bc

Lengkara Lindap

book_age18+
104
FOLLOW
1K
READ
like
intro-logo
Blurb

Quarter Life Crisis, hal yang umum di alami oleh orang-orang yang berusia 25 tahun. Mereka mengalami kebingunan akan apa yang sedang terjadi, mereasakan keresahan akan apa yang akan terjadi, juga merasa depresi akan apa yang telah terjadi. Hal yang di maklumi oleh banyak orang, tenang saja kau bahkan tidak sendri.

    Tiara adalah seorang dewasa yang baru saja memasuki usia 25 tahun dengan keadaan yang masih ambigu. Bahkan disaat jenjang pendidikannya sudah  S2 dan kariernya telah melejit tidak membuatnya terhindar dari Quarter Life Crisis. Di sebuah persimpangan masa ia bertemu dengan Rahardyanata, seorang Chef de partie di salah satu restaurant hotel internasional di bali. Pertemuan yang saling mengajari tentang makna kehidupan.

    Kehidupan yang terlalu rumit bukan?

chap-preview
Free preview
Hari ini masih ada
Ada hal yang berubah ketika seseorang memasuki usia 20 tahun. Ketika segala hal menjadi ambigu dan segala keputusan menjadi semu. Di hadapan mata hanya terbentang kabut belantara, Sesak dan gelisah adalah suasana hati yang terus mengiringi. Orang-orang bilang ini normal, karena usia itu adalah ketika sesosok hamba mengenal fase pencarian jati diri. Semua orang belajar, Semua orang menjadi gagal, Semua orang menjadi frustasi, semua orang menjadi menyerah. Hanya orang-orang yang hebat, orang-orang berani yang bangkit. Diantara mereka bergerak diantara perubahan, sebagian yang lainnya memilih menetap pada keadaan. Tidak, tidka ada yang salah dari terperangkap zona nyaman. Tidak ada yang salah juga menjadi berpetualang. Segala hal adalah pilihan, seperti hari ini ketika aku memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku. Aku baru saja berulang tahun yang ke dua puluh tiga tahun. Iya dua puluh tiga tahun yang tetap kusyukuri hanya saja sedikit kuratapi akhir-akhir ini. Ketika segala hal terlihat samar di pelupuk mataku, keputusan keluar dari pekerjaan karena hal yang tidak terlalu jelas adalah kebodohan. Ya, aku sadar betul aku bodoh. Lulus dari S2 tidak membuatku menjadi bijak, sama sekali. Aku tetap-lah seseorang yang terombang-ambing pada kenyataan dan kembiguan. Terjun kedunia realita terlalu menyakitkan untukku Dan ketika aku mulai mengeluh, semua orang memaklumi. Mereka mengatakan bahwa melewati fase Quarter Life Crisis itu lumrah dan semua orang merasakannya juga. Kerisauan yang aneh atau tentang mood swing yang tidak terkendali. Aku makin bertanya, tentang sebuah keberadaan. Setelah kita mati, kemana kita akan pergi. Apabila kita perlu mempertanggung jawabkan apapun yang telah terjadi, lantas mengapa tuhan menciptakan garis takdir. Aku terdiam di meja kerjaku, mengepaki semua perlengkapanku sebelum aku melangkahkan kaki dari ruangan yang pernah terasa hangat bagiku dahulu. Ya, setahun lalu ketika aku masih memiliki harapan untuk mengepakkan karyaku di tempat ini. Kini semuanya telah sirna, kegusaran mengusirku menjauh dari etimologi nostalgia. Ah, persetan dengan nostalgia. Kenyataannya temapt yang pernah terasa hangat ini adalah tempat yang menyiksa mentalku dari hari ke hari. Tempat aku pernah merasa di terima, nyatanya aku hanya berakhir di manfaatkan. Sepertinya aku memang tidak memiliki bakat untuk bekerja. “Tiara…” Panggil Mona, sahabatku yang memperkenalkan aku dengan perusahaan ini. Aku yang sedari tadi melamun, terkecoh dengan panggilan sahabatku itu. Dihadapannya aku tersenyum, Senyuman pertanda aku baik-baik saja yang mana sebenarnya aku sedang berada di perasaan terlalu buruk dan menyedihkan. “Hehe…” AKu tersenyum sembari terkekeh. “Gue percaya kok, ada banyak tempat yang mau nerima lo. Lo pinter dan baik.” Ujar Mona menyemangatiku, mungkin lebih tepatnya terlihat formal untuk menyemangatiku. Entahlah, aku hanya menerka. Bukan berarti aku memiliki prasangka buruk itu. Hanya saja, Dia yang tidak bisa apa-apa nyatanya memegang posisi penting di perusahaan. Sedangkan aku ditendang bagai gelandangan. Hidup itu lucu terkadang, ketika kau berjuang mati-matian akan sebuah keadaan yang lebih baik. Nyatanya takdir membawamu kesebuah petualangan yang mengerikan. Nyatanya Takdir menginginkanmu untuk merasa tertindas. But, That is life. Aku mungkin terlalu pengecut untuk maju, tapi aku terlalu kuat untuk di tumbangkan. Istilah kerennya, hidup segan mati tak mau. Dunia dewasa yang begitu mengerikan, ketika kawan bisa menjadi lawan. Ketika lawan mungkin adalah kawan yang tulusnya keterlaluan. Kamu tidak akan pernah tmemprediksi di suatu hari yang mendung engkau akan di tolong siapa, atau di hari yang terlalu cerah engkau akan di jatuhkan oleh siapa. Semua orang menggunakan topeng, sedang aku berjalan tanpa topeng. Aku keluar dari kantorku tanpa sedikitpun memutar badan, bagiku semua sudah selesai. Semua jerih payah dan harapan yang pernah ada telah kutinggal disana. Biarkan namaku menjadi cerita, baik ataupun buruknya. Itu sama sekali tidak menganggu kesejahteraanku. Ya, Kesejahteraan menjadi seorang manusia yang bebas. Aku manaikkan kotak itu ke atas motorku, mengikatnya di belakang jokku. Beberapa barang ku taruh di depanku. Ya, bisa saja dokumen-dokumen sampah itu ku buang ataupun ku bakar bersamaan dengan perusahaan sampah itu. Hanya saja aku tidak tahu mengapa, apa yang telah kubuat merkipun itu tidak bermakna penting merupakan mahakarya dari pola pikirku. Mungkin perusahaan itu yang tidak tahu seni dari caraku berpikir, mungkin saja perusahaan itu memang tidak pantas mendapatkan aku, mungkin memang perusahaan itu akan menyesal kehilangan aku suatu hari nanti. Sepanjang perjalanan aku menyumpah serapahi perusahaan itu, lebih tepanya aku lebih banyak menyumpah serapahi diriku sendiri. Mengapa aku tidak membela diriku sendiri ketika dunia memojokkanku. Mengapa aku tidak menunjukkan amarah ketika aku sedang dilukai. Yang bisa aku lakukan hanya menangis, menangis dan dengan pengecutnya aku memilih mengeluarkan diriku secara sukarela atas kesalahan yang aku sendiri tidak tahu dimana letak kesalahanku. Bekerja membuatku terlihat konyol, Aku harus berkerumun dengan sekumpulan orang-orang dungu. Mereka yang masih memikirkan perut daripada pengembangan diri. Mereka yang monoton untuk dunia yang terlalu luar biasa ini. Sedangkan aku, aku memilih sama menjadi sekumpulan orang-orang dungu itu. Sebelum aku pulang kekosan, aku menyempatkan diri berkunjung ke kedai seorang sahabatku. Kedai kecil yang cukup laris dan menjadi favorit kawula muda. Letaknya ada di ujung persimpangan jalan menuju kantorku. Seperti biasanya, ketika aku masuk lonceng kedai itu berbunyi. Ketika membuka pintu tercium aroma kopi yang bercampur dengan s**u yang manis dan pekat. Aroma yang menenangkan di padu oleh aroma dedaunan yang baru saja di siram, dan kehangatan dari pondasi dan furniture kayu yang hangat. Aku masuk ke dalam kedai itu dengan kepayahan membawa beberapa box dokumen sampah. Rosa yang masih membuat kopi segera melambaikan tangannya kepadaku. Aku tersenyum melihatnya, Tangannya segera menunjuk tempat duduk kosong di pojok ruangan. Tempat duduk yang menjadi pojok favoritku di ruangan yang kecil namun banyak ornament-ornament lucu yang menghiasi. Setelah aku duduk seorang pelayan yang sepertinya sudah terlalu paham dengan apa yang aku pesan segera menuliskan pesananku bahkan sebelum aku melihat buku menu. “Mattcha Latte, sama Friech Friesh dan Macroni Scuthel level 2 tanpa paprika.” Ujar Peramal itu, aku tersenyum sembari mengangguk. Tak Lama Rosa yang belum membuka celemeknya menemuiku dan duduk dihadapanku. “Udah selesai kerjanya?” tanyanya. Aku tersenyum, kemudian mengangguk. “selesai dan gak akan kembali lagi.” Jawabku. “Tempat itu emang bagus buat Mona, tapi kayaknya gak bagus buat lo.” Rosa berkomentar. AKu mengangguk sepaham. “mungkin gue emang gak sebaik Mona.” Jawabku dengan nada yang gundah. “Dih mana ada Mona lebih baik dari lo. Dari jaman Kita sekolah juga selalu elu yang rangking satu. Bahkan kuliah elo jadi wisudawan terbaik kan.” Ujar Rosa tidak membiarkanku patah semangat, tapi yang bisa kulakukan saat ini hanya tersenyum. Ya tersenyum Karen Hatiku bahkan masih belum bisa menerima bahwa sejak hari ini aku telah menyandang predikat pengangguran. “Trus habis ini lo mau kemana? Balik ke Surabaya?” tanya Rosa. Aku menggeleng, Kemudian menarik napasku dengan lesu dan berat. “gue gak tau habis ini gue mau kemana. Gue aja belum Applay pekerjaan baru, padahal gue One MOunth Notice.” “emang sampah lo.” Ujar Rosa pada akhirnya. Sesuatu yang kasar dan menambparku tapi entah mengapa itu membuatku tersenyum diantara hatiku yang tengah gundah. “Btw, GImana hubungan lo sama Dion?” Tanya Rosa. Pertanyaan yang seolah mencekikku. Dion, sebuah nama yang meninggalkan luka pada kalbuku. Seorang b******n yang sepantasnya sirna dari muka bumi ini. Aku menarik napas panjang-panjang, membayangkan namanya saja aku enggan. Apalagi harus membahasnya di hariku yang benar-benar buruk ini. Bertemu dengan Rosa sedikit banyak membuatku terhibur, Ya dia adalah seorang pendengar yang baik. Walaupun perbincangan dengannya mungkin tidak memberikan solusi apapun. Tapi setidaknya seperempat keluhanku telah tercurah walaupun masih di tutupi oleh bercandaanku yang terdengar menyedihkan. Kau tahu, terkadang untuk menunjukkan kesedihan itu seseorang tidak melulu menangis. Justru Orang paling menyedihkan adalah seseorang yang tertawa paling kencang, Justru orang yang hidupnya paling miris adalah mereka yang bisa membuat kepahitannya mencadi canda gurau. Dan aku tercipta dengan bentuk yang seperti itu. Menyedihkan memang, tapi itu adalah sumber dari tawaku. Setidaknya aku tidak perlu di kasihani oleh seseorang, setidaknya orang lain tahu bahwa aku dalam keadaan baik-baik saja. Meskipun secara mental aku sedang tidak berada di dalam keadaan baik-baik saja. Aku hendak menstater motor-ku, ketika ponselku bordering. Segera aku mengangkatnya, Nampak seseorang yang tidak asing namanya muncul di layar ponselku. “hallo.” Sapaku kepada seseorang yang nun jauh disana. “Lo dimana?” tanyanya to the point. “di kedainya Rosa. Ada apa?” tanyaku. “Gue udah di depan kosan lo, cepet balik.” Suruh lelaki itu. AKu menarik napasku dalam-dalam, baru saja aku melepaskan seperempat keluhanku kepada Rosa. Kini aku harus memikul 1 ton keluhan saat harus bertemu dengannya. Dion, Nama yang makin hari makin menyebalkan. Dion adalah lelaki baik seharusnya, Ia adalah Kakak tingkatku ketiaka aku masih menempuh pendidikan S1. Apabila dihitung-hitung usia hubungan kami sudah menginjak 4 tahun, dan sudah mulai hambar dan membosankan. AKu teringat saat pertama kali kami berjumpa, waktu itu ia adalah Ketua BEM di kampus sedangkan aku hanya seorang anak dari desa yang baru saja tamat dari bangku SMA. Kami di pertemukan dalam acara Ospek. TIdak ada yang special dari pertemuan itu awalnya. Semua teman-teman perempuan-ku banyak yang menggandrunginya. Bagaimana tidak, Dion memang memiliki paras yang lumayan tampan. Dia memang adalah seorang keturunan Chinesse Bali Jawa, Mamanya orang bali dan ayahnya adalah orang jawa keturunan Cina. Tak heran bila ia memiliki paras yang tampan dan manis di saat yang bersamaan. Selain itu dia juga sangat popular, caranya berorasi juga sangat berwibawa. Siapa perempuan yang tidak menjatuhkan hati kepadanya, mungkin hanya aku. Saat itu, aku yang memiliki nama Ospek “Ayam” tengah duduk mendengarkan penjelasan konyol kakak tingkat di bawah sinar matahari yang terik. Banyak teman-temanku yang pingsan, beberapa pingsan beneran sisanya pura-pura pingsan untuk menghindari penyiksaan sinar matahari yang terlalu menyengat ini. AKu masih bertahan di tempatku terduduk. Dari kejauhan seseorang menatapku, sesuatu yang begitu mengangguku sebenarnya. AKu menatapnya kembali ternyata itu adalah Dion. Matanya yang sipit tapi memiliki karakter kuat, kelopak matanya cantik dengan bulu mata yang lentik. Ia menatapku dengan senyuman yang membuatnya Nampak lebih tampan, ada lesung pipi di ujung pipinya. Tahi lalat di atas tulang pipinya membuat paras itu makin sempurna. Aku membalas senyuman itu dengan anggukan. Anggukkan yang terasa rikuh sebenarnya. “Lo tau dia ngeliatin gue.” Mona yang memang adalah seorang bintang sejak jaman sekolah menggeliat seperti cacing kepanasan. Rosa dan aku hanya tersenyum, ya mungkin aku yang terlalu kepedean mendapati Dion menatapku. Karena hal itu tidaklah pernah terjadi, pikirku waktu itu. Ya, siapalah aku. Seorang siswa dari kampung yang tentu saja penampilannya kalah jauh dari remaja-remaja kota yang sudah bersolek. Hari-Hari ospek yang begitu berat berjalan dengan mulus, Aku semakin menyadari bahwa Dion memang sedikit banyak memperhatikanku. Pada saat perkenalan Ekskul, para wanita itu semakin dimanjakan dengan penampilan Dion yang ternyata adalah seorang atlet karate bersabuk hitam. Ya, pantas saja tidak mengherankan bila badannya begitu atletis. Ada kejadian yang menarik saat pengenalan Ekskul, Aku dan Dion yang hanya berani saling tatap. Saling bertegur sapa untuk yang pertama kalinya. Ini adalah kejadian yang sungguh absurd sebenarnya. Siang itu aku terlalu lelah untuk mengikuti rangkaian Ospek, aku memilih bersembunyi di kantin kampus. Dan aku hanya sendirian, sedang Rosa dan Mona menikmati penampilan kakak-kakak tingkat menunjukkan ekskulnya. Indomie dan es teh terasa sangat nikmat siang itu. Aku sengaja menggunakan jaket, untuk menyamar menjadi mahasiswa tua. TIba-tiba Dion yang baru saja tampil masuk ke warung itu. Aku sebenarnya santai saja, tidak mungkin ia mengenaliku. Tapi aku salah, Dion memilih duduk disebelahku. “Lu kan Maba.” Ujarnya, membuat mie yang sedang kukunyah terasa begitu keras untuk di telan. Wajahku mencoba santai. “laper kak. Tadi pagi belum sarapan.” Jawabku seadanya masih dengan memakan mie instan tanpa melihat Dion lebih lama. Ya, aku sebenarnya tidak seberani itu dengan kakak tingkat. Apalagi disaat ospek, Kakak tingkat masih bagaikan singa yang siap menerkam. Hanya saja aku mencoba realistis, mereka dan aku memiliki posisi yang sama. Dion tersenyum, senyuman yang sangat manis sebenarnya. “Gue perhatiin lo Maba yang enggak taat aturan ya.” Ujarnya lagi. “makanya gue jadi bahan cing-cingan kakak tingkat.” Jawabku sekenanya. “tapi gue gak peduli juga sih. Emang kalo gue gak ikut ospek gue gak boleh kuliah gitu?” tanyaku dengan santai. Dion tersenyum, Ada kebingungan dia untuk menjawabku “ya enggak juga sih. Tapikan….” “Gue bukan orang-orang yang terjerumus sama yuforia.” Tukasku. “kalo lo mau hukum gue, hukum aja deh. Setelah mie dan es teh gue habis.” Tantangku kepadanya. Dion menggeleng dengan senyuman, entah senyuman yang berarti apa. “Nama Lo siapa?” tanyanya. Aku meliriknya dengan lirikan yang begitu judas dan dingin. “penting banget tau nama gue?” tanyaku judas. Dion menatapku dengan tatapan bingung, mungkin baginya aku Nampak terlalu arogan. “Tiara, biasa dipanggil Tara atau Ira.” Kenalku kemudian. Dion mengangguk. Kupikir hari itu adalah hari pertama dan terakhir aku dan Dion bertegur sapa. Hanya saja dugaanku salah. Suatu hari, di BB Masangerku ada seseorang yang menginvite. Seorang yang assign sebenarnya. Aku menerima percakapan itu, dan ternyata ia adalah Dion. Dion adalah seorang yang begitu humble. Dia banyak membuka percakapan diantara kami, saat itu juga hubungan kami makin dekat. Ada sebuah tugas ospek yang mewajibkan Mahasiswa membeli buku sesuai judul. Judul yang sebenarnya itu adalah teka-teki, saat itu aku tidka memiliki kendaraan untuk ke toko buku. Dion menawarkan diri untuk mengantarku ke toko buku dan aku menganggukkannya. Itu adalah kencan pertama kami. Seusai membeli buku Dion mengajakku untuk nonton film, dan untuk pertama kalinya seorang laki-laki menggenggam tanganku. Jangan tanya bagaimana perasaanku saat itu. Tentu saja aku nervous, sejak SMA aku bukanlah seseorang yang passionate terhadap percintaan. Bukannya apa, percintaan masa mudaku terlalu mengerikan untuk diceritakan. Sehingga Aku lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar dan keluar bersama Rosa dan Mona. Tapi waktu itu aku baru pertama kali merasakan sebuah hubungan yang manis. Hubungan yang terlalu manis sampai kini makin terasa hambar. Dion bukanlah seorang yang sesempurna pandangan orang lain, dia hanyalah seorang anak manja yang kebetulan saja lahir dari keluarga yang berada. Dia mungkin terlihat kaya dengan mobil dan barang-barang branded yang seluruhnya adalah milik keluarganya. Dion berbeda 3 tahun diatasku, tapi dia lulus berbarengan denganku. Bukan, dia bukan setia. Dia adalah anak yang bodoh, pemalas dan suka menggampangkan banyak hal. Sesuatu yang sangat bertolak belakang denganku. AKu yang terbaisa kerja keras karena harus membiayai kuliahku sendiri bahkan hingga aku berada di hari ini sedang Dion tetaplah anak yang masih mengemis kepada orang tuanya. Bahkan saat ia sudah menginjak usia 28 tahun. Motorku masuk ke gang tempat kos aku bermukim, sebuah lingkungan yang sederhana tapi sudah menemani langkahku dalam menggapai karier di ibu kota. Dion dengan mobil Harrier hitamnya sudah terparkir di dalam kosku. Nampak wajahnya yang tidak bersahabat ketika aku baru memasuki gerbang kos-an. “lama banget sih Ra.” Bentaknya menyambutku. “masih macet.” Jawabku santai. “tumben lo pake motor, mobil lo kemana?” tanyanya lagi. “di pinjem Ajeng jemput mamanya.” Jawabku enteng. “duhh, Tara Lo kebiasaan deh. Udah tahu itu mobil lo beli kredit lo pinjemin ke orang lain. Kalo rusak gimana?” tanyanya mengomeliku. Omelan yang entah mengapa sudah menjadi kebal di telingaku. “Gue gak habis piker ya sama lo. Lo jadi orang terlalu baik banget.” “udah makan?” tanyaku kepadanya, ya aku terlalu lelah untuk menanggapi ocehannya. Hariku terlalu berat untuk menanggapinya. “yaa, belum. Kan gue nungguin elo.” Jawabnya. “yaudah ayo makan.” Jawabku kepadanya. Kami segera masuk kedalam mobil, Mobil Harier itu melangkah keluar gang. Aku bingung memilih menu apa, Dion menginginkan makan di sebuah tempat makan cepat saji. Di dalam mobil aku hanya menyandarkan kepalaku sembari menatap keluar jendela. “Lo kenapa?” tanya Dion. “Gimana kerjaan?” tanyaku kepadanya. “Gue resign hari ini.” Jawabku santai. Mobil yang melaju enak tiba-tiba di rem mendadak. Membuatku hamper terjungkal sebenarnya. “apa Ra?” tanya Dion kaget. Rem yang mendadak hamper membuat kecelakaan lalu lintas terjadi, berulang kali mobil belakang membunyikan klakson. “lo jalan dulu deh.” Ujarku panik. “enggak… enggak lo harus jelasin dulu sama gue.” Paksa Dion. Aku menatap Dion dengan tatapan putus asa, sedang orang-orang di belakang kami terus menyalakan klakson dan berteriak-teriak. “lo jalan dulu.” Suruhku. “orang-orang di belakang klakson elo.” Teriakku kepadanya. Tak seberapa lama, seorang berpakaian seragam kepolisian datang menghampiri kami. “polisi anjir.” Ujarku lebih panic. Benar saja polisi itu menyapa kami. “selamat malam. “ Ujarnya, Dion membuka jendelanya. “apakah anda tahu ada rambu tidak boleh berhenti disini?” tanya polisi itu. AKu menarik napas panajang, Mobil Dion kena tilang. Ya tentu saja aku yang membayar tilangan itu, aku yang sudah miskin menjadi pengangguran harus kehilangan 200 ribu karena kebodohan Dion. “ini salah lo.” Ujarnya. “kok gue, elo yang berhenti mendadak.” Ujarku membela diri. “ya karena lo gue berhenti mendadak.” Ujarnya memulai peperangan. Ya peperangan seperti anak kecil, sesuatu yang membuatku lelah terhadap hubungan yang konyol ini. “kenapa lo resign. Lo kan tau, kita mau nikah. Kita perlu nabung uang yang banyak, cicilan lo juga banyak rumah mobil.” Omel Dion. “trus sekarang siapa yang mau bayar itu semua?” tanya Dion memojokkanku. “pokoknya gue gak mau tahu lo harus cari kerja secepatnya.” Suruhnya. “iya.” Ujarku kepadanya. Aku dan Dion segera bergegas makan di salah satu makanan cepat saji, ya kami tidak makan makanan itu. Terutama Dion yang tidak makan karena moodnya sudah terganggu, dia lebih banyak berbicara mengenai masa depan kita dan asset-asset yang sedang kami perjuangkan. Hal yang jujur saja membuatku sakit perut. Dion mengantarkanku untuk pulang, aku masuk kekamarku dan membuka laci yang berisi buku tabungan. Tabunganku yang lumayan untuk beratahan 6 bulan tanap pekerjaan. Hanya saja beberpaa cicilan seperti rumah dan mobil tidak bisa kubayarkan. Bahkan untuk menyicil pernikahan aku tidak memiliki dana apapun. Ponselku kembali bordering, entah ada angina apa tidak seperti biasanya ibuku menelpon selarut ini. “Halo.” Sapaku kepada ibuku. “Tiara, ada apa nak?” tanyanya. AKu menggeleng, aku tidak ingin ibuku terbebeani dengan masalahku. “ndak ada apa-apa bu. Ibu kok belum tidur?” tanyaku. “Ibu mimpiin kamu tadi. Kamu ada apa to nduk?” tanya ibuku. Aku menarik napasku panjang-panjang. Ya feeling ibuku memang selalu tepat. Aku memang sedang dalam kondisi tidka baik-baik saja. Sebagaimana aku berbohong ibu adalah satu-satunya orang yang akan mengetahui kebohonganku dengan mudah. “aku baru saja resign bu.” Beritahuku yang pasti itu akan membuat ibuku Shock. Kupikir ibuku akan kaget dan menjadi susuah. Hanya saja aku salah, ibuku malah tertawa. “kenapa nduk kamu resign?” tanya beliau. “lingkungan disana tidak mendukungku saja. Menurut ibu aku harus gimana?” tanyaku meminta pendapat. “nduk, sejak awal-pun ibu tidak begitu suka kamu kerja disana. Kamu udah ibu sekolahkan sampai S2 mbok yo cari kerja yang bagusan. Wes gak popo, habis ini mau lanjut S3 ta?” tanya ibuku, yang entah mengapa mengadu dengannya malah membuat bebanku semuanya terlepaskan. Aku yang seharian murung malah tertawa dengan tawaran ibuku. “wes ta nduk, opo maneh sing mbok golekki nak hidup iki. Wes jadi kayak ibu wae, ndosen mulang arek cilik-cilik wae yo.” Pesan ibu kepadaku, yang segera aku anggukkan.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Love Me or Not | INDONESIA

read
535.7K
bc

JODOH SPESIAL CEO JUDES

read
289.2K
bc

Hate You But Miss You

read
1.5M
bc

Skylove (Indonesia)

read
109.5K
bc

Istri Kecil Guru Killer

read
156.8K
bc

Air Mata Maharani

read
1.4M
bc

Escape from Marriage - Kabur dari Derita Pernikahan Kontrak

read
257.2K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook