2. Kenyataan di Malam Pertama

1001 Words
Calisa membasuh muka di wastafel kamar mandi. Hari ini lelah sekali, memakai gaun seberat itu ditambah lagi jilbab berlapis-lapis dengan mahkota di atasnya, rasanya hari ini puyeng. Wanita itu menatap pantulan wajahnya di cermin, semua make up sudah terhapus dan hilang hingga menyisahkan wajah aslinya. Wajah yang awalnya memancarkan aura kebahagiaan tergantikan wajah gelisah sejak kejadian memperkenalkan Kak Malya dengan Gavin. Ada apa dengan mereka berdua? Jangan-jangan- Astaga, kenapa Calisa berfikir negatif. Ingat, Sa, sudah terlanjur menjadi istri sah Gavin. Tidak mungkin hal lain terjadi. Lagi, Calisa menatap pantulan wajah di cermin. Kenapa tiba-tiba pipi Calisa merona dan memanas. Harum bau sedap malam menempel dihidungnya, aroma ini sama persis malam itu Calisa melakukan pertama kali dengan Gavin. Layaknya parfum mempunyai harum sangat ciri khas. Pikiran Calisa langsung menuju ke situ. Astaga ... Kenapa Calisa mengharapkan melakukan itu lagi dengan Gavin? Calisa segera menepis harapan itu dengan membasuh wajahnya kembali. Detik selanjutnya, tiba-tiba pintu kamar mandi diketuk dari luar. “Sa ...” panggilnya. Calisa terjingkat, kaget. Calisa semakin gelisah saat Gavin memanggil namanya terdengar suaranya dingin—berubah 100℅ setelah bertemu Kak Malya. Ada apa sebenarnya? Kenapa Calisa menjadi gusar. “Apa kamu masih lama?” Calisa terdiam. Pikirannya berkecamuk. Kenapa Gavin tidak lagi menyebutnya dengan panggilan sayang seperti biasa waktu pacaran? Atau seperti tadi setelah acara pernikahan? “Lisa ....” “Iya, Vin. Aku masih lama tinggal mandi,” seru Calisa cepat.. Calisa berdiri tak bergerak, menunggu jawaban Gavin. Namun nihil, tidak ada sahutan lagi, mungkin Gavin sudah pergi dan tidak ada dibalik pintu. Tidak butuh waktu lama, Calisa segera menyelesaikan kegiatan membersihkan diri. Calisa mengurungkan niat membuka pintu kamar mandi ketika mendengar pembicaraan Gavin dengan seseorang melalui sambungan telepon. “Aku sudah menemukan seseorang yang salam ini aku cari, Dan.” Nada suara Gavin terdengar sangat frustasi. “Aku memang waktu pacaran mencintai Lisa tapi bukan dia yang selama ini aku harapkan. Bukan dia yang ingin aku nikahi, Dan.” Tubuh Calisa mematung. Seakan saraf-saraf membeku turun ke ujung jempol kaki, Calisa terpaku. Apa maksudnya perkataan Gavin? Setahu Calisa Gavin mencintainya setulus hati. Lantas kalau bukan dirinya yang Gavin harapan lalu siapa? Sayup-sayup terdengar lagi suara Gavin. “Aku salah ... aku tidak mengharapkan pernikahan ini. Bagaimana ini, Dan. Apa aku harus mengakhiri pernikahan ini?” Sakit ... sakit sungguh. Calisa tak mengerti kenapa rasa sakit ini lebih sakit putus cinta. Lebih sakit lagi saat kalau kata mengakhiri harus keluar dari mulut lelaki yang selama ini Calisa percayakan sepenuhnya. “Kenapa Vin? Kenapa kamu ingin mengakhiri pernikahan kita yang belum dua puluh empat jam berlangsung. Apa yang sebenarnya terjadi?” batin Calisa berkecamuk. “Aku tidak tau harus bagaimana, Dan. Aku bodoh sampai melakukan kesalahan fatal seperti ini. Aku tidak ingin menyakiti Lisa, tapi aku tidak bisa membohongi diriku sendiri. Aku kembali mencintai Malya, wanita cinta pertamaku yang aku pendam selama lima tahun lebih. Aku telah salah memilih, Dan. Seharusnya Malya bukan Lisa. Mereka kakak beradik, bodohnya aku tidak bisa membedakan.” Jantung Calisa berdetak tak normal, gejolak emosi dan kesedihan berusaha tuk ditahan. Calisa menggigit bibir bawah menahan rasa sakit hati yang kini meliputi hatinya. Jadi, selama ini Gavin mencintai Kak Malya bukan dirinya? Cinta pertama Gavin adalah Malya? “Astaga Gavin! Kenapa kamu berubah? Aku kira kamu berbeda dengan lelaki di luar sana ternyata sama saja dengan laki-laki b******k!” batin Calisa. “Bagaimana ini, Dan. Apa aku harus mengakhiri?” Demi Tuhan, kenapa ini begitu sakit. Suami yang baru beberapa jam lalu mengucapkan ijab qobul untuk meninang Calisa. Ternyata dia mencintai orang lain, kakak kandung Calisa sendiri. “Astagfirullah.” Calisa tersadar akan keterpakuannya saat ketukan pintu terdengar. Sebelum Calisa membuka pintu, dia menatap cermin dan membasuh wajahnya untuk menyembunyikan tanda orang gelisah dan ingin menangis. Calisa menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskan, kedua pipi dia tepuk-tepuk. “Sa, sudah selesai?” Calisa memutar kenop pintu dengan segera. “Udah kok yang,” jawab Calisa udah berada di ambang pintu dan melangkah menunduk menerobos Gavin. “Sayang mau mandi, 'kan? Mandi gih, biar aku siapin baju.” Calisa mengatakan itu sambil tak menatap lawan bicara. “Sa ....” Seketika Calisa menghentikan langkah saat Gavin mamanggilnya lagi. “Iya, Vin?” balas Calisa tanpa menoleh. “Maaf,” lirih Gavin. Calisa masih dapat mendengar kata maaf itu. “Maaf untuk apa sih, Sayang” tanya Calisa pura-pura tidak tahu. “Ngaco deh kamu tiba-tiba ngomong maaf.” “Semuanya. Maafin aku ... Aku sungguh minta maaf.” Calisa menoleh sedikit ke arah Gavin dan tersenyum lebar lalu kembali fokus ke lemari menyiapkan baju untuk Gavin. “Kamu tidak salah, sana gih mandi yang.” Setelah pintu kamar mandi tertutup dan bunyi shower berisik. Tubuh Calisa merosot hingga bersandar lemas pada lemari besar. Calisa tau, maksud permintaan maaf dari Gavin. Tanpa dapat ditahan tangisan Calisa pecah, tapi sekuat hati tahan agar tidak ada suara tangisan hanya isakan tertahan dan air mata mengalir deras. Sesakit inikah perasaan seorang wanita ketika mengetahui suaminya mencintai orang lain dan ingin mengakhiri pernikahan yang belum sehari terjadi? Malam pertama seharusnya istimewa namum malahan seperti ini. Calisa tak menyangka kalau akan mengalami hal ini. Calisa harap pernikahi ini didasari oleh saling mencintai dan berjalan semestinya. Tapi kenapa menjadi serumit ini? Hidupnya awalnya cerah menjadi kelabu, rantai-rantai kian memperangkap Calisa dalam rasa sakit di malam pertama. Suaminya mencintai kakaknya kandungnya sendiri. Apa yang harus Calisa lakukan? **** Hari sudah menjadi semakin larut malam. Sedari tadi Calisa dan Gavin saling berdiam, Calisa hanya tak ingin berbicara dengan siapapun. Sedangkan Gavin bingung mulai mengatakan dari mana, dia menatap kepergian Calisa menuju ke ranjang tempat tidur dan menyelimuti dirinya sendiri tanpa mengajak tidur atau berpamitan tidur lebih dahulu. “Apa kamu mau tidur, Sa?” tanya Gavin tidak ada balasan. Calisa sudah menutupkan kedua mata, mengabaikan Gavin. Lelaki itu mendesah frustasi, merasa bersalah. Baru saja beberapa menit terletap. Mata Calisa membuka saat merasakan sentuhan lembut di pipi. Mimpikah ini? Batin Calisa. Memperhatikan yang kini dia liat, Calisa memandang wajah Gavin yang dua jengkal dari wajahnya. Suaminya itu tersenyum manis kepadanya. “Maaf ....” ucap Gavin begitu lembut di telinga Calisa. Berulang kali Gavin membelai rambut panjang Calisa “Dan maaf juga telah membangunkanmu tidur. Kamu pasti lelah.” Calisa tersenyum hangat lalu menggeleng. Gavin mengecup puncuk kepala Calisa. “Aku sudah menjadi milikmu, Sa.” “Iya, Gavin! Aku juga milikmu. Aku istrimu, hanya aku milikmu. Kamu milikku, aku untukku. Ku mohon jangan pergi. Aku membutuhkanmu, sangat.” _________________ HAI GIMANA? DAPET FEELNYA GAK? SEMOGA AJA BIKIN SEDIH, MEWEK, BAHAGIA, TERHARU DAN EMOSI YA HHE. Thanks you readers. See you!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD