bc

PERNIKAHAN RAHASIA DOSEN KILLER SEKSI DAN BERONDONG TAMPAN

book_age18+
661
FOLLOW
8.3K
READ
HE
playboy
heir/heiress
blue collar
drama
bxg
bold
highschool
friends with benefits
like
intro-logo
Blurb

WARNING!!!!!

MATURE CONTENT! 21+

***

Patah hati diselingkuhi dan ditinggalkan, dianggap terlalu kaku dan membosankan membuat Alya (28) gadis baik-baik yang tidak pernah kenal dunia malam, melakukan one night stand dengan seorang pria yang ia kenal melalui sosial media, bernama Mark (24). Akan tetapi siapa yang menduga kalau pertemuan itu ternyata membawa keduanya pada sebuah takdir menarik dimana Mark ternyata salah satu mahasiswa bimbingan Alya yang hampir kena DO sekaligus pria yang orangtuanya jodohkan.

Mulanya Alya percaya diri kalau Mark pasti akan menolak perjodohan itu—setelah semua yang terjadi diantara mereka, sehingga Alya tak menolak datang ke pertemuan, tapi siapa sangka Mark justru menerima tawaran itu tanpa berpikir lama dan langsung setuju saat itu juga. Perjodohan tak bisa terelakkan, pernikahan yang tidak Alya inginkan pun tidak dapat terhindarkan. Sampai pada titik dimana Mark dan keluarga mereka kemudian sepakat untuk merahasiakan hubungan tersebut pada semua orang dengan alasan status mereka.

Tak ada hari tanpa perdebatan setelah pernikahan. Akan tetapi siapa sangka? Perlahan rasa peduli pun mulai tumbuh, membuahkan getaran dalam hati. Sayang ketenangan yang baru Alya dapat itu hanya sampai pada kedatangan Airi—mantan kekasih Mark, yang membuat keraguan dalam hati Alya muncul, mengganggu ketenangan hatinya.

“Kamu pikir kenapa Mark mau menikahimu dan mau-mau saja merahasiakan hubungan kalian?”

“Jangan naif Alya. Ingat… Mark naik jabatan setelah menikah denganmu. So… Apakah menurutmu pernikahan kalian tidak ada kaitannya?”

Apakah alasan yang Mark simpan dibalik pernikahan rahasia tersebut?

chap-preview
Free preview
1. Permintaan Orangtua
December, 27th. “Apa alasanmu mengambil judul ini?” “Apa keterbaruan dari judul kamu?” “Atas dasar apa kamu menggunakan jurnal ini sebagai dasar penelitian?” “Apa topik yang ingin kamu angkat dari penelitian ini?” “Cuma itu yang biasanya Bu Alya tanyakan di bimbingan pertama.” “Yakin lo?” “Yakinlah. Gue udah tanya ke Mahasiswa lain.” “Jangan jumawa anjir, kalo bukan itu pertanyaannya yang ada lo abis sama Bu Alya.” “Halah sama-sama manusiakan? Sama-sama makan nasi?” “Lo kayak gak kenal bu Alya aja. Udahlah. Terserah. Sono lo masuk duluan.” “Oke. Liat aja. Gue pasti lolos dan keluar dari ruangan itu sambil tersenyum lebar.” Dengan bahu tegak dan dagu yang terangkat sombong, Mahasiswi itu mengetuk pintu ruangan Dosen di depannya. Setelah terdengar sahutan dari dalam barulah Mahasiswi itu masuk dan dengan senyuman lebar Mahasiswi tersebut berjalan menghadap Dosen yang dia gunjing beberapa saat lalu. “Silahkan duduk.” Perempuan cantik dengan kacamata tipis membingkai mata indahnya itu mendongak, menatap Mahasiswa di depannya dengan datar disertai tatapan dingin yang sangat menusuk. Perempuan itu, Alya Reva Pratiwi perempuan cantik berusia 28 tahun. Dosen yang kerap kali membuat Mahasiswi iri karena parasnya yang begitu menawan, tubuh yang meliuk indah, sikapnya sangat anggun, penampilan berkelas dan sangat berpendidikan. Di usianya ini Alya sudah menyelesaikan pendidikan S-3 dan satu setengah tahun belakangan ini dia adalah salah satu Dosen paling terkenal di Kampusnya. Bukan hanya karena paras dan tubuh indahnya, tapi karena tingkat disiplin dan perfectionist yang dia miliki, sampai-sampai julukan killer tersandang apik di bahunya. “Bu Alya ini proposal penelitian saya.” Alya menerima proposal tersebut, memindainya sesaat sebelum kembali menatap Mahasiswi itu. “Bukankah ini pertemuan pertama kita?” “Ya.” “Sepertinya kamu sangat percaya diri sampai-sampai langsung membawa proposal tanpa melakukan konsultasi pemilihan judul?” “Y—ya. Saya sudah sangat yakin dengan judul dan penelitian yang akan saya lakukan.” “Apa alasanmu mengambil judul ini?” Seperti mendapatkan jackpot, Mahasiswi itu tersenyum saat mendapatkan pertanyaan yang jawabannya sudah dipersiapkan. Bahkan seluruh pertanyaan yang sebelumnya ia sebutkan ternyata benar-benar ditanyakan dan tentu saja dapat perempuan itu jawab dengan mudah. Sampai tiba pada satu pertanyaan membuat Mahasiswi itu terdiam. “Metode penelitian apa yang akan kamu gunakan?” “Me—metode?” Alya mengangguk tipis. “Met—metode yang saya gunakan—.” “Masa pertanyaan mendasar seperti ini saja kamu tidak bisa menjawab? Padahal tadi pertanyaan lain dijawab dengan lancar-lancar saja.” Alya memiringkan kepala, memicingkan mata, menatap intens Mahasiswi di depannya. “Proposal ini bukan kamu yang kerjakan kan? ” “Saya kerjakan sendiri Bu. Say—.” “Silahkan keluar, dan kembali dengan judul lain yang penelitiannya akan kamu laksanakan sendiri.” “Tapi Bu.” Alya tak memberi tanggapan lagi. Sadis? Memang. Begitulah Alya. Itu yang paling terkenal dari perempuan itu, dan itu adalah pesonanya. “Bermasalah lagi?” Perempuan yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu mendekat, dia Ella salah satu sahabatnya sejak SMA—yang bekerja sebagai staff Tata Usaha di kampus tempatnya mengajar. “Begitulah. Udah biasa gak sih?” Ella terkekeh kecil. “Kelakuan mereka memang selalu ajaib.” “Oh ya, kayaknya entar malem kita nongkrong berdua doang deh Al. Ica katanya gak bisa.” Ah ya, Ica atau Lisa itu satu lagi sahabatnya Alya. Sama-sama kenal sejak SMA juga, tapi sekarang dia bekerja di sebuah perusahaan, tidak di kampus seperti mereka. “Yaudah sih gak masalah, toh biasanya Jum’at malam cuma kita berdua gak sih La? Ica selalu sibuk.” Drrt Drrt… Deringan ponsel Alya menghentikan percakapan keduanya. “Sebentar La, Ibuku menelpon.” “Hallo, Assalamu’alaikum Ambu.” “Wa’alaikumsalam Neng, lagi sibuk gak kamu?” “Enggak, Alya lagi istirahat Ambu. Ambu sama Abah sehat?” “Alhamdulillah sehat. Kamu sendiri gimana Neng?” “Alya juga sehat Ambu.” “Neng… libur semester ini kamu pulang kan?” “Alya usahakan Ambu. Kenapa memangnya?” Sebab tumben sekali ibunya itu bertanya tentang liburnya seperti ini. “Begini. Ambu sama Abah pengen kamu bawa pacar kamu ke rumah Neng. Kenalan sama kita. Abah bilang pengen ngobrol. Abah pengen kenal sama dia.” Helaan napas ibunya terdengar. “Ambu tidak bermaksud mau desek Eneng. Tapi sekarang Eneng itu udah 27 tahun, sekitar seminggu lagi—1 Januari nanti Eneng 28 tahun. Rasanya udah saatnya buat Eneng nikah, bukan waktunya buat pacaran lagi. Eneng paham kan maksud Ambu Neng? Jangan marah ya….” Alya menghela napas panjang. Ini bukan permintaan pertama orangtuanya—hampir setiap bulan orangtuanya meminta bertemu dengan Radit—kekasihnya. Sebenarnya ia pun bukan tak ingin membawa Radit. Hanya saja Radit bilang dia belum siap, katanya tabungan yang pria itu miliki belum cukup untuk pernikahan mereka. Jadi… bagaimana lagi? Ia pun tidak bisa melakukan apapun. “Mas Radit bilang belum siap Ambu.” “Neng….” “Abah.” Panggil Alya begitu suara bariton yang sangat ia kenali terdengar di ujung panggilan. “Pria yang benar-benar mencintaimu tidak akan pernah membuatmu menunggu. Dia tidak akan membiarkan hubungan kalian berjalan tanpa adanya kepastian.” Alya terdiam. Ia merasa tertampar dengan ucapan sang ayah. Apalagi akhir-akhir ini Radit memang semakin sulit ditemui. “Neng? Masih di sana?” “Iya Abah.” “Eneng paham kan maksud Abah?” “Paham Bah, kalau begitu Alya mau ajak Mas Radit ngobrol dulu ya Bah. Alya usahakan sekitar tanggal 3 atau 5 Alya pulang ke Bandung.” “Iya. Abah tunggu kabar baiknya ya Neng. Kalau begitu sudah dulu.” “Iya Abah.” “Kenapa?” Tanya Ella begitu Alya menyimpan ponselnya. “Diminta pulang bawa Radit lagi ya?” Alya mengangguk kecil. “Sorry kayaknya malem ini kita gak bisa nongkrong dulu ya La?” “Mau nemuin Radit?” Aly mengangguk lagi. “Yaudah. Good luck ya. Gue bantu do’a. Semoga semuanya berjalan dengan baik.” “Aamiin. Thank you La.” *** “Dit dimana? Makan malem bareng yuk mumpung senggang. Kebetulan aku mau masak nih.” “Al maaf, malam ini aku gak bisa. Aku lembur.” Langkah Alya terhenti, pergerakannya yang sedang membuka sepatu pun juga terhenti. Sejak siang, Alya berusaha menghubungi Radit, tapi pria itu tak ada menjawab panggilannya. Ia asumsikan dia sibuk bekerja. Tapi… apa-apaan ini? Setelah sibuk seharian masa lembur juga? “Jum’at malam begini kamu masih lembur Dit? Besok kan weekend.” Padahal sore itu Alya sengaja berbelanja sebelum pulang, harapannya Radit bisa datang, tapi ternyata—sama saja. Dia tidak bisa menemuinya lagi. “Iya, tiba-tiba si bos ngasih kerjaan nih. Padahal aku udah nolak tadi, tapi tetep aja di kasih kerjaan.” “Bos kamu ini kenapa sering banget ngajakin lembur sih Dit? Dia nih jomblo ya? Kerja mulu yang dipikirin.” Kesal. Padahal seharian ini kekasihnya sudah sibuk kerja, masa ditambah lembur juga? “Katanya sih gitu. Ya maklumlah masih muda banget dia, katanya lagi ambisi buat jadi CEO juga makanya begini.” “Pantesan.” “Kalo gitu udah dulu ya Al, nanti aku telpon kamu lagi kalo udah di apart. Sebagai gantinya aku kirimin kamu makanan buat makan malem ya.“ “Gak usah Dit.” “Yaudah kalo gitu aku balik kerja lagi ya? Kamu jangan kemana-mana, di rumah aja, cuaca di luar lagi gak bagus.” “Iya.” Alya letakkan begitu saja belanjaannya di lantai. Kakinya melangkah gontai, berjalan ke arah ranjang kemudian berbaring di sana. Memandang langit-langit kamar apartemennya dengan tatapan kosong. Alasan itu lagi, Radit selalu memberinya alasan yang sama setiap kali ia meminta untuk bertemu. Ini bukan pertama kalinya, tapi berulang kali. Dua bulan ini Radit bahkan menggunakan alasan itu saat weekend. Aneh kan? Salahkah sekarang Alya curiga? Semua orang memandangnya beruntung. Di usia muda Alya bisa mendapatkan pekerjaan mapan dengan karir cemerlang. Namun tak banyak orang yang tahu, kalau ia tak pernah beruntung untuk urusan cinta. Ia selalu dicampakkan bahkan buruknya selalu diselingkuhi. Tidak, Mas Radit gak gitu. Mas Radit gak kayak cowok lain. Mas Radit sibuk. Tegas Alya dalam hatinya. Baru saja kelopak mata Alya hendak tertutup, deringan telepon menyadarkannya kembali. Kali ini Ella yang menghubunginya. “Kenapa La?” “Alya ini lo lagi sama si Radit kan?” “Enggak La, katanya dia lembur jadi gak bisa diganggu.” “Lembur jidatmu. Berarti bener yang tadi itu si Radit.” “Maksud lo?” Seketika Alya bangkit, duduk di atas pembaringan. Perasaannya seketika memburuk. “Gue liat dia sama si Lisa anjirr. Mereka masuk ke apartemen si Lisa ege. Gue pikir itu bukan si Radit tadi makanya telpon lo dulu buat mastiin. Ternya bener-bener si Radit.” “Radit sama Lisa?” Alya termangu. “Heeh. Lo cek aja sendiri ke apartemennya si Lisa. Atau mau gue temenin?” “Gak usah.” “Thanks La buat infonya.” Sesaat Alya terdiam. Apakah ini berarti Radit sama saja seperti lelaki lain? Apakah kegundahannya akan benar-benar berujung buruk? Rahang Alya mengatup, tangannya dengan cepat bergerak memesan taksi online kemudian meraih paperbag, memindahkan berbagai barang ke dalam paperbag tersebut. Kakinya berjalan cepat keluar dari apartemennya itu. Melangkah dengan pasti, menuju akhir dengan dua ujung yang menjadi kemungkinannya. Berakhir atau lanjut? Apakah hubungan mereka memang hanya sebatas rekan kerja? Ataukah ada hubungan romantis seperti kecurigaannya akhir-akhir ini? Alya melamun di depan lobi sampai tidak menyadari Tesla berwarna putih berhenti di depannya. “Atas nama Alya Reva Pratiwi?” Alya mendongak, mematung sesaat ketika iris matanya bertemu langsung dengan iris mata supir taksi online itu. Waktu seolah berjalan lambat, seluruh pergerakan yang terjadi padanya bagai mendapatkan efek slowmotion. Akan tetapi tak lama setelah itu Alya tersadar dan buru-buru masuk ke dalam mobil mewah tersebut.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
13.4K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
205.9K
bc

My Secret Little Wife

read
98.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.4K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook