2. Tetangga Kok Gitu

1686 Words
Jadi istrinya Mas Adji itu enak banget tau. Nggak pernah nuntut rumah harus kemas, masakan harus enak, atau harus dandan cantik pas suami pulang. Setiap hari Aku bisa goleran sambil Netflix dan ngemil-ngemil cantik. Trus keuangan terpantau lancar. Nikmat mana lagi yang mau Aku dustakan coba? Tapi ini nih, tiap hari ada aja yang suka gerecokin. Bel pintu udah di pasang tinggi, tiap hari ada aja bocah yang mencetin. Yah, walau Aku sama Mas Adji tinggal di komplek yang bisa dibilang, ekhm elite. Tapi yang namanya manusia, mau orang kaya mau orang susah, dimana-mana sama aja. Kadang ada yang norak, ada yang julid, ada juga yang sok perhatian. "Tante Gina... Tante Gina... Di tunggu tukang sayur!" teriak bocah enam tahun yang tak lain anak tetangga sebelah yang rumahnya paling gedong. Rama, anaknya Mbak Ica dan dokter Rakha. Meski anak orang kaya tapi entah kenapa bocah itu suka sekali ngeluyur di komplek. Nggak matching sama atribut bermerk yang melekat di badan. Tuh bocah terlalu merakyat. Aku segera meraih bergo dan memasang asal. Lalu bergegas membuka pintu sebelum bel depan rumah jebol. "Tante nggak beli sayur. Bilangin sama mamangnya," kataku pas pintu terbuka. Bocah tinggi dengan layangan merah di tangan kanannya itu melongo takjub. "Liat apa kamu? Terpesona?" tanyaku heran. "Tante nggak ngaca?" "Kenapa?" "Itu kerudungnya kebalik, " tunjuk Rama sambil nyengir. Buru-buru Aku menutup pintu dan memakai ulang bergo di kepala. Asem emang. "Kata Bude Wahyu, belanja nggak belanja wajib ngumpul di tongkrongan Mamang sayur!" "Loh kok gitu?" "Meneketehe, tanya aja sama orangnya. Tuh Bude Wahyu udah stand by," bocah ganteng itu lalu menyingkir sambil menerbang-nerbangkan layangannya santai. "Hmm, pasti nih ada gosip baru," gumamku sambil merapikan baju dan bergo di kepala. Melangkah ke arah emak-emak berbadan gempal dengan banyak perhiasan emas di tangan kiri dan kanan. Nah, ini dia para netizen julid, batinku menggerutu. Bude Wahyu tidak sendiri, dia sudah bersama Ibu-ibu komplek dengan para asisten masing-masing. Mungkin cuma Aku disini yang belum memiliki asisten rumah tangga. Untuk apa kalau semua bisa di urus sendiri. Toh Mas Adji nggak pernah komplen. Oh ya, Mamang sayur yang dimaksud bukan Mamang kucel yang biasa dilihat di pasar-pasar. Tapi Mamang sayur dengan seragam salah satu market store ternama. Lengkap dengan mobil box yang berpendingin. Bahan makanan yang dijual juga sudah di packing rapi dan sudah pasti segar. Ehkm, orang kaya. "Gin, ngapain kamu di rumah aja, sini ngumpul!" lambai Bude Wahyu. Begitu dekat dia langsung menarik tanganku dan mengajak ikut bergerombol bersama ibu-ibu lainnya. "Nih, yang ditunggu-tunggu sudah nongol Bu-ibu. Sok dibilangin atuh apa yang tadi kita sepakati," ucap Bude Wahyu. Firasatku mulai nggak enak nih permisah. Nampaknya acara pembullyan segera di mulai. "Pertama-tama, Gina sekarang tambah cakep aja, mirip-mirip Zhao Lusi artis Chinese itu loh," kata Bu Ningsih sebagai pembukaan. "Bu-ibu gemoy bisa aja," aku tersipu bersama senyum sumringah Ibu-ibu itu. "Gini Gin, si Jihan yang rumahnya di sebelah RT, besok ngadain acara." "Oke terus", sampai di sini batinku merasa aman. Jadi, Aku belum komen apapun. "Tau kan kamu acara apa?" tanya Bude Wahyu. Aku hanya menggeleng lugu. Benar-benar kudet. "Lah si Gina, makanya gaul atuh! Kamu mah ngeram mulu di rumah. Kayak ayam mau lahiran!" Lah, jadi galak dia dari mama Aku. Lagian sejak kapan ayam lahiran? "Udah lah Bu-ibu, to the poin aja," sahutku tak sabar. "Ih, si Gina nggak sabaran," Bu Ranti cekikikan. "Nungguin ya..." Aku memutar bola mata malas. "Jihan kan syukuran empat bulanan kehamilannya. Akhirnya setelah sekian tahun menanti. Orang sabar pasti dijawab doanya sama Allah," jelas Bu Ningsih. Aku hanya manggut-manggut paham. "Kamu bisakan besok hadir juga? Sebentar kok, kita ikut mendoakan Jihan, supaya kamu juga cepat ketularan, Gin." Nah nah apa Aku bilang, pasti nyerempet-nyerempet. "Kamu jangan putus asa, Gin. Rajin berdoa dan berusaha. Suami kamu kan ganteng, masa kamu nggak mau punya keturunan yang mirip dia. Kalau perlu kamu ke dokter minta resep supaya subur sama ke orang pintar juga, biar di doa'in." Tuh kan mulai ngelantur. Aku hanya cengengesan sambil menggaruk kepala yang ketutup bergo. Padahal nggak gatal. Gimik aja sih biar nggak kelihatan kalo lagi canggung. "Mang, pepaya dua!" kataku melengos ke arah Mamang sayur. Padahal nggak niat belanja, soalnya kemaren Mas Adji udah penuhin stok isi kulkas. "Eh, jangan pepaya. Stroberi aja bagus untuk kesuburan wanita!" larang Bu Ranti. "He em, pernah baca gitu, pepaya malah bagus untuk mencegah kehamilan, mbak Gina." Rika asisten Bude Wahyu ikut-ikutan nimbrung. Buset dah, Aku kalah sama asisten rumah tangga ini ceritanya. "Kalau nggak percaya tanya aja sama Ica yang suaminya dokter," tunjuk Bu Ranti pada Mbak Ica yang sedari tadi nggak ikut ngomong. Sibuk melototin Rama yang nggak bisa diam. Merasa namanya disebut, Mbak Ica akhirnya bicara, "Udah lah Bu-ibu. Gina kan masih muda, masih penganten baru. Nggak usah buru-buru punya anak. Nikmati aja dulu masa pacarannya. Lagian tujuan menikah bukan hanya karena keturunan aja kan? Yang lebih penting, kita sama suami akur, saling dukung, sama-sama bahagia, masuk surga," cerocos Mbak Ica santai. Sekalinya ngomong emang langsung kena sasaran. Istri dokter ya pintar lah ngelesnya. "Amiin," jawab kami kompak. Oh, terimakasih Mbak Ica. Akhirnya ada yang mewakili perasaan Aku. Bu Ranti meneguk ludah, kicep. "Mbak Gina, pepayanya jadi?" Mamang sayur menginterupsi. "Jadi Mang, 1 aja, 1 lagi stroberi," jawabku sambil mengeluarkan uang dari saku celana. "Eh, tapi tau nggak Bu-ibu, yang Saya denger nih, Jihan katanya bakal menggugat cerai suaminya pas habis lahiran," bisik Bu Ningsih dengan mimik ala-ala Ibu-ibu pergosipan. Yang katanya nih ya, semakin kecil suaranya semakin akurat gosipnya. "Huss, jangan fitnah Bu Ning!" hardik Bude Wahyu. "Ihh, nggak percaya. Informasi valid dari orang dalam ini alias dari Surti asisten rumah tangganya. Suaminya kan selingkuh sama sekertaris bosnya di kantor," tambah Bu Ningsih antusias. "Bukannya masih satu kantor sama suami kamu ya, Gin?" "Ya ampun, kasian banget Jihan. Baru di kasih momongan sudah langsung dapat cobaan aja," sahut Bu Ranti sok prihatin. Mba Ica kemudian mendekatiku lalu berbisik, "Udah nggak usah di dengerin. Mereka kalau sehari nggak nyinyir bisa tipes kayaknya," selorohnya. Aku menutup mulut untuk menahan tawa. Mengangguk ke arah Mba Ica yang kini sibuk menggandeng tangan Rama ke arah rumahnya. "Bu-ibu, Saya duluan ya. Mau nganter Rama bimbel dulu." Mbak Ica mengangguk ramah lalu pulang. Aku pun mengikuti, berbalik menuju rumah. Tapi di tahan sama Bude Wahyu lagi. "Lah, kamu nanti dulu, belum selesai ini." "Apanya Bude? Iya, nanti Gina ikut ke rumah Mbak Jihan. Gabung Bu-ibu semua," jawabku ingin cepat pergi. "Tapi kita harus bawa buah tangan, Gina." Firasatku kembali tidak enak. "Kata asisten rumah tangga si Jihan, dia kepengenan asinan buah mangga. Tapi mangganya yang di samping rumah kamu itu loh. Ayuk kita ambil dulu, biar Saya yang bikin asinannya," ajak Bude Wahyu. "Ho'oh Gin, kasian nanti anaknya ngeces kalau nggak kesampaian." Bu Ratih, Bu Ningsih kompak mengangguk. Hadeh, jadi ini maksud dan tujuan mereka supaya Aku ikut gabung. Kami semua melongok ke atas. Iya, mangga di samping rumahku memang sedang berbuah. Tapi sayangnya cukup jauh untuk kami gapai dengan tangan kosong. Sementara tidak ada tongkat panjang untuk meraihnya. "Mang, bisa tolong ambilin nggak?" tanyaku penuh permohonan pada Mamang sayur. "Maaf Mbak, Saya mau keliling lagi," sahut Mamang sungkan. Elah, siapa juga yang mau naik pohon mangga panas-panas gini. "Si Rika aja deh, suruh manjat. Mana tadi Rika?" tanya Bude Wahyu celingukan mencari sang asisten. Rika yang dicari udah kabur, "Maaf Bu, Rika lupa belum masak nasi," teriaknya dari teras rumah Bude Wahyu. Kami semua menggeleng tak percaya. Ada ya asisten rumah tangga yang modelan kancil gitu. "Trus siapa yang naik?" tanyaku polos. "Ya, kamu lah! Masa Bude? Yang ada pohonnya rubuh nggak kuat menanggung beban!" "Bu Ranti dan Bu Ning juga nggak bisa manjat, osteoporosis. Takutnya pohon mangga kamu malas berbuah lagi." Apa hubungannya coba? "Yah, jangan dong Bude. Gina lama nggak pernah manjat lagi nih," mukaku udah pucat aja sih. "Nah, bagus itu berati sudah ada pengalaman. Ayo kamu coba dulu, nanti kami tungguin dari bawah. Jangan takut jatuh, kami siap siaga di sini," semangat Bu Ratih. Hemm, ngomong sih enak, yang manjat dag dig dug ini. "Buru deh Gin, panas banget ini," suruh Bu Ningsih. Allahu Akbar, panggil damkar aja boleh nggak si? Sambil meneguk ludah kasar Aku mencoba meraih ranting dan berpijak di dahan kokoh. Meski takut Aku tetap berusaha sebisanya. Memetik satu satu buah mangga yang mudah ku jangkau, tanpa menoleh ke bawah. "Cukup Gin, segini aja!" teriak Bude Wahyu. Suaranya agak kecil dari atas sini, padahal Aku tahu Bude Wahyu berteriak. Lalu begitu menoleh ke bawah langsung saja lututku gemetar. Perutku langsung mules, kepala mendadak keliyengan. "Bude, turunnya gimana ini?" "Ya, kayak kamu naik tadi Gin. Injak dahan yang tadi!" Ngomong sih gampil, pas nengok ke bawah kok bumi kayak gonjang ganjing. "Nggak berani Bude..." teriakku mulai gemetar. Mataku juga mulai berkaca-kaca mau nangis. "Ya udah, kamu tunggu situ dulu. Kami cariin tangga." "Sabar ya, Gin. Santai dulu di situ." "Jangan kemana-mana," Bu Nigsih ikutan ngasih wejangan. Emangnya bisa kemana, lah nyangkut gini. Asem emang. Sudah tau bakal di bully, masih aja kena. Dua menit, lima menit, tujuh menit, geng triplet emak-emak gemoy belum juga nongol. Ya elah, udah kayak ikan asin nih di jemur di pohon mangga. Tapi, yang namanya orang Indonesia, ada aja untungnya. Teringat ponsel yang sempat ku selipkan di kantong celana, untung banget nggak tuh. Aku meraih ponsel di saku dan mendial kontak Mas Adji. Biarin deh kena omel Mas Adji. Kasih sajen juga anteng lagi tuh orang. Park Mi Su calling... "Hallo Mas, hiks hiks hiks tolongin Gina...." "...." "Iya Mas, cepet." Sepuluh menit kemudian Mas Adji sudah memarkir mobilnya asal. Buru-buru menuju rumah. "Gina.." teriaknya panik. "Mas.... hiks hiks hiksss" teriak ku. "Kamu dimana Gin?" Mas Adji celingak-celinguk di sepanjang halaman, urung masuk ke dalam rumah. "Di atas, Mas." Mas Adji melongok lalu terkejut setelahnya. "Astaghfirullah Gin, ngapain kamu disitu?" tanyanya sambil berkacak pinggang. "Di suruh metik mangga sama Bude Wahyu. Nggak bisa turunnya, nyangkut. Gemetaran lutut Aku mas... huhuhhh..." Aku beneran mewek. Di luar dugaan, Mas Adji yang biasa lempeng dan pelit senyum malah ngakak nyaring tiada terkira. Dia bahkan sampai memegang perut dan menghapus air matanya saking senangnya kali yah lihat istri nyangkut. "Gina Gina bisa-bisanya kamu dikerjai Ibu-ibu komplek."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD