Words
Kana berlari menuruni anak tangga dengan cepat, hentakan dari sneakers-nya mulai menggema membentur dingin lantai marmer anak tangga ini. Tubuh mungilnya hanya di balut dengan kemeja katun bermotif kotak-kotak biru yang nampak kontras dengan kulit putihnya itu, kaki jenjangnya di balut dengan skiny jeans warna hitam yang memperlihatkan keindahan kakinya itu. lalu di punggung wanita mungil itu bertenger tas ransel Jasport merah kesayanganya. Dan tak lupa, tangan kananya mengenggam Snelli seputih tulang yang menjadi identitas wajib miliknya. “Guten Morgen!” sapa Kana saat ia tiba di ruang makan. Di ruang makan pagi ini, sosok Hani, Dana, Ayunda dan Dirga sudah duduk rapi di atas meja makan. Mereka nampak asik dengan kegiatan pagi mereka masing-masing. “Selamat pagi, Ana!” sahut Hani, “Kamu mau sarapan apa, Sayang? Ada roti, serel atau Ibu suru Mbok Ijah buatin—” “Aku mau roti aja, Bu.” Kana menarik kursi yang kosong lalu ia mendudukinya, “Pagi-pagi... ada yang nyantai banget kayanya ya? Bukanya dimakan sarapannya ini malah asik mainan ponsel. Tahu nggak si, Ibu sama Mbok Ijah itu udah cape-cape bangun pagi... eh, ini malah sarapannya gak disentuh sama sekali.” Dirga yang sedang asik memanikan ponselnya merasa tersindir dengan ucapan Kana itu langsung menatap tajam kearah Kana. “Kayanya baru juga beberapa hari Mbak Kana pulang rumah yang tenang kini kembali rusuh seperti pendemo yang sedang berorasi di depan istana merdeka,  this is like a secret hell!” Kana mengambil selai cokelat kesukanya seolah ia tak memperdulikan sindiran Dirga. “Oh iya? Yang ada baru juga beberapa hari aku balik ke Indo dapet kabar kamu bakalan terus menetap di Jakarta bikin aku sefalgia akut!” “Dasar, Mak Lampir bawel!” dumal Dirga, “Datang-datang selalu bisanya cuman ngerusuhin hidup orang aja!” “Dasar Jin—” “Ana!” desis Dana, “Kamu kapan si dewasanya? Malu dong sama umur kamu, Na.” “Dia duluan yang rese, Mas,” rengek Kana, “Masa aku di katain Mak Lampir!” “Kapan si kalian akurnya?” sahut Ayunda, “Dari dulu kaya kucing sama anjing aja kalian berdua ini.” “Tapi,—” “Rubahlah sikapmu, Ana!” kini Hani mulai angkat bicara, “Ibu pikir setelah sekian lama kamu pergi merantau ke negeri orang sikap kamu bisa lebih dewasa. Tapi, kamu nggak ada berubahnya. Kamu dokter tapi kelakuan kamu masih seperti anak-anak. Gimana kamu mau punya suami kalau sikap kamu nggak jauh beda dari anak usia 10 tahun, Ana?” “Bu....” “Rubahlah sikapmu, Ana!” ulang Hani. Seperti anak-anak? Siapa yang seperti anak-anak? Lagian, Dirga duluan yang memulai ulah memanggilku mak lampir! Dasar Jin Tomang rese penganggu susana hatiku yang sedang baik saja! runtuk Kana dalam batin. Kana bangkit dari kursinya, di ambilnya jas putih yanng tergantung di belakang kursi makannya. “Kana mau berangkat dulu!” “Ana, kamu mau—” “Kana mau pergi ke rumah sakit baru dulu,” sahut Kana, “Ibu, Mas Dana, Mbak Yunda. Aku berangkat dulu ya! Kalau telat berabe aku ni!” “Kamu nggak mau bareng sama Mas?” tawar Dana. Kana tersenyum, “Kayanya nggak usah deh, Mas. Aku naik kendaraan umum aja mengurangi polusi di Jakarta.” “Yakin?” cibir Dana. “I’m sure, Mas!” tuas Kana, “Umurku udah mau 25 tahun masa aku masih minta anter jemput? Udah gede! Lagian kan, aku udah berhasil lulus buat praktik di Indo masa masih manja?” “Tunggu Ana!” seru Hani. “Ya, Bu?” “Goodluck for today, Sweetheart!” ujar Hani sembari tersenyum. Kana mengangguk lalu ia mulai berjalan meninggalkan ruang makan ini. Rasanya ia semakin tidak sabar untuk sampai di rumah sakit barunya dan bertemu Fandy. ###### Arka memacu mobil Ranger Rover hitam miliknya di jalanan padat kota Jakarta, hanya radio yang menemai Arka di tengah-tengah ke macetan kota Jakarta. Suara penyiar radio pagi ini membuat Arka sedikit tidak merasa kota Jakarta tidak menyebalkan. “Oke, guys ini dia lagu buat para penderngar yang lagi merindukan seseorang yang jauh disana semoga pagi-pagi nggak galau ya,” ujar si penyiar radio itu. Aku di sini dan kau di sana Hanya berjumpa via suara Namun ku s'lalu menunggu saat kita akan berjumpa Meski kau kini jauh di sana Kita memandang langit yang sama Jauh di mata namun dekat di hati [RAN – Dekat Dihati] “Sial! Pagi-pagi malah di kasih lagu beginian!” runtuk Arka. ##### Bis yang di tumpangi Kana akhirnya sampai di depan sebuah rumah sakit yang sangat megah. Dengan langkah cepat Kana berjalan memasuki rumah sakit ini. Rasanya ia sudah tak sabar untuk memulai tugasnya sebagai ‘dokter’ seperti yang ia impikan. Walau harinya di mulai dengan pertengkaran konyol antara dirinya dan Dirga tapi Kana selalu berharap semoga hari ini menjadi hari keberuntunganya dan bahagia seperti arti namanya. Para repsesionis di rumah sakit memandangi Kana dengan tatapan aneh, menjijikan, bahkan mungkin heran melihat gaya berpakaian Kana yang lebih mirip seperti anak-anak  atau seorang mahasiswa ketimbang seorang dokter karena mereka pikir Kana belum cocok menenteng snelli yang ia bawa. “Kana?” panggil seseorang, Kana mendongak kearah kedatangan suara itu, sosok pria berambut hitam legam berjalan kearahnya. Wajah Kana kini mendadak ceria. “Kak Fandy?” Langkah Fandy berhenti tepat di hadapan Kana, “Selamat pagi, Dokter Kanaya!” “P-p-p-p-pagi,” sahut Kana gelagapan, “Kakak, apa—” “Panggil aku, Dokter Fandy please, this a hospital. Belajarlah bersikap profesional di tempat kerja.” potong Fandy, “Selalu baik kok. Kamu apa kabar? Gimana selama di Jerman?” “Sorry, aku lupa.” Kana merunduk malu, “Wonderful. Rasanya aku si kepengen menetap di Jerman tapi... kasihan Mama sama Ibu nanti kalo aku nggak balik ke Indo. Lagian... enakan di Indonesia, di Jerman nggak ada yang namanya Mie ayam, Gudeg Jogja sama Bapia Patuk.” Tidak, sebenarnya Jerman lebih menarik daripada disini di Jerman ada Thomas Muller disini nggak ada dan...sebenarnya aku tak boleh ingkar janji sama Ayah dan Papa lalu membuat mereka kecewa, batin Kana. Fandy tertawa reyah, “Gini dong, habis pergi menuntut ilmu ke negeri orang lalu kembali ke Indonesia untuk memaju negara kamu sendiri. Indonesia nggak kalah kok sama luar negeri.” Kana mengaruk-garuk tengku kepalanya yang tak gatal, “Aduh, bisaan aja deh!” “Pagi, Mas!” seru suara seorang wanita, baik Kana ataupun Fandy sama-sama mencari sumber suara yang menghampiri mereka. Terlihat sosok Eliza berjalan dengan angkuhnya kearah Kana dan Fandy, semua repsesionis, OB, Perawat, dokter, bahkan pengunjung rumah sakit mulai memusatkan perhatian mereka memadangi keindahan tubuh Eliza yang menggoda karena di balut minidress ketat pagi ini tak lupa kaki indahnya itu di sokong oleh high heels berwarna putih yang senada dengan minidressnya. “Oh, pagi Liz!” sahut Fandy, terlihat ekpresi wajah Fandy mendadak tak tergambarkan bagaimana emosinya pagi ini. Eliza langsung meraih pinggang Fandy, mendekapnya erat hingga Kana nampak heran dengan pemandangan yang ada. “Selamat pagi... calon suamiku,” bisik Eliza tepat di telinga Fandy. Fandy berusaha melepaskan dekapan Eliza, terlihat Eliza sangat kesal dengan perlakukan Fandy yang mendadak aneh. Ya, sebagai anak salah satu perusahaan yang memiliki saham terbesar di rumah sakit, ini Eliza bisa melakukan apapun yang ia suka termaksud mencium Fandy di depan umum namun kenapa mendadak Fandy menjadi aneh? “Oh iya Liz, aku mau ngenalin kamu sama sahabat aku,” ujar Fandy. “Siapa?” “Kana, Kanaya. Dia salah satu dokter baru di sini.” Fandy melirik Kana yang berdiri di hadapanya, “Dan... dia adalah lulusan falkutas kedokteran di Jerman.” Eliza tersenyum kecut dengan Kana, Kana hanya membalas dengan senyuman tipis lalu ia mengulurkan tanganya, “Saya Kanaya Septiara Pramudyanto, saya dokter baru di rumah sakit ini dan saya lulusan dari LUM. ” “Eliza,” sahut Eliza ketus, “Oh... jadi ini yang namanya Kana?” Kedua mata Eliza menatap Kana dari atas sampai bawah, berbeda jauh denganya. Bahkan ia jauh lebih unggul dari wanita ini. Tapi kenapa Fandy tak pernah bisa meliriknya hanya karena wanita pendek nan jelek ini? ##### Arka memasuki sebuah gedung pencakar langit di bilangan Surdiman, ini kali pertamanya setelah bertahun-tahun lamanya ia pergi ke Inggris hanya untuk melanjutkan S2-nya ia kembali menginjakan kakinya di gedung ini. Terlihat para repsesionis langsung salah tingkah saat Arka menyapa mereka berdua dengan senyuman dan lesung pipinya itu. Dan setelah ia menaiki lift beberapa waktu akhirnya ia sampai di depan sebuah ruangan yang bertuliskan ‘CEO Wiratama’s property’. Tanpa pikir panjang Arka langsung menarik tuas pintu itu. “Akhirnya, di tunggu datang juga!” seru seorang pria paruh baya yang sedang duduk di kursi kerjanya. lalu di depan pria paru baya ini, terlihat sosok pria dengan rambut hitamnya yang klimis dan wanita yang tak lain adalah Maurine yang berdiri mematung. “Kak Arka, akhirnya kita ketemu lagi!” seru Maurine riang, Maurine langsung menghampiri Arka dan bergelayut manja denganya. Arka menghirup banyak oksigen pagi ini hanya untuk menahan rasa jengkelnya melihat sosok Maurnie yang menjengkelkan untuknya kini bergelayut manja di lengan kokohnya. “Kamu apa-apaan si!” gerutu Arka, “Ngapain kamu datang ke kantorku? Hari ini aku—” “Kakak lupa? Aku ini kan, yang akan jadi sekretaris kakak!” sela Maurine, “Iya kan... Om Will?” Pria paru baya itu –Wiliam– menganggukan kepalanya. “Ya, benar... Maurine akan jadi sekretarismu yang membantumu mengerjakan semua pekerjaanmu lalu menyusun semua jadwalmu, Fan—” Sial, neraka dunia! Kenapa harus si harus boneka Annabelle ini yang menjadi sekretarisku? runtuk Arka dalam hati. “Please, call me Arka not Fandy!” elak Arka, “Dad, Daddy serius ni? Boneka Annabelle ini mau jadi sekertaris aku? Emang dia bisa kerja apa? Sampai-sampai Daddy berniat memperkejakannya untuk menjadi sekertarisku?” “Aku ini lulusan terbaik di universitasku. Universitasku adalah universitas yang terbaik di nergri ini. Aku juga salah satu finalis mahasiswa berprestasi di universitasku,” sahut Maurnie, “so? Kamu masih mau mengejeku nggak bisa kerja apa-apa?” “Sudah-sudah!” tegas William, “Kamu jangan begitu sama sekretaris kamu! Oh iya, Dad mau kenalin salah satu direktur dari perusahaan kita yang akan membantu kamu nanti.” Pria berambut hitam itu pun mengulurkan tangannya. “Pradana, panggil aja Dana. Saya Direktur HRD di perusahaan ini.” Arka menyambut uluran tangan pria itu. “Arkana, panggil aja Arka.” “Dana, Ini anak saya yang akan menggantikan Pak Rico yang resign beberapa bulan yang lalu,” ujar William, “Mohon bantuannya ya, Dan.” Dana tersenyum, “Dengan senang hati saya akan membantu Arka dan mengenalkan Arka tentang perusahaan kita, Pak.” “Aku juga, Om,” sahut Maurine, “Dengan senang hati aku akan bantu Kak Arka untuk menyusun semua jadwalmya.” Arka hanya tersenyum kecut melihat sikap Maurine yang menjijikan baginya. Andai, Eliza yang menjadi sekretaris pribadi Arka mungkin ini adalah surga dunia untuknya. tapi yang terjadi? Si boneka Annabel menghancurkan semua impinya. ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD