Behind The Scene With Arrogant Chef | 2

2056 Words
*** Manda menghentakan kakinya. Nampan yang ia bawa ia letakan di atas meja kantin dengan sedikit kesal. Pak Viktor memang menyuruhnya makan siang dulu, baru setelah itu harus siap menerima ceramahnya. "Kenapa sih Manda kok kamu sampai berantem gitu sama Chef Arfa?" tanya Dini teman kerja Manda. Manda menatap curiga kepada Dini, "kok kamu tahu namanya Arfa?" Manda malah balik bertanya. Dini memutar bola matanya. "Semua orang di sini juga tau kali kalau nama tuh Chef adalah Arfa! Dia kan cucunya adik owner hotel ini. Kamu aja yang ketinggalan informasi." Jawab Dini. "Ishhh bodoh amat! Pokoknya itu Chef nyebelin banget!" Manda menusuk daging di piringnya dengan gemas. Dini hanya geleng-geleng kepala. "Hati-hati Manda, cinta dan benci itu beda tipis!" ujar Dini. Manda langsung melotot. "Abisnya kamu benci banget sama Chef Arfa, sedangkan semua perempuan di sini termasuk ibu-ibu mengaguminya." balas Dini. Manda mendengkus. Ia tidak peduli si Chef Arfa yang songong itu banyak penganggum. Baginya Chef Arfa adalah manusia sok hebat yang sialnya harus bermasalah dengannya. "Itu karena mereka nggak tau gimana kelakuan si Chef songong!" balas Manda. Dini menggelengkan kepalanya dengan gemas. Manda ya Manda, kalau itu salah di matanya maka apapun kata orang dia tidak akan peduli. "Ya udah terserah. Cepat habisin! Bentar lagi waktu makan siang kita habis." Ucap Dini. Manda menghabiskan makanannya dengan cepat. Ia kesal sekali. Gara-gara berdebat dengan Chef Arfa, ia membuang waktu berharganya untuk berbincang bersama teamnya untuk terkahir kali. Kekesalan Manda bertahan hingga denting terakhir sendok dan garpunya mengenai piring. Sesuai aturan di kantin ini, selesai makan, nampan dan piring diletakan pada tempat yang telah disiapkan. Sampah basah dan sampah kering dipisahkan. "Sudah makan siang Kamanda?" Manda menolehkan kepalanya ke asal suara. Ia tahu betul siapa pemilik pertanyaan itu. "Siap sudah Chef!" Manda menjawab dengan lantang pertanyaan milik Chef Ardafaza Prangestu atau yang biasa dipanggil Chef Dafa. Manda sudah mengenal Chef Dafa sejak dua tahun lalu. Chef Dafa itu berbeda sekali dengan Chef Arfa. Chef Dafa sangat ramah dan mudah sekali bergaul. Chef Dafa baik hati. Itu menurut Manda. Mereka dekat seperti teman. "Nggak ada sanksi untuk hari ini, kan?" Manda tersipu mendengar pertanyaan itu. Pasalnya, hampir setiap hari Manda mendapat teguran. Ada saja yang ia lupakan dari aturan kantin ini. Tapi itu juga yang membuat Manda kenal dekat dengan Dafa. "Tidak Chef!" jawab Manda. "Ya sudah aku balik ke BTS dulu ya Chef. Kasian Dini udah nungguin." Ucap Manda. Baru saja Manda ingin membalikan tubuhnya, suara Chef Dafa mengintrupsinya lagi. "Nanti aku anterin pulang ya," katanya. Manda kembali menatap Chef Dafa. Ia berpikir sejenak sebelum menganggukan kepala. Manda menganggap ini adalah perpisahan diantara mereka jadi tidak apa-apa untuk pertama kalinya ia menerima tawaran Chef Dafa yang memang sejak dulu berambisi sekali mengantarnya pulang padahal jam kerja mereka berbeda. Chef Dafa sempat terkejut tapi sedetik kemudian ia tersenyum, bersyukur. Mata Dafa masih menatap punggung Manda yang menghilang dibalik pintu keluar bersama Dini. Ia tersenyum. Kamanda, Dafa tidak bisa menghentikan senyumnya ketika mengingat nama itu. Dafa akui Manda memang gadis biasa. Tapi Dafa menyukai kesederhanaan gadis itu. Ia sebenarnya heran kenapa Manda sulit sekali menangkap signal darinya, padahal Dafa sudah terang-terangan memperhatikan gadis itu sejak pertama kali mereka berkenalan. Dafa menggelengkan kepalanya, ia teringat tadi Manda sempat bertengkar dengan Arfa yang notabennya adalah adik sepupunya sendiri. Sepertinya Dafa memang harus bergerak cepat sebelum ada kata benci jadi cinta antara Arfa dan Manda. Dafa tidak rela kalau gadis sederhana incarannya itu bersama orang lain. Dafa meneruskan pekerjaannya. Tiba-tiba ia teringat dengan amanat kakeknya pagi tadi. Kakeknya ingin Dafa bekerja untuk tamu hotel saja dengan kata lain Dafa harus pindah ke salah satu restoran mereka. Jadi sebelum ia benar-benar pindah, ia harus mendapatkan Kamanda karena waktu mereka untuk bertemu semakin singkat saja. Setelah itu baru Dafa akan menerima tawaran dari kakeknya. Meskipun sebenarnya Dafa lebih suka di kantin ini tapi mengingat ia adalah Ardafaza Prangestu, walaupun ini sengaja menjadi rahasianya tetapi ia masih menjadi salah satu cucu Bramanta, pemilik hotel ini, maka mau tak mau Dafa harus menurutinya. Baiklah, tidak apa-apa ini demi masa depannya bersama Manda suatu hari nanti. Ah, Dafa jadi malu sendiri mengingat ia begitu menyukai Kamanda hingga tanpa sadar dirinya sudah membayangkan masa depan bersama gadis itu. "Senyum-senyum aja lo!" teguran itu menarik Dafa dari khayalannya. Dafa menolehkan kepalanya. Arfaraja, Dafa melihat laki-laki yang memiliki hobi yang sama dengannya itu mendengkus karena Dafa masih saja tersenyum. "Kenapa?" tanya Arfa penasaran. Dafa terkekeh, ia amati adik sepupunya itu dengan seksama. Sesaat Dafa sudah menetapkan kalau Arfa adalah rivalnya mulai saat ini. "Lo ngapain balik lagi ke sini setelah bikin rusuh kantin gara-gara emosi lo yang labil itu?" tanya Dafa. Wajah Arfa mendadak masam. Ia teringat kembali dengan gadis sok berani yang menantangnya dengan terang-terangan itu. "Halah bukan salah gue! Tuh cewek aja yang nyolot." Dafa sudah bisa menebak. Arfa pasti menyalahkan Manda. "Lo jangan terlalu benci sama Manda bro!" ujar Dafa. Arfa mengernyitkan dahinya. "Jangan bilang lo pacaran sama cewek songong itu?" telunjuk Arfa tepat berada di depan hidung Dafa. Dafa terkekeh. Itu yang ia harapkan dari dulu. Tapi sayang Manda belum menerima signalnya sampai sekarang. Dafa berdecak. "Jadi benar kalian pacaran?" Arfa semakin penasaran. Dafa tidak berniat menjawab pertanyaan Arfa. Biarkan saja sepupunya itu berpikir demikian. Ini juga demi Mandanya. Mungkin dengan berpikir begitu, Arfa yang tadinya berniat mengusik Manda jadi tidak ingin mengusik Manda lagi. "Ck! Ngapain sih lo pacaran sama cewek belagu itu?" Tiba-tiba Arfa merasa kesal. Ia tidak rela sepupu sebaik Dafa terjatuh pada perempuan yang menurutnya tidak memiliki etika itu. Arfa tidak habis pikir pada bagian mana yang menarik dalam diri Manda hingga bisa membuat Dafa terpesona. Gadis itu jelas jauh dari kata cantik. Dafa menanggapi kekesalan Arfa dengan senyuman. "Manda itu spesial. Dia perempuan langka," jelas Dafa. Entah kenapa Arfa sama sekali tidak menyukai cara Dafa memuji Manda. Arfa tidak menyukai senyuman Dafa yang lembut seolah ia membayangkan wajah Manda. Arfa tidak menyukai semua itu. Arfa yang tadinya ingin mencicipi masakan Chef Dafa menjadi tidak bernapsu. Ia meletakan kembali piring yang sudah sempat diambilnya. Arfa meninggalkan Dafa yang masih saja terkekeh melihat tingkahnya. Hal itu semakin menambah kekesalan Arfa. "Ini semua karena Manda!" ucapnya. Sementara itu, Manda merasa telinganya berdengung. Menurut Dini, jika telinga berdenging maka pasti ada yang sedang membicarakannya atau mengutuknya. Dengan sikap masa bodohnya itu, Manda mengedikan bahu. Saat Manda baru saja duduk di kursinya, Ayu berteriak histeris. "Aaaaa gue lihat Chef Dafa dan Chef baru itu ngobrol di kantin guys!! Mereka terlihat akrab." Ayu antusias sekali menceritakan semuanya. Dini mendekat. "Oya?? Sedekat apa menurut lo?" tanyanya pada Ayu. Ayu menerawang. Ia seolah membayangkan kedekatan Chef Arfa dan Chef Dafa sebelum memulai ceritanya. "Temen? Saudara? Gue bingung jelasinnya tapi mereka kayak udah kenal lama, Din!" katanya. Dini memgangguk-anggukan kepalanya. "Kalau dilihat-lihat sih emang ada kemiripan antara Chef Dafa sama Chef Arfa." Jelas Dini. Ia menatap Manda untuk meminta persetujuan. "Menurut lo gimana, Man? Secara lo kan deket banget sama Chef Dafa dan kebetulan tadi lo sempat berantem sama Chef Arfa, jadi lo udah lihat muka Chef Arfa!" Manda memutar bola matanya. "Kagak ada mirip-miripnya! Chef Dafa jauh lebih ganteng!" katanya. Entah kenapa Manda kesal sekali mengingat wajah Chef Arfa yang setara kulkas itu. Dini berdecak, "lo emang nggak bisa diajak bergosip, Man. Singkirin dulu deh muka jutek Chef Arfa biar kita tau gitu bentuk kedekatan seperti apa antara Chef Arfa sama Chef Dafa." Dini belum puas. Ia memang penasaran dengan apapun yang berhubungan dengan sesuatu yang 'menduga-duga'. "Aduh Dini... Biar gue jelasin ya! Chef Dafa itu nggak ada mirip-miripnya sama orang songong itu!" Manda kesal sekali karena Chef baik hati yang selama dua tahun ini berteman dengannya disama-samakan dengan Chef Arfa. Bagi Manda Chef Dafa jauh lebih baik daripada Chef Arfa. Entah itu wajahnya, apa lagi sifatnya. Manda tidak rela Chef Dafa disamakan dengan Chef Arfa! "Terserah lo deh! Tapi saran gue, lo jangan benci-benci amat sama Chef Arfa, Man. Gue takut lo jatuh cinta sama dia tapi dia malah nggak suka sama lo." Kata-kata Dini sedikit mengganggu bagi Manda. Bukan karena dirinya takut jatuh cinta dengan Chef Arfa, karena itu tidak mungkin. Tapi, Manda tidak suka dirinya dikaitkan dengan Chef songong itu dalam konteks apapun. Manda menyilangkan kedua tangannya di d**a. "Gue nggak mungkin jatuh cinta sama dia karena nama dia udah gue blok duluan." Ucap Manda sangat yakin. "Dan yang paling penting, gue nggak mungkin bisa jatuh cinta lagi setelah kejadian hari itu. Gue nggak bisa.." Manda menambahkan daftar alasannya di dalam hatinya yang terdalam. Wajahnya masih sedatar biasa tapi siapa yang tahu saat sedang bercerita tentang rasa, hatinya bergerimis. Menangis. Dini hanya bisa menggelengkan kepalanya. Baginya Manda masih sama. Dia bukan si merah yang selalu berpikir 'apa untungnya buat gue' atau si kuning yang 'suka sekali dipuji' Manda bisa saja menjadi biru atau ungu dengan segala persaan tak enak hatinya itu. Atau Manda juga bisa terlihat seperti hijau yang selalu mendetail. Bagi Dini, Manda itu tidak pernah terbaca. Manda susah ditebak. Meskipun mereka berteman cukup dekat selama dua tahun ini tapi selalu ada sekat yang tidak bisa Dini hilangkan diantara mereka. Manda seolah memang sengaja membangun sekat itu agar tidak ada yang tahu perasaannya yang sesungguhnya. "Suka-suka lo deh." Dini mengalihkan tatapannya pada Ayu yang memang sejak tadi menyimak percakapannya dengan Manda. Dini memang masih penasaran dengan cerita Ayu ini. "Terus Yu lo dengar nggak mereka ngobrolin apa?" tanya Dini kepo setengah mati. Intonasinya menunjukkan kalau ia benar-benar penasaran. Manda lagi-lagi memutar bola matanya. Ia akui Dini ini diam-diam suka bergosip juga. Tapi ia menyukai Dini sebagai temannya. Dini orang yang baik. Kini giliran Ayu yang menatap Manda. Mulutnya kadang terbuka kadang tertutup. Ia seperti bingung ingin memulai dari mana. "Kenapa sih, Yu?" tanya Dini tidak sabar. Ia ikut menatap Manda dengan dahi berkerut sebelum matanya melotot serta mulut menganga. Dini sadar ia pasti terlihat sangat jelek dengan ekspresi seperti itu. Cepat-cepat ia menutup mulutnya dengan telapak tangan sambil geleng-geleng kepala. "Kalian kenapa?" tanya Manda heran. "Jadi mereka bicarain Manda?" itu pernyataan meskipun terdengar seperti pertanyaan. Ayu menganggukan kepalanya dengan khidmat. Ia pun tidak melepaskan tatapannya dari Kamanda. Mendengar itu, Manda nyaris saja terjungkal ke belakang. "Maksud lo?" tanyanya penasaran. Tadinya ia tidak ingin mendengar apapun tentang Chef Arfa tapi mengingat Chef Arfa dan Dafa itu membicarakan dirinya, mau tidak mau Manda penasaran juga. "Chef Dafa memang terlihat santai saat ngomong sama Chef Arfa tapi gue sadar betul kalau Chef Dafa belain lo, Manda. Chef Arfa kesal sampai nggak jadi makan karena semua itu." Cerita Ayu menggebu-gebu. Dini bersemangat. Manda menghela napasnya. Baginya wajar Chef Dafa membelanya karena mereka adalah teman tapi Manda tidak suka kalau karena dirinya, Chef Dafa ikut memiliki musuh. "Okay! Singkirin dulu pertanyaan seberapa dekat Chef Dafa dan Arfa." Ucap Dini. Ia terlihat menyelidik kearah Manda. "Jadi, pertanyaan gue adalah seberap jauh hubungan lo sama Chef Dafa?" telunjuk Dini mengenai hidung Manda. Ia menepisnya. "Gue sama dia hanya BERTEMAN. Puas nona kepo?" jawaban Manda membuat Dini merengut. Bukan itu yang ingin dirinya dengar tapi Manda tetaplah Manda. "Lagian ngapain sih Yu lo balik lagi ke kantin cuma buat dengerin tuh duo Chef bergosip???" kesal Manda. Ayu memutas bola matanya, "siapa juga yang sengaja balik lagi ke kantin??!! Barang gue ketinggalan begok!" balas Ayu. Setelah itu hanya helaan napas yang terdengar sebelum suara Pak Viktor memanggil semua orang untuk briefing. Manda mendengkus. Ini saatnya ia di eksekusi oleh Pak Viktor perihal kejadian di kantin tadi. Manda merinding karena sejak briefing dimulai sampai dengan selesai, mata Pak Viktor mengawasi Manda saja seolah takut kalau-kalau Manda kembali melakukan kesalahan. "Karena kalian semua pasti sudah tau dengan kejadian siang ini di kantin, maka saya akan membahasnya sekaligus." Semua mata menatap pada Manda. "Saya nggak salah, Pak!" ujar Manda. Pak Viktor tidak marah karena ia tahu kalau Manda memang tidak bersalah tapi hukum mana yang kebal ketika yang dihadapi adalah orang-orang kaya seperti Arfaraja Pramestu. "Manda, nanti sebelum pulang kamu ikut Bapak untuk bertemu dengan Pak Bram, owner hotel ini." Ucap Pak Viktor. Manda tahu ia tak bisa menolak. Sedari dulu atasannya itu telah memberitahu jangan sampai berurusan dengan owner hotel karena ketika ia telah berbicara maka yang lain hanya bisa patuh saja. "Baik Pak." Jawaban Manda singkat padat dan jelas. Ia tidak mau memberikan penjelasan apapun pada mata teman-temannya yang penasaran. Baginya permasalahan ini harus secepatnya selesai karena ia ingin memberikan kesan yang baik ketika meninggalkan hotel. . . . Bersambung.  Jangan lupa tekan LOVE :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD