bc

OBSESSION (Indonesia)

book_age16+
1.8K
FOLLOW
22.9K
READ
love-triangle
one-night stand
love after marriage
friends to lovers
playboy
badboy
doctor
drama
sweet
bxg
like
intro-logo
Blurb

PERHATIAN! Cerita ini mengandung konten dewasa (Jangan baca kalau belum cukup umur)

**

Yang mencintai tak selalu memiliki. Dan yang memiliki, tak selamanya bisa mencintai. Seperti itulah takdir.

Manusia hanyalah korban dari keegoisan dan keangkuhannya. Dia, yang memaksa setiap hati untuk menerima jalannya. Dan dia, yang begitu pandai menaburkan rasa sakit di setiap jengkal tanah, pada setiap hati yang mencinta.

Cinta adalah keindahan. Seperti itu dongengnya. Namun kenyataannya, cinta tak lebih dari racun yang membunuh secara perlahan. Siapa yang jatuh cinta, maka dia harus siap untuk merasakan sakitnya.

chap-preview
Free preview
Nomor 126
"Loh, Dis, kok kamu sudah kembali lagi? Bukannya jadwal terapimu minggu depan, ya?" Dokter Vhir terlihat heran saat bertemu denganku di dekat antrean. Sepertinya dia baru datang. Hari ini, setahuku jadwal kerjanya memang dimulai jam sembilan, dan sekarang masih kurang sepuluh menit. Tipe orang yang tidak membiarkan orang lain menunggu. Begitulah dia. Namanya Abiyan Vhirendra, tapi aku lebih suka memanggil dokter muda itu dengan sebutan Dokter Vhir, dan untungnya dia tidak keberatan. Hanya tertawa sesaat ketika aku menyebutkan nama itu pertama kali. Dulu. "Iya, Dok. Sepertinya saya alergi dengan salah satu obat yang kemarin Dokter berikan." "Ya?" Tentu saja dia terlihat semakin bingung. Sebelum memberikan resep, dia selalu menanyakan terlebih dahulu, apa aku ada riwayat alergi atau tidak. Karena selama ini belum pernah mengalami alergi terhadap obat tertentu, jadi aku menjawab tidak. "Entah, Dok, tapi ketika saya meminum obat ini," Aku mengeluarkan obat-obatan dari tas kecil yang kubawa, "sekitar wajah terasa gatal, dan agak membengkak." Dokter muda itu mengalihkan pandangannya, bergantian dari obat di tangan, lalu ke wajahku. Pipinya berkedut menahan tawa sesaat setelah benar-benar melihat wajahku. "Pantas kamu terlihat berbeda. Agak cuby, dan ... lucu." Tawanya nyaris meledak, dan aku memasang wajah cemberut. Kita memang sudah cukup lama saling mengenal, sejak aku pindah perawatan ke rumah sakit ini, dan ditangani olehnya. "Dokter menertawakan saya?" "Bukan begitu, tapi wajahmu memang ...." Tangannya mendekat, seperti hendak menyentuh pipiku, tapi urung. Hanya mengepal di udara, terlihat sangat gemas dan ... menyebalkan. "Sudahlah, kita ke atas saja. Ke ruanganku, biar kubuatkan resep baru untukmu." "Nomor antrean saya 126, sebelum menuju ruangan Dokter. Masih harus antre sekali lagi setelah dari sini." "Bukan masalah, semua orang tahu kalau kamu pasien spesial. Lagi pula, hanya untuk menukar obat, tidak perlu tindakan pemeriksaan, jadi tidak akan memakan waktu lama." "Tapi—" Dia tidak membiarkanku berbicara lagi. Dokter Vhir mengambil kertas antrean di tangan, lalu mengembalikannya ke penjaga. Hal itu membuatku mendapatkan tatapan penuh pertanyaan dari dua gadis cantik berpakaian batik yang tengah berjaga di depan counter. "Jadi, apa kamu ada alergi terhadap makanan tertentu?" tanyanya penuh selidik setelah kami tiba di ruangannya yang ada di lantai dua. "Seingat saya, saya hanya tidak bisa makan seafood, Dok." "Ya ampun, pantas saja. Biasanya kalau ada riwayat alergi, memang agak sensitif dengan anti biotik yang kemarin kuberikan. Aku juga tidak bisa minum obat itu karena alergi dengan seafood." Tangannya mengambil selembar kertas dan pulpen, lalu mulai menuliskan sesuatu di sana. Aih, pantas saja. Rupanya aku alergi dengan anti biotiknya, tapi karena Dokter Vhir bilang kalau obat itu harus dihabiskan, jadi aku menghentikan obat lain, dan hanya minum ati biotik itu. Ternyata dialah sumber masalahnya. "Ya sudah, kita return aja obat yang kemarin itu. Nanti aku kasih anti biotik lain yang paling tidak mungkin menyebabkan alergi. Selain itu, aku juga meresepkan obat untuk alergimu, jadi nanti sebelum minum anti biotiknya, kamu minum obat alerginya dulu. Oke?" "Baik, Dok." "Maaf, ya, karena aku wajahmu jadi begitu." Matanya menatapku penuh sesal. "Tidak apa-apa, Dok. Salah saya juga karena tidak memberitahukan alergi saya sama Dokter." Dia tersenyum. Manis. "Iya, kamu ingat terus ya kalau ada alergi obat ini. Jadi kalau misal kamu berobat di rumah sakit lain, atau bukan denganku, nanti biar kamu tidak dikasih obat ini lagi." "Baik. Terima kasih, Dok." "Omong-omong, kamu kalau cuby gitu jadi lucu." Kali ini Dokter Vhir benar-benar tertawa. Ruangan yang tidak terlalu besar ini dipenuhi oleh ledakan tawanya yang terdengar renyah. Aku cemberut. "Sudah?" "Apa?" "Tertawanya." "Oh, maaf. Lagian mukamu lucu, si. Tapi setidaknya kita jadi tahu, kalau kamu gendut nanti, kira-kira seperti inilah bentuk wajahmu." Dia bangkit, memutari meja dan berdiri di sebelahku yang hanya memasang wajah datar. Enggan menanggapi leluconnya yang menurutku sama sekali tidak lucu. "Ngambek?" "Tidak." "Maaf, ya." "Baiklah, dimaafkan. Saya permisi dulu. Di bawah, antrean untuk obat pasti sudah mengular." "Aku bisa menghubungi orang di loket lima untuk segera menyiapkan obatmu kalau kamu mau." Aku tertawa datar. "No, thanks!" Dengan masuk ke ruangan ini tanpa mematuhi instalasi perawatan yang seharusnya, itu sudah melanggar aturan, dan melanggar hak pasien lain. Aku tidak mau semakin jadi pasien tidak tahu diri hanya karena ulahnya. "Aku tahu kamu akan menolak." Aku hanya tersenyum sekilas untuk menanggapi ucapannya. "Baiklah. Terima kasih, saya permisi." Aku bangkit dan segera pergi. Dokter muda ini selalu bisa membuat pikiranku kacau karena tingkahnya. Aku tahu, setiap kali berbicara denganku dia selalu menggunakan bahasa santai bahkan di depan umum, meski aku terus bersikap formal padanya. Dia ingin menunjukkan sesuatu yang berbeda. Tapi hatiku belum siap kalau harus tersakiti lagi, dan aku juga tidak mau memberinya harapan palsu. Jadi aku lebih memilih utuk mengabaikan semuanya, berpura-pura bodoh dan tidak tahu kalau pemuda itu menunjukkan perhatiannya. "Dis ...." Suaranya menghentikan gerakanku yang hendak mendorong pintu. Aku tidak menjawab, hanya menoleh dan menunggu kalimat selanjutnya. "Kamu pasti sembuh. Aku percaya itu." "Saya tahu." "Ingat selalu pesanku, jangan terlalu banyak pikiran. Jangan sampai kamu tertekan karena sesuatu. Kalau kamu ada masalah, apa pun itu, kamu bisa menghubungiku untuk bercerita. Aku siap mendengarkan." "Terima kasih, tapi sepertinya itu terlalu berlebihan." "Siapa bilang? Ini bagian dari perawatan. Aku tidak mau usahaku selama ini sia-sia. Sebagai dokter, kredibilitasku dipertaruhkan di sini." Aku nyaris tertawa mendengar alasan konyolnya. Dok, sungguh, aku tahu persis sampai batas mana tanggung jawab seorang dokter terhadap pasiennya. Tolong jangan membual. Tentu saja kalimat itu hanya terucap di dalam hati. Sebaliknya, aku hanya tersenyum menanggapi bualan Dokter Vhir. "Baiklah. Saya permisi." Dokter Vhir hanya memgangguk sambil tersenyum, dan aku segera keluar. Di satu sisi, kadang sikap pedulinya yang berlebihan membuatku jengah. Namun, di sisi lain, aku bersyukur dipertemukan dengan dokter seperti dirinya. Dia dokter yang sangat baik, dan selalu mengucapkan kata-kata postitif yang melecutkan semangat dan mampu membuatku semakin yakin, kesembuhan itu semakin dekat dengaku. Pasti. *** Setelah mengambil obat, aku bergegas keluar dari rumah sakit melalui pintu samping. Aku sengaja mengulung syal di leher tinggi-tinggi sampai menutupi sebagian wajah, dan rambut juga dibiarkan tergerai. Sungguh, bentuk wajahku saat ini benar-benar aneh. Aku malu kalau tiba-tiba harus bertemu dengan orang yang dikenal, lalu mereka menertawakanku. Seperti Dokter Vhir tadi. Sialnya, hari ini tetap harus kembali ke kantor. Minggu ini ada dua novel yang seharusnya sudah masuk percetakan, tapi aku malah belum selesai mengeditnya. Baru saja ngeluarkan motor dari parkiran, ponselku bergetar tidak sabaran. Sepertinya ada panggilan masuk. Dan sepertinya lagi, itu dari Dokter Vhir. Dia memang selalu iseng. Saat aku keluar dari rumah sakit, dia akan berjalan ke dekat jendela, melihatku dari sana, lalu menelepon setiap aku hendak melajukan sepeda motor hanya untuk mengatakan agar hati-hati dalam berkendara. "Ini bagian dari perawatan," begitu katanya kalau aku mau protes. Suara ponsel terus bergetar semakin tak sabaran. Setelah mendapatkan posisi yang tepat untuk motor, aku segera mengambil benda persegi panjang itu dari tas rajut, dan mengagkatnya dengan kesal. "Iya, saya akan berkendara dengan hati-hati," ucapku sedikit malas sambil melihat ke arah jendela ruang kerjanya. Dia di sana, melambaikan tangan sambil tersenyum, dan ... tidak sambil menelepon. Lalu, siapa yang meneleponku? "Hai, apa kabar?" Suara bariton dari seberang sana, adalah jenis suara yang sangat kukenal. Dulu suara ini hampir memenuhi telingaku setiap hari, sekadar untuk mengucapkan selamat pagi, siang, sore, atau mengingatkan untuk makan. Aku segera melihat layar ponsel. Nama Makhluk Astral terpampang di sana. Dia? "Dis, gue kangen sama lo. Bisa kita ketemu?" "Satya?" "Gue tau lo pasti benci banget sama gue, tapi, please ... kasih gue kesempatan buat jelasin semuanya." Kesempatan? Jelasin semua? Untuk apa? Apa dia mau menyakitiku lagi? Kalau memang bisa menjelaskan semuanya, kenapa baru sekarang? Allah, kenapa dia harus kembali, saat aku sudah bersusah payah untuk bisa melupakannya? *** BestRegards, MandisParawansa

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

I Love You Dad

read
283.2K
bc

HYPER!

read
559.2K
bc

Bastard My Ex Husband

read
383.1K
bc

T E A R S

read
312.8K
bc

Possesive Ghost (INDONESIA)

read
121.4K
bc

Tuan Bara (Hasrat Terpendam Sang Majikan)

read
114.2K
bc

I LOVE YOU HOT DADDY

read
1.1M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook