Semua kisah cinta memiliki ending. Entah itu sad, happy atau bad. Karenanya, aku yakin bahwa kisah cintaku juga akan memiliki akhir. Walau belum tahu gimana akhirnya, aku berharap akhir yang unmainstream. Sedikit berbeda, nggak apa-apa.
Aku nggak mau memiliki akhir seperti Cinderella. Memang, endingnya, dia menikah dengan pangeran tampan dan kaya tetapi harus disiksa dulu oleh ibu dan saudara tirinya. Aku juga nggak mau menjadi Snow White yang harus diracuni dulu, lalu bertemu pangeran. Aku hanya ingin menjalani hidup yang diawali dan diakhiri dengan bahagia.
Sejak kecil sampai sekarang, cita-citaku masih sama, ingin menjadi ibu rumah tangga yang bahagia. Karena itu, aku selalu berdoa agar bisa menjadi seorang istri dari pria tampan dan kaya. Dengan demikian, aku nggak perlu kerja.
Bagi sebagian orang, menjadi ibu rumah tangga mungkin adalah cita-cita yang nggak berfaedah. Bagiku, itu adalah impian besar yang harus diwujudkan. Ada beberapa alasan mengapa aku ingin menjadi ibu rumah tangga meski masih ingin berkuliah dan menjadi sarjana.
Pertama, ibu rumah tangga itu nggak ribet. Dengan menjadi ibu rumah tangga, aku nggak perlu pusing memikirkan soal. Cukup menanti suami gajian dan tersenyum lebar saat melihatnya pulang dengan uang di tangan.
Kedua, ibu rumah tangga itu mempunyai banyak waktu luang. Apalagi jika belum ada anak yang harus diurus. Aku bisa menyelesaikan pekerjaan rumah tangga kemudian bersantai, melakukan apapun yang aku suka.
Ketiga, alasan yang paling kuat adalah menjadi ibu rumah tangga membuatku terhindar dari status perawan tua. Sebagai wanita yang sudah menikah, aku akan terbebas dari kesuudzon.an para tetangga. Selain itu, menjadi ibu rumah tangga sesuai denganku yang menganut paham 'nggak suka bekerja'. Mungkin, banyak yang berpikir ini adalah cita-cita yang egois. Namun, hidup adalah pilihan kan? Jika aku maunya gitu, orang lain bisa apa?
Untuk mewujudkan cita-cita itu, yang paling awal harus aku lakukan adalah menikah. Namun, aku masih 16 tahun dan itu mustahil bagiku untuk melakukannya. Terlebih ayahku itu bisa dibilang titisan penganut paham aliran pemerintah di mana wanita minimal menikah di usia 21 tahun dan laki-laki di usia minimal 25 tahun.
Sebagai permulaan, proses pembelajaran, aku memutuskan untuk berpacaran dengan seorang cogan kelas unggulan alias IPA-1. Sudah hampir setahun aku berpacaran dengannya dan masih belum begitu mengerti, caraku bertahan dengannya sampai detik ini.
Padahal, jika itu aku—kata Sari, pasti sudah kena serangan jantung atau minimal hepatitis. Walau begitu, aku nggak peduli. Aku adalah aku dan Sari adalah Sari. Aku nggak akan pernah menjadi dia, demikian sebaliknya. Karena kami bukan putri yang tertukar. Oke lupakan, itu sinetron.
"Oi, Pacar!"
Panggilan itu membuatku menoleh dan seorang cowok yang sudah aku pacari selama setahun dan dijuluki iblis kecil itu berjalan mendekat dengan senyum pangerannya.
"Apa?" sahutku saat dia sudah berdiri di depanku.
"Happy birthday," katanya sembari menyodorkan sebuah cincin emas berbentuk love padaku.
"Heh?"
Dia tersenyum cerah lalu duduk di sampingku, meraih tangan kiriku dan menyematkan cincin itu di jari manis.
"Happy anniversary yang kedua belas bulan alias udah setahun kita pacaran," imbuhnya.
Aku terdiam. Terkesiap.
"Itu kado?" tanyaku.
Dia mengangguk mengiyakan.
“Tunai?” tanyaku lagi.
"Iya, masak kreditan," jawabnya.
"Itu cincin emas lho," kataku masih nggak percaya kalau iblis kecil yang biasanya pelit memberiku cincin emas yang harganya mahal.
Iblis kecil itu tersenyum lebar.
"Aku habiskan banyak uang untuk itu, kau bisa bayar nyicil dengan traktir aku makan di kantin selama setahun," katanya lalu terkekeh.
Aku mengerucutkan bibirku, kesal.
"Katanya bukan kreditan? Kok disuruh nyicil?" tanyaku setengah menyindirnya.
Si iblis kecil hanya terkekeh pelan.
"Bercanda, ini hadiah, kok. Gratis," jawabnya membuatku menghela napas lega.
"Makasih, Pacar," kataku lalu memeluk mesra iblis kecil yang jarang baik itu.
"Sama-sama."
"Tapi, aku ultahnya masih besok lho," kataku memberikan informasi.
Si iblis kecil hanya diam, pura-pura budeg.
"Besok bilang met ultah jam 12 malam juga ya," pintaku.
Iblis kecil itu menggeleng cepat.
"Nggak mau," tolaknya.
"Kenapa?" tanyaku penasaran.
"Males, aku pasti ketiduran," jawabnya membuatku hanya bisa mengelus d**a.
"Yaudah nggak apa-apa. Tapi kok hadiahnya nggak dibungkus, biar tambah so sweet ya?" tanyaku lagi mencoba mencari alasan bagus agar tidak merusak kebahagianku.
"Nggak, aku udah beli cincin itu sebulan yang lalu. Cuma lupa ngasih. Terus sengaja nggak kubungkus soalnya ribet plus buang-buang uang. Apalagi aku masih harus beli kertas kado, lem, dan lain-lain," jawabnya terlalu jujur, polos atau oon, aku nggak paham.
"Terserahlah, makasih aja pokoknya," sahutku BT.
Si iblis kecil tertawa membuatku tambah kesal, sepertinya dia senang melihatku kesal.
"Dari tadi kulihat kau bengong, mikirin apa?" tanya iblis kecil penasaran.
"Nggak mikir apa-apa," sahutku sekenanya.
"Oh," sahut iblis kecil singkat.
"Huum,"
"Oh ya udah dengar belum, si Nia, teman sekelasmu berhenti sekolah karena nikah?" tanya si iblis kecil.
Aku terdiam, kaget. Bukan karena berita itu tetapi karena siswa unggulan sepertinya juga update soal golah ( gosip sekolah ).
"Kok tahu?" tanyaku heran.
Si iblis kecil hanya nyengir.
"Soalnya punya telinga," jawabnya sekenanya.
"Dih, nyebelin," dengusku kesal.
"Haha, emang," katanya lantas tertawa.
Aku pun hanya diam, memandang cincin emas yang melingkar di jari manisku. Entah kenapa happy.
"Jangan diliatin mulu, entar meleleh kena laser matamu," ledeknya.
"Biarin. Aku nggak punya uang buat beliin lagi," imbuhnya.
Aku pun berhenti melihat jariku dan fokus padanya.
"Nah, kalau gitu kan cantik," pujinya sambil senyum membuatku lagi-lagi luluh dengan senyuman mautnya itu.
Si iblis kecil menatapku dengan penuh cinta dan bibirnya tergerak mengucapkan kata yang sama sekali tidak aku duga.
"Kalau udah lulus, mau langsung nikah?" tanyanya membuatku langsung merasa ditipuk meteor. Tapi tenang, aku masih bernapas.
"Serius?" tanyaku dengan senyum yang terkembang sempurna.
Si iblis kecil mengangguk kecil.
"Eh," serunya sedetik kemudian.
"Nggak jadi deh, nunggu aku kerja dulu ya," katanya dengan senyum tanpa dosa.
"Tenang, cuma bentar kok, paling 7-8 tahun lagi." imbuhnya.
“Hah?”
"Yaudah, aku ke kelas dulu. Kau juga masuk sana, jam istirahat ntar lagi kelar!" suruhnya lalu berjalan pergi meninggalkan aku yang sejak tadi hanya duduk diam di depan kelas.
Sebenarnya aku duduk mau numpang wifi sekolah, tetapi kepala sekolahku sudah mulai menganut aliran ke-pelit-an. Password-nya diganti, hanya guru dan petugas TU yang tahu. Alhasil, aku yang miris kuota ini jadi nggak bisa numpang wifi gratis.
Namaku Nana Sugimoto, 16 tahun. Seorang kaum IPS yang masuk dalam jajaran kaum duafa garis depan. Meskipun banyak yang bilang sudah naik tahta menjadi nyonya Belanda karena berpacaran dengan si iblis kecil.
Iblis kecil itu bernama Salman Damai, biasanya dipanggil Damai. Meski namanya Damai, dia nggak bikin damai sama sekali. Kau akan tahu seiring waktu mengapa aku menyebutnya begitu.
Bersama cincin emas yang melingkar di jari manisku di bulan Januari, maka dimulailah babak baru dalam hubungan percintaan antara Nana dan Damai.