Cemburu?

1489 Words
    “Jea, kok masih di sini? Mas Da’i sama Asrul belum dibangunin? Sebentar lagi imsak, loh.” Mbah putri keluar dari kamar. Wanita renta yang selalu kupanggil iyung itu baru membangunkan Simbah. Iyung menarik kursi untuk duduk suaminya, lalu menuangkan teh hangat pada gelas-gelas yang tadi sudah kusiapkan.     “Iya, Yung, Ini Jea mau bangunin Asrul.” Aku meninggalkan dapur yang juga difungsikan untuk ruang makan, sambil menepuk jidat. Haduh, kok bisa sih aku jadi pelupa gini?     “Bulus! mau ikutan sahur, nggak?” teriakku di depan kamar Asrul. Lama menunggu tidak ada sahutan, aku langsung menerobos masuk.     “Lus!!”     “Nghhhh.” Dia hanya menggeliat kecil, sama sekali tidak mengindahkan teriakanku yang dari tadi berusaha membangunkannya.     “Mau ikut sahur, nggak!” Suaraku lebih lantang lagi. Tapi anak itu hanya mengubah posisi tidur, yang tadinya tengkurap, sekarang membelakangiku. Bukan Asrul namanya kalau bisa bangun hanya dengan satu teriakan. Bahkan Iyung juga pernah menyiramnya dengan air segayung waktu ramadan tahun lalu. Dia memang selalu paling lelet kalau dibangunkan untuk sahur.     “Lik ...” Aku mendekatkan wajah. “Mau ikut sahur, nggak? Ditungguin sama Simbah,” bisikku pelan tepat di depan telinga. Biasanya dia paling nggak suka dipanggil Lilik. Dan beberapa kali, cara itu ampuh untuk membangunkannya.     “Panggil apa barusan, Lilik? Tua amat? Panggil aku Kang Mas kalau mau aku cepet bangun.” Dia malah menarik selimut menutupi seluruh tubuh sampai kepala.     Kang Mas? Yang bener aja, biasanya dia kalau dipanggil lilik akan mencak-mencak, ngamuk dan langsung ngajak berantem, karena menurutnya panggilan lilik yang menurut bahasa daerah kami berarti paman, itu terlalu kuno dan tua. Padahal secara status karena dia anak angkat simbah, ya, Asrul itu memang pamanku. Hanya karena kami seumuran, bukan berarti aku bisa seenaknya panggil dia Asrul. Tapi aku malah lebih sering memanggilnya dengan sebutan Bulus. Durhaka nggak sih, aku?  Dan ternyata, aku sadar, kalau sekarang tingkat ketengilannya sudah naik lagi satu level. Panggilan itu sudah nggak mempan buat mengerjainya, entah dia yang sudah mulai dewasa, atau memang banyak maunya. Tapi memanggilnya Kang Mas aku rasa hanya akan membuatku tersedak.     “Mimpi!”     “Mimpiku udah tamat gara-gara teriakanmu. Sekarang mau ngomong lemah lembut, dan panggil aku Kang Mas Asrul, atau kamu juga nggak bakal bisa ikut sahur.”     Dih, apa sih sebenernya mau anak itu? Tapi aku sedang tidak tertarik untuk berdebat dengannya. Rasanya nggak lucu kalau harus berantem sama Asrul pagi-pagi begini. Jadi utuk sekarang ini, mending aku nurut dulu sama dia. Masalah selesai.     Setelah membangunkan Asrul, aku langsung ke kamar Ayas. Langkahku sedikit ragu saat sampai di depan kamarnya. Agak lama, aku menimang untuk masuk atau tidak. Pintu kamar ini hanya disekat gorden, jadi tidak perlu repot-repot mengetuk kalau mau masuk.     Saat otakku masih belum mengambil keputusan, tanganku sudah lancang menyibak kain yang menghalangi pandangan. Ayas masih terlelap. Wajahnya tak berubah, saat tidur pun masih mampu membuat jantungku berontak. Aku merindukannya, sungguh.     Sesak, tanpa sadar sudut mataku menghangat. Butiran rindu itu mengalir sebagai air mata. Aku menangis? kenapa? Allah, apa yang Engkau inginkan dari pertemuan ini?      Jari-jariku menyusuri setiap lekuk wajahnya. Tak sampai menyentuh memang, hanya cukup dekat untuk bisa merasakan hawa kulit pria itu.     “Apa yang kamu lakukan?” Ayas membuka mata secara tibatiba, dan menangkap pergelangan tanganku.     Aku salah tingkah sendiri, bingung mau menjelaskan apa.     Mau bagaimanapun dia sudah melihatku.     “Sahur,” jawabku singkat sambil membuang wajah.     “Aku tahu. Yang aku belum tahu itu alasanmu. Kenapa melihatku seperti itu? Kangen?” Dia malah menggoda. Senyumnya terbit dalam beberapa detik. Dan demi detak jantung yang semakin kurang ajar, aku menyukai senyum itu. Jenis senyum yang sangat polos, seperti milik anak kecil yang belum punya dosa. Tapi dia tidak boleh tahu, dia tidak boleh menyadari perasaanku yang tak berubah, atau hal buruk akan terjadi dalam tiga puluh hari ke depan.     “Kenapa dulu kamu kabur dari pesantren?” Ia menghela napas kasar. Eh, Ayas kelihatan sedih, kenapa? Aku bahkan mendengar adanya nada frustrasi dari kalimatnya barusan. “Kemarin, kamu juga pergi begitu saja setelah Pak Rt mengenalkanmu? Apa aku punya kesalahan yang membuatmu ingin menjauh? Atau, dari dulu kamu memang tidak pernah menyukaiku?” Ada luka yang terpancar dari mata pria itu. Hatiku gemuruh. Angin musim hujan yang masuk melalui kisi jendela, membuat tulang-tulangku semakin mengigil. Kenapa rasanya sesakit ini melihat Ayas seolah begitu tidak berdaya dengan apa yang dia rasakan?     “Bukan urusanmu!” jawabku ketus setelah kembali bisa mengendalikan diri. Tangannya masih mencengkeram, ia menuntut sebuah jawaban. Tapi aku sudah memutuskan, apa yang pernah terjadi di masa lalu, biarlah menjadi masa lalu, dan aku akan menyimpannya sebagai kenangan. Sekarang, tidak perlu ada lagi cerita tentang Jea dan Ayas. Sekarang, dia hanya seorang Da’i yang bertugas di sini selama bulan ramadhan. Dan akan pergi bersamaan dengan datangnya hari raya. Hanya begitu. Dia hanya tamu di rumahku, dan di desaku. Tidak lebih.     “Jangan sembarangan menyentuh perempuan yang bukan mahram.” Ingatkan aku kalau Ayas memang Gus berandal. Mana mau dia mendengar kata orang lain, apalagi hanya nasehat kacangan begitu. Dari dulu dia mang selalu seenak sendiri, kan? “Lepaskan,” ucapku berusaha menurunkan tangannya dari lenganku. Ada sengatan listrik yang mengalir bersama aliran darah, saat kulit kami saling bersentuhan. Tubuhku terasa panas seketika. Kenapa begini lagi? Aku menyentuhnya lagi, dan kenapa mendadak seperti ada lem maha kuat yang membuat tanganku tidak mau beranjak dari sana. Ada sesuatu yang memabukkan saat kulitku bertemu dengan kulitnya. Ini aneh. Sangat aneh malah. Apa lagi saat tidak sengaja pandanganku bertemu dengannya, waktu seakan benar-benar berhenti. Sekarang Ayas punya ilmu sihir, yah?     “Ck! Ngakunya santri, tapi kok berani berduaan. Pake acara pegang-pegangan tangan segala lagi.” Asrul sudah berdiri di ambang pintu, sambil bersedekap dan menyender pada gawang pintu.     “Maaf, Mas. Ini bukan seperti yang Mas lihat. Kita nggak ngapangapain, kok.” Ayas segera melepas tanganku, lalu menuju Asrul.     Aku terselamatkan. Setidaknya untuk saat ini.     “Lama banget, lagi pada ngapain, sih?” Marningsih muncul dari arah dapur. Gadis itu masih mengenakan pakaian kemarin sore, hanya jilbabnya saja yang sudah berubah. Kemarin dia menggunakan kerudung paris putih, sekarang sudah berganti pink muda. Serasi dengan warna kaos yang dikenakannya.     “Loh, Mbak Marningsih kok di sini?”     “Iya, Mas. Mamakku lagi nggak puasa, Bapak nginep di hutan, nungguin padi yang baru dipanen. Daripada sahur sama Lintang doang, aku gabung ke sini.”     “Alesan! Bilang aja mau ngecengin Mas Da’i. Ganjen, lu!” Asrul marah-marah nggak jelas, lalu menuju meja makan.     “Apaan, sih! Orang beneran juga. Lagian alasanku kan logis, kalau makan berdua doang pagi-pagi buta gini, rasanya nggak selera. Tapi kalau bareng-bareng kan lebih seru. Bilang aja ngiri, pengen ada yang ngecengin, kan?”     “Siapa yang ngiri? Kamu ganjen iya.”     “Enak aja! Ngomong ganjen sekali lagi, piring ini melayang ke kepalamu. Dasar Bulus!”     “Ganjen! Marningsih ganjen!”     “Ih, Asrul apaan, sih!” Marningsih merengek meminta dukungan Simbah. “Mbah, aku nggak ganjen, kan?” Lelaki tua itu hanya tersenyum, saling pandang dengan iyung. “Simbah kok malah senyum-senyum, sih. Belain dong, cucumu yang paling cantik ini sedang teraniaya.” Ia ganti memohon sama Iyung. “Yung, Marningsih enggak ganjen, kan?”     Mereka berdua itu memang aneh. Ada saja yang diributin, setiap ketemu pasti berantem. Bener-bener Tom-Jerry versi manusia.     “Sudah-sudah, berantemnya nanti lagi aja. Sekarang sahur dulu, sebentar lagi imsak.” Lembut suara Iyung yang menengahi, membuat Asrul langsung menjulurkan lidah mengejek Marningsih lalu tersenyum penuh kemenangan. “Monggo, Mas. Seadanya,” lanjut Iyung mempersilakan Ayas untuk makan.     “Pake ini, Mas. Tadi aku masak sendiri loh. Khusus buat Mas Ayas.” Marningsih menyodorkan semangkuk sup jamur. “Waah, ini beneran Mbak Ning yang masak?” Marningsih menangguk penuh semangat.     Berlebihan banget deh. Ngapain coba Ayas sampai segitunya, Aku juga sering makan masakan Marningsih, perasaan biasa aja.     “Enak banget, Mbak.” Ayas melirik ke arahku sambil memasukkan sesendok sayur ke mulutnya, seolah masakan Marningsih adalah makanan terenak yang pernah dia makan, lalu menyendok lebih banyak lagi.     Tanpa disuruh, Marningsih langsung mengambilkan lauk dan sayur, memindahkannya ke piring Ayas.     Mereka sudah mirip pengantin baru yang lagi dinner romantis ala drama korea. Orang-orang di meja makan ini, hanya sekelompok pemain musik klasik yang menambah keromantisan di antara Marningsih dan Ayas.     “Je, kamu yakin mau sahur sebanyak itu?”     “Iya, Yung. Biar kuat puasanya, kan baru hari pertama,” jawabku, sambil menyendok sayur sekali lagi.     Tapi yang terjadi selanjutnya adalah, aku melongo saat melihat banyaknya makanan yang sudah hijrah ke piring. Apa-apaan ini, kapan ngambilnya? Kok banyak gini, sih.     Duh, apa muat yah perutku? Ini gara-gara Ayas, niat banget dia bikin aku cemburu. Eh, sebentar, jadi aku cemburu sama Marningsih? Emang iya? Enggak, pasti bukan cemburu. Aku hanya tidak suka dengan orang-orang yang lebay. Pasti begitu. Iya. Ah, sudahlah. Sekarang yang paling penting adalah bagaimana caranya menghabiskan makanan ini sebelum imsyak, tanpa harus kekenyangan. Sepertinya aku perlu memindahkan sebagian ke piring Asrul. Ide bagus! Hahaaaa ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD