Gadis Bisu

2633 Words
    Maharani mengerang dan terbangun dengan lehernya yang terasa sakit. Ini pasti karena posisi tidur Maharani yang salah. Maharani mengedipkan matanya, tangannya pun terulur untuk memijat pelan lehernya yang sakit. Barulah saat Maharani mengalihkan pandangannya, Maharani menyadari sesuatu yang menakjubkan yang tadi luput dari perhatiannya. Maharani tertegun melihat sosok pria yang sebenarnya dijaga oleh Maharani semalaman.     Pria itu memiliki rambut hitam legam itu kini duduk bersandar dan menatap pemandangan dari jendela kamar yang memang terbuka. Maharani pun melirik ke luar dan menyadari jika matahari sudah mulai mengintip. Kini, Maharani merasa sedikit malu. Padahal ia ditugaskan untuk menunggui orang yang sakit. Namun Maharani malah tertidur dan tidak menjalankan tugasnya dengan baik.     Maharani menghela napas, dan hal itu menarik perhatian pria yang sejak tadi menatap pemandangan asri pagi di desa yang tak ia kenali. Saat itulah, netra hitam Maharani bertemu dengan netra biru safir yang baru pertama kali Maharani lihat. Maharani sama sekali tidak bisa menahan diri untuk berdecak kagum dengan apa yang ia lihat. Hal yang Maharani rasakan memang wajar. Jangankan, Maharani yang baru pertama kali melihatnya, netra biru safir yang bening dan indah itu, memang sanggup membius orang-orang yang sudah sering melihatnya.     Maharani merasa jika pria asing itu, terlihat semakin tampan saat membuka mata. Tanpa sadar, Maharani terus menatap wajah pria itu hingga membuat yang ditatapnya mengulum senyum. “Sudah bangun? Apa mungkin aku mengganggu tidurmu?”         Maharani kembali tertegun. Suara pria ini sangat khas dan indah! Ah, ini suara terindah yang pernah Maharani dengar. Apa mungkin pria ini adalah penyanyi. Tersadar jika dirinya malah kembali melamunkan hal yang tidak penting, Maharani tersenyum malu dan menjawab pertanyaan pria asing itu, “Tidak, kamu tidak menggangguku. Apa kondisimu sudah membaik? Seharusnya kamu tidak duduk dulu, lukamu mungkin saja akan terbuka kembali.”     Pria itu menggeleng. Netra biru safirnya sungguh membuat Maharani tidak bisa berpaling, apalagi Maharani merasa jika tatapan yang pria itu berikan terasa hangat dan lembut. “Lukaku sudah jauh lebih baik. Terima kasih sudah menolongku,” ucap pria itu.     Maharani menggeleng dan tersenyum. Senyumannya yang sudah manis, terlihat semakin manis dengan lesung pipit yang menghiasi pipinya. “Kamu tidak perlu berterima kasih padaku. Karena yang mengambil andil besar dalam penyelamatanmu itu, adalah Ibu dan Bapak. Sekarang, kamu tunggu sebentar. Aku akan mengatakan kepada Ibu dan Bapak, jika kamu sudah sadar.”     Pria itu pun mengangguk dan membiarkan Maharani melangkah pergi untuk melakukan apa yang telah ia katakan. Netra biru safir pria itu tiba-tiba kehilangan kehangatan dan kelembutannya. Kini, yang tersisa adalah ketajaman dan kemisteriusan. Netra indah itu mengikuti arah kepergian Maharani. Senyum tipis yang tadi tersaji menghiasi wajah rupawan itu, juga sudah menghilang entah ke mana. Kini, tidak ada lagi aura hangat yang terasa menyambut semua orang, yang ada hanyalah jejak misterius yang membuat orang-orang berpikir puluhan kali untuk mendekatinya.     ***         “Oh, jadi Aden ini dari kota,” ucap Harjo menganguk-ngagguk paham setelah mendengar apa yang dikatakan pemuda yang telah ia selamatkan itu.     Pria bernetra biru safir itu mengulum sunyum ramah. “Tidak perlu memanggil saya seperti itu, Pak. Panggil saya Ahmar saja.”     Yani yang mendengar kesopanan dan tutur kata yang lembut dari pemuda itu tidak bisa menahan diri  untuk ikut tersenyum. Ia mengamati dalam diam setiap gestur dan perkataan yang diucapkan oleh pemuda yang bernama Ahmar ini, dan menilai jika pemuda ini sama sekali tidak menunjukkan kebohongan. Yani memang adalah orang yang memiliki pendidikan yang cukup tinggi, dibandingkan orang-orang di desa ini. Yani juga memiliki hobi membaca, saat dirinya masih muda dan lajang, Yani mampu menghabiskan waktu seharian untuk membedah buku.     Dari semua ilmu yang Yani miliki itu, Yani memiliki sedikit kemampuan untuk menilai seseorang dari perkataan dan gestur yang ia tunjukkan. Dan menurut penilaian yang Yani buat, Ahmar ini bukanlah orang jahat atau seseorang yang kemungkinan akan melakukan tindakan yang berbahaya. Yani berdeham sebelum bertanya, “Jadi, sekarang apa yang akan Nak Ahmar lakukan?”     Menurut penjelasan pemuda berusia dua puluh lima tahun itu, Ahmar adalah pemilik pabrik tekstil yang sedang dalam perjalanan ke luar kota. Hanya saja, dalam perjalanan tersebut ada penyerangan dari orang tidak dikenal yang ia curigai sebagai perampok jalanan. Karena penyerangan tersebut, Ahmar mendapatkan luka-luka yang hampir saja merenggut nyawanya. Karena dirinya pergi sendiri, Ahmar tidak bisa meminta bantuan dari siapa pun. Alhasil, Ahmar lebih memilih melepaskan harta bendanya, tetapi para perampok tidak membiarkan Ahmar pergi begitu saja.     Ahmar dilukai dan dibawa ke daerah yang sama sekali tidak Ahmar kenali. Ahmar dibiarkan begitu saja di sana. Tentu saja, Ahmar segera mencari pertolongan demi menyelematkan hidupnya. Namun, Ahmar yang mengalami luka di beberapa bagian tubuhnya ternyata tidak bisa menemukan siapa pun yang bisa dimintai tolong. Ahmar malah tersesat di tengah hutan dan berputar-putar di sana. Hal itu berlangsung hingga Ahmar tidak bisa lagi bertahan dan jatuh tak sadarkan diri. Saat itu, ternyata Ahmar pingsan di dekat ladang Harjo dan Yani yang berada tak jauh dari tepi hutan.     “Saya tidak bisa kembali saat ini juga. Dan saya tidak memiliki satu pun alat komunikasi, yang bisa saya gunakan untuk menghubungi orang-orang saya dan meminta mereka menjemput saya di sini. Saya juga tidak mengingat nomor telepon mereka. Jadi, saya tidak memiliki pilihan lain, selain menunggu mereka hingga menemukan saya di sini. Itu pun, jika Bapak dan Ibu berkenan untuk memberikan saya tumpangan,” jawab Ahmar.     Yani dan Harjo saling berpandangan. Melalui tatapan, Yani dan Harjo bisa memahami isi hati serta apa yang mereka pikirkan. Yani memberikan isyarat pada Harjo agar suaminya itu yang mengatakan keputusannya. “Kami tentu saja tidak bisa membiarkan kamu pergi dengan kondisi seperti ini, apalagi kondisimu masih belum sepenuhnya pulih. Jadi, hingga kondisimu memungkinkan untuk kembali ke tempatmu, atau hingga orang-orangmu datang dan menjemput, kamu bisa tinggal di sini. Hanya saja, kamu harus mengerti jika ini desa dan bukan kota. Ada banyak adat istiadat, serta norma-norma yang harus kamu perhatikan. Kamu mengerti?”     Ahmar mengangguk. “Saya memahaminya, Pak. Lagi, saya juga tidak akan hanya tinggal diam saja. Saya akan bekerja setidaknya membantu Bapak dan Ibu di ladang, meskipun bantuan saya mungkin tidak seberapa, saya harap Ibu dan Bapak tidak keberatan untuk menerima bantuan saya itu.”     Yani mengangguk. “Tentu saja. Kami senang jika Ahmar mau membantu Bapak dan Ibu di ladang. Hanya saja, untuk saat ini, Ahmar hanya perlu fokus pada penyembuhan saja. Ibu dan Maharani akan sebisa mungkin merawatmu.”     Anak gadis yang baru saja disebutkan oleh Yani, muncul dengan sepiring pisang goreng di tangannya. Maharani duduk di samping Yani setelah meletakkan piring tersebut di atas meja kayu yang memang tengah dikelilingi oleh mereka. Meskipun tadi Maharani tidak berada di sana, Maharani sedikit banyak bisa mendengarkan apa yang mereka katakan dari dapur. Bukannya Maharani tidak sopan karena menguping, hanya saja, ini kan bukan pembicaraan rahasia. Jadi, tidak ada salahnya jika Maharani menguping.     Maharani ikut sedih dengan apa yang terjadi dengan Ahmar. Karena perampok-perampok itu, Ahmar kehilangan harta benda bahkan mendapatkan luka yang hampir saja mencabut nyawanya. Maharani menyodorkan piring dan berkata, “Silakan dicicipi. Maaf, kami tidak memiliki makanan yang lebih mewah daripada ini. Meskipun mungkin tidak sesuai dengan seleramu, aku harap rasanya masih bisa diterima oleh lidahmu.”     Ahmar tersenyum mendengar penuturan Maharani. Hal itu membuat Maharani menyipitkan matanya. Ia merasa matanya silau. Tampilan Ahmar memang terlalu menakjubkan hingga membuat Maharani kesulitan berpaling. “Tidak perlu berkata seperti itu. Saya juga rakyat biasa, bukan sultan yang hanya memakan makanan yang mewah. Terima kasih, pisang gorengnya. Saya cicipi.”     Selain Ahmar, Harjo juga mengambil pisang gorengnya dan melahapnya dengan nikmat. Yani juga melakukan hal yang sama. Mereka menikmati kudapan yang terbilang menjadi sarapan mereka itu. Setelah puas menikmati pisang goreng dan kopi pahit, semua orang kembali pada kegiatannya. Jika Harjo akan kembali melapor pada pak RT mengenai Ahmar, lalu berangkat menuju ladangnya, maka Yani dan Maharani beranjak menuju kebun bunga yang berda di belakang rumah mereka. Ahmar sendiri duduk di belakang rumah dan melihat kegiatan yang dilakukan oleh dua wanita tersebut.     Karena kondisi Ahmar yang memang belum memungkinkan untuk melakukan aktifitas yang berat, Ahmar jadi hanya bisa menunggu hingga tubuhnya pulih sebelum bisa membalas budi atas kebaikan yang telah diberikan oleh Maharani dan keluarganya. Maharani yang tengah merawat bunga-bunga kesayangannya, sesekali melirik pada Ahmar yang terlihat tenang duduk di sebuah kursi yang berada di bawah pohon. Maharani lalu kembali menatap tanaman bunga sebelum dikejutkan oleh Yani yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya. “Ah, Ibu!” seru Maharani terkejut.     “Makanya, kerjanya yang bener. Kamu ini! Ibu juga tau kalau Ahmar itu tampan dan kamu pasti mengagumi ketampanannya itu, tapi kamu tidak perlu menunjukkannya sejelas itu,” bisik Yani. Ia memang tengah menggoda anak gadisnya itu.     Mendengar hal itu, Maharani mengerucutkan bibirnya. “Memangnya salah jika mengagumi ciptaan Tuhan?” tanya Maharani.     “Selalu saja menjawab kalau Ibu nasihati.” Yani terlihat gemas bukan main pada Maharani. Bagaimana bisa putrinya tumbuh setidak tahu malu ini? Apa mungkin saat Yani mengandungnya, Yani melanggar pantangan, dan malah melahirkan putri seaneh Maharani?     Maharani memasang senyum manis. “Ibu dan Bapak sama saja. Tenang, Rani tidak menyukainya sebagai lawan jenis. Rani hanya mengagumi wajahnya saja.”     “Ya, Ibu harap kamu jangan dulu merasakan jatuh cinta. Kamu masih muda, belum waktunya merasakan hal yang semacam itu. Lebih baik, perbanyak teman dan pengalaman sebelum memikirkan hal itu.”     Mendengar wejangan bijak dari ibunya, Maharani tentu saja mengangguk dengan patuh. “Ibu tenang saja. Rani akan mengingatnya,” ucap Maharani sembari mengulas sebuah senyum manis. Senyuman yang sejak tadi menjadi pusat dari perhatian netra biru safir milik Ahmar.       ***           Maharani selesai membantu Yuni memasak makan siang, dan membungkun makan siang untuk Harjo yang hari ini akan Yuni antarkan. Hari ini, Yuni memang tidak ikut ke ladang dan membantu suaminya itu. Yuni memang belum sepenuhnya percaya pada Ahmar, karena itu Yuni memutuskan untuk tidak ikut ke ladang dan menemani Maharani untuk menunggui serta merawat Ahmar yang tadi sudah ditemui oleh pak RT dan dokter puskesmas.     “Ibu akan makan dengan Bapak saja di ladang. Jadi, Rani dan Ahmar baik-baik di rumah. Ahmar, jika ada apa-apa, jangan segan untuk meminta bantuan dari Rani,” ucap Yani pada Ahmar.     Ahmar mengangguk. “Terima kasih, Bu.”     Yani menggangguk dan melangkah pergi untuk mengantarkan makan siang suaminya. Maharani sendiri segera menyajikan makan siang untuk Ahmar. Setelah semua tersaji, Maharani pun membantu untuk menyendokkan nasi dan lauk sederhana yang tadi telah ia masak. “Maaf ya, aku dan Ibu hanya bisa memasak makanan sederhana seperti ini.”     Ahmar tersenyum lembut. “Ini lebih dari cukup. Lagi pula, aku sudah lama tidak makan masakan rumahan seperti ini,” ucap Ahmar sembari menatap tumis kangkung, dan ikan cue goreng yang menjadi lauk makan siang hari ini. Setelah mengatakan hal itu, Ahmar pun makan dengan lahap. Untungnya, tangan Ahmar yang terluka bukan tangan kanannya. Jadi, Ahmar masih bisa makan dengan tangannya sendiri.     “Wah, rupanya kalian sangat terampil memasak. Ini sangat enak,” puji Ahmar.     Maharani tersenyum. “Terima kasih. Kalau begitu makanlah yang kenyang.”     Lalu pembicaraan berhenti di sana. Makan siang berlangsung cepat. Maharani segera bergerak dengan lincah untuk membereskan sisa makanan dan mencuci piring kotor. Setelah semua beres, Maharani kembali pamit pada Ahmar karena dirinya memang harus kembali bekerja di kebun bunga miliknya yang sebenarnya tidak terlalu besar, namun bunga-bunga yang tumbuh di dalamnya sangat indah.     Sepertinya hal tadi pagi, Ahmar pun kembali duduk di bawah pohon untuk mengamati kegiatan Maharani. Namun Ahmar tidak tahan dengan rasa bosan yang menggerogotinya. Ahmar pun bangkit dan mendekat pada Maharani. Ia berjongkok di samping maharani sebelum berkata, “Aku akan membantumu untuk menggemburkan tanah. Maaf, aku tidak tahan dengan rasa bosan yang membuatku tersiksa.”     Maharani menyadari jika Ahmar sepertinya tengah mencoba mengakrabkan diri dengannya. Kini, Ahmar bahkan tidak menggunakan bahasa formal saat bicara dengannya. Maharani mengerutkan keningnya saat mempertimbangkan jawaban yang akan ia berikan pada Ahmar. “Tapi tanganmu terluka. Rasanya kurang tepat jika membuatmu bekerja sepertiku.”     “Tangan yang terluka hanya bagian kiri. Jadi, aku masih bisa menggunakan tangan kanan untuk membantumu. Tolong jangan menolak keinginanku.”     Pada akhirnya Maharani mengangguk dan memberikan sekop kecil untuk menggemburkan tanah. Sementara Maharani memangkas beberapa bunga yang sudah mengering dan merapikan tampilan bunganya. Kegiatan mereka tersebut berlangsung hingga Maharani menyadari jika langit sudah mulai mendung. Maharani pun mengajak Ahmar untuk menyelesaikan pekerjaan mereka.     “Kamu bersihkan badan saja lebih dulu, aku akan menyiapkan pakaian ganti untukmu,” ucap Maharani.     Ahmar mengangguk dan menuruti perintah Maharani. Setelah Ahmar masuk ke dalam kamar mandi, Maharani sendiri segera masuk ke kamar Harjo dan Yani untuk mencari pakaian ganti untuk Ahmar. Pakaian Harjo memang tidak terlalu cocok untuk Ahmar karena ukuran tubuh mereka yang tidak sama. Badan Ahmar yang tinggi besar, memang membuatnya sulit mendapatkan ukuran baju yang cocok untuknya. Setidaknya, karena wajahnya yang tampan, Ahmar tidak terlihat aneh dengan celana dan baju yang panjangnya nanggung.     Setelah menyiapkan pakaian ganti tersebut, Maharani lalu masuk ke kamarnya sendiri. Selama itu, Maharani berpikir jika ibunya tidak pulang karena membantu pekerjaan Harjo di ladang. Kalau begitu, kini Maharani lagi yang harus menyiapkan makan malam untuk mereka semua. Sebelum itu, Maharani rasa dirinya harus memeriksa soal pemesanan bunga yang telah ia terima. Maharani memeriksa ponselnya yang tidak terlalu mewah. Ia menghitung dan mengingat bunga-bunga yang esok harus ia kirimkan.     Maharani ke luar kamar dan melihat Ahmar yang masih bertelanjang d**a. Sebuah perban melilit bahu lengan dan dadanya. Namun, Maharani bisa melihat ada sedikit darah yang merembes di sana. Ahmar menatap Maharani dengan netranya yang sewarna biru safir. “Maaf, bisa bantu aku mengganti perban?” tanya Ahmar segan.     Maharani mengangguk, tentu saja ia bersedia menolong pria tampan ini. Sebisa mungkin, Maharani mengalihkan pandangannya agar tidak tertuju pada perut Ahmar. Otot-otot perut Ahmar terbentuk dengan sangat sempurna, seperti perut-perut idola yang sering Maharani lihat berseliweran di televisi. Maharani mengatur napasnya sebelum meminta Ahmar agar duduk di ruang depan. Tentu saja, Maharani tidak ingin hanya berduaan dengan pria yang sudah sadar sepenuhnya.     Setelah menyiapkan peralatannya. Maharani pun mulai membuka perban dan melihat luka-luk pada tubuh Ahmar. “Sepertinya, lukamu yang sudah mulai menutup ini kembali terbuka. Ini pasti karena kegiatan tadi. Jadi, besok sebaiknya jangan memaksa untuk melakukan hal seperti tadi. Jika iya, luka-lukamu tidak akan pernah sembuh.”     Maharani pun mulai mengoleskan obat meah yang sebelumnya sudah diberikan oleh dokter puskesmas. Maharani terlalu larut dalam kegiatannya, hingga tidak menyadari jika sejak tadai Ahmar tengah mengamati wajahnya dengan lekat. Saat Maharani mulai membebat luka tersebut, dan mendongak, saat itulah Maharani sadar jika dirinya tengah diamati. Meskipun merasa gugup, Maharani terus melanjutkan tugasnya. Tinggal satu langkah lagi, di mana Maharani harus merekatkan ujung perban, gerakan dari Ahmar membuat Maharani terpaku.     Ahmar menunduk mendekatkan wajahnya pada wajah Maharani. Tentu saja Maharani segera menjauh karena pikiran yang pertama kali datang pada benaknya adalah, Ahmar akan menciumnya. Bukan Maharani ini terlali percaya diri, Maharani hanya tidak ingin sampai kejadian yang sering Maharani lihat di buku dan film itu terjadi padanya. Karena itulah, Maharani lebih dulu mengambil pencegahan untuk melakukan hal tersebut.     Pipi kuning langsat Maharani terlihat memerah. Tentu saja Ahmar yang sebelumnya terkejut dengan reaksi yang ditunjukkan oleh Maharani, kini mengerti setelah melihat pipi memerah Maharani yang cantik. “Ah, maaf aku sepertinya telah mengejutkanmu. Aku hanya ingin merapikan rambutmu. Ada sesuatu, sepertinya itu daun kering yang menyelip pada helaian rambutmu.”     Mendengar penuturan dan senyum maklum yang ditunjukkan oleh Ahmar, maka Maharani pun semakin merasa malu. Maharani menggigit bibirnya dan berkata, “Aku ti-tidak terkejut. Hanya saja, aku baru ingat harus segera memasak. Jadi, selesaikan saja sendiri. Aku akan memasak.” Maharani pun berbalik dan berjalan cepat menuju dapur.     Ahmar sendiri tidak bisa menahan senyum saat melihat Maharani yang tengah malu tersebut. Pemuda itu pun menghela napas. Enah mengapa saat ini dirinya merasa sedikit menyayangkan kejadian tadi. Jika saja, jika saja Maharani tidak refleks dan memundurkan tubuhnya, apa yang akan terjadi, ya? Ahmar tersenyum lebar. Ah, gadis itu sangat manis. Saking manisnya, hingga Ahmar ingin menyimpan gadis itu untuk dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dirinya bisa berpikir segila ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD