Eps. 2 Perjodohan Berlanjut

1033 Words
Kana menatap sosok pria yang duduk di kursi roda. Pria itu posturnya bagus sempurna, wajahnya pun menonjol, jauh dari kata buruk rupa. Sayang harus berakhir di kursi roda. Entah apa sebabnya pria itu duduk di kursi roda. "Kami adalah keluarga Faisal. Dia adalah teman baik dari Hasan, ayahmu." Sekar yakin pria muda itu adalah putranya Hasan. Wajahnya mirip dengan wajah pria yang ada di foto, meski ada sedikit perbedaan. Di foto pria itu berdiri tegap, sehat namun sekarang, kondisinya jauh berbeda. "Faisal? Siapa itu, aku tidak mengenalnya." "Mungkin saat itu kamu masih kecil atau bagaimana jadi belum tahu. Lalu bagaimana kabar Hasan? Bisakah kami bertemu dengannya?" Entah kenapa, tiba-tiba saja pria itu tertawa dengan wajah muram, saat Sekar bertanya kembali, jawabannya tidak nyambung. "Apakah Hasan baik-baik saja?" "Baik? Apakah kacang rebus dengan teh hangat itu enak?" Sontak, tak hanya Sekar saja yang ternganga mendengar jawaban itu, Kana pun ikut ternganga. Dia sampai nerd melihat saja. Pria itu sengaja bicara melantur atau bagaimana? Terdengar suara tawa nyaring dari pria itu, padahal tidak ada yang lucu saat ini. "Den Dylan, tolong tenang dan jangan tertawa lagi. Sebaiknya kita kembali masuk saja," bisik lirih pelayan wanita yang mendorong kursi roda pria itu. "Permisi, kami masuk dulu, Nyonya." Pelayan wanita meminta izin pada Sekar. Setelahnya ia berlalu dengan mendorong kursi roda meski ada penolakan dari Dylan. Kana menatap punggung pemilik kursi roda. Dia entah cacat atau sakit anggota badannya, lalu dia tertawa seperti orang stres. Dia tidak i***t, kan? Kana beralih menatap Sekar dengan meremang. Sosok pria tadi membuatnya bergidik ngeri. Dia sampai tak berani membayangkan jika pria itu benar menjadi suaminya. Mungkin dia lebih memilih hidup di neraka daripada hidup bersama pria tadi. "Tenang, semua bisa dibicarakan," ujar Sekar yang bisa melihat pancaran ketakutan dari mata Kana. Terdengar derap langkah kaki masuk ke ruang tamu. Seorang wanita muncul menemui Sekar dan Kana. Wanita itu jika ditaksir usianya sebaya dengan ibunya Kana. Sekar tidak mengenal sosok wanita itu. "Kalian berdua mencari Hasan?" tanyanya. "Benar, kami datang untuk bersilaturahmi sekaligus menanyakan suatu hal," jawab Sekar. Sementara Kana hanya diam saja. Sekar kemudian memperkenalkan dirinya sebagai ibu dari Julia, teman baik Hasan. Sedangkan wanita tadi mengaku sebagai istri kedua Hasan. Istri pertama Hasan sudah lama meninggal dan kemudian pria itu menikah lagi. "Nyonya, suami saya sedang sakit. Tapi jika Anda ingin bertemu dengannya aku akan mengantar." "Sakit? Hasan sakit?" Sekar tercenung mendengarnya. Dia sama sekali tak tahu kabar mengenai pria itu bagaimana bisa sampai sakit? "Ikuti saya." Wanita tadi kemudian berjalan masuk ke rumah menuntun Sekar dan Kana yang mengikutinya hingga tiba di sebuah kamar. Di kamar itu seorang pria tergolek lemah di tempat tidur. Ada bekas selang infus di tangan. Banyak memar di punggung tangan pria itu. Sepertinya itu karena jarum infus yang menancap di sana dalam waktu lama. "Hasan? Apa benar ini kamu?" Sekar dengan kedua tangan menutup mulutnya berdiri di samping sosok pria yang tergolek lemah tersebut. Ia tak menyangka kondisinya seperti ini. Dulu, sosok Hasan jauh berbeda dari sekarang. Pria tinggi berbadan tegap itu tak pernah sedikitpun sakit. Tapi kenapa sekarang kondisinya tak berdaya? Pria dengan uban yang tumbuh di sebagian kepala itu menolehkan leher ke samping kanan kala mendengar namanya disebut. Meski dia sakit, tapi ingatannya masih berfungsi dengan baik. Bahkan dia bisa mengenali suara tersebut, meski suara itu sudah lama sekali tidak dia dengar. "Bu sekar? Andakah itu?" ucapnya dengan suara lemah. "Hasan, kamu sakit apa? Sudah berapa lama kamu sakit?" "Ceritanya panjang, Bu. Sekarang saya baru saja selesai menjalani terapi." Sekar mengangguk iba mendengarnya. Istri Hasan kemudian menjelaskan bagaimana kondisi suaminya bisa sampai seperti itu. Hasan mengalami kecelakaan pesawat sekembalinya meeting dari luar negeri. Beruntung dia selamat, namun lukanya cukup parah. Anggota kaki dan tangan patah. Satu tangan lainnya lumpuh. Sudah setahun pria itu tergolek di kasur setelah menjalani serangkaian pengobatan dan terapi. "Bagaimana kabar Faisal dan Julia?" imbuh Hasan. "Mereka berdua sudah meninggal tiga tahunan yang lalu." "Apa?" Detik itu juga Hasan terpukul dengan mata berembun mendengar kabar itu. Mereka bukan sekadar teman dekat saja, mereka seperti keluarga karena dulu saling support. "Ini Kana, putri Faisal." Sekar memperkenalkan cucunya. "Pagi, Om," sapa Kana sekadarnya. Hasan menatap lekat Kana. Dulu dia melihat putri temannya ini masih berusia satu dekade, tapi kini sudah tumbuh dewasa. Ia tak menyangka sudah lama dia tak tahu kabar keberadaan keluarga teman dekatnya itu. "Kana, kamu tumbuh menjadi gadis cantik," pujinya. "Terima kasih, Om." Sekar tak mau berbasa-basi lagi, tujuannya datang ke sana memang ingin menanyakan kejelasan surat wasiat Julia mengenai perjodohan putra dan putri mereka. Mungkin memang kurang tepat waktunya bertanya pada pria yang sedang sakit, tapi bagaimana lagi, Kana butuh kepastian juga kejelasan. "Hasan, kami menemukan surat wasiat dari Julia. Di surat wasiat itu tertulis jika cucuku dijodohkan dengan putramu. Apa itu benar?" Pria berkumis tebal itu tak langsung merespons. Dia diam selama beberapa detik untuk mengingat kembali hal yang terjadi di masa lampau. Memang dulu dia pernah membicarakan perjodohan putra dan putri mereka yang masih kecil dan akan membahasnya lagi ketika mereka sudah dewasa dan cukup umur untuk menikah. "Oh, Ya benar, Bu Sekar, kami pernah membicarakan itu. Aku tak menyangka Faisal dan Julia sudah meninggal. Tapi Meskipun begitu perjodohan ini tetap berlanjut. Kita bisa bicarakan lagi. Aku tahu usia mereka berdua sudah pantas untuk menikah." Sontak Kana seketika membeku di tempat. Perkataan Hasan bagai es yang menjuntai di setiap katanya dan mampu membekukan Kana. "Perjodohan di masa kecil?" Istri Hasan yang sedari tadi diam tiba-tiba menyela pembicaraan mereka. "Ya, itu sudah lama sekali. Kisaran dua dekade lebih kami membahasnya." "Kamu yakin mau melanjutkan perjodohan putramu dengan gadis ini?" Istri Hasan merasa gadis sempurna seperti Kana mana mau dijodohkan dengan Dylan yang kondisinya seperti itu? Hasan kembali menatap lekat Kana. Putri Faisal cantik dan sempurna. Dia pantas menjadi pendamping Dylan. Benar, dia harus merawat Dylan. Tak akan ada kesempatan bagus yang datang dua kali seperti ini. Di luar sana meski dibayar berapapun, mungkin tak akan ada seorang wanita yang mau menikah dengan Dylan dengan kondisinya yang sekarang. Beda lagi ceritanya jika dia sehat. Wanita seperti apapun bisa dia pilih. "Yakin. Apalagi jika perjodohan itu sudah terlampir dalam surat wasiat maka tak bisa dibatalkan lagi." Sungguh, Kana merasa dunia di hadapannya runtuh mendengar perkataan Hasan barusan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD