JFD#1 Sweet person

2011 Words
            Aku menghela nafas untuk kesekian kalinya hanya dalam waktu satu jam terakhir, mataku menatap jengkel ke arah laki-laki jangkung yang berdiri tidak jauh dari hadapanku, lelaki yang sekarang memilih untuk menyandarkan tubuhnya di salah satu tembok kelas, laki-laki yang sudah menjadi sahabat dari aku berusia 8 tahun.              Cowoknya yang memiliki nama Zulfan Haikal, aku biasanya panggil dia Zulfan di depan temen-temen tapi kalau cuman berdua aku lebih seneng manggil dia Ikal. Sesekali aku harus menghela nafas panjang, mencoba agar aku tidak terbawa emosi saat menghadapinya.             Alasannya sangat simpel sebenarnya, kenapa aku bisa tiba-tiba marah sama cowok itu, karena aku kesal kalau harus terus dibuntuti sama dia kemanapun aku mau pergi keluar rumah, dan yang lebih menyebalkannya adalah aku harus menjadi orang yang setia di dekat dia, enak kalau aku itu dianggap pacar, lah ini aku cuman dianggap sahabat doang sama dia, sahabat rasa pacar gitu? Terus aja di zona friendzone, terus aja bikin aku ngarep sama dia, tapi jadiannya enggak pernah.               Dari dulu, aku pengen ngeliat Zulfan bisa berbaur dengan yang lain, gak cuman jadi pendengar baik saat orang lain ngajak dia ngomong, bahkan kalau minta saran dia gak kasih saran sama sekali, aku kasian sama orang yang minta saran sama dia. Lagian udah berapa kali coba aku nyoba buat dia paham dengan penjelasan aku selama ini, tapi kayaknya mau mulut aku sampai berbusa juga dia gak bakal paham sama yang aku jelasin. “Masa kamu masih pendiem sih Ikal, gak bakalan seru dong Kal kalau kamu kayak gitu itu terus! Kamu kok tahan cuman bisa berbaur sama sedikit orang aja? Orang-orang di sekitar kamu juga masih bisa aku hitung loh jumlah mereka! Emangnya kamu gak mau bersosialisasi sama yang lain?! Apalagi sama orang-orang baru, mereka semua itu asik-asik tau, gak kaku kayak kamu!” ucapku dengan nada yang sudah menahan kesal sedari tadi, mataku menyipit menatap tajam ke arahnya.               Aku harus bisa menahan emosi yang siap meledak kapan saja. Emang pendiam itu sifat yang sangat melekat dalam diri Zulfan, dari dulu sampai sekarang, bahkan saat ini sifat anti sosialnya lebih parah dari dulu. Aku gak ngerti kenapa tiba-tiba Zulfan bisa jadi lebih pendiem, setau aku dia selama ini ada deket sama aku, jadi alasannya karena apa?             Tapi yang sampai sekarang membuat aku heran sama dia waktu dia yang menjadi pendiam kepada orang lain  apalagi sama orang yang baru aja ketemu sama Zulfan, sedangkan kepada aku? Oh... jangan ditanya lagi gimana sifatnya, dia yang awalnya pendiam akan berubah jauh menjadi orang yang lebih berani untuk berbicara seperti saat ini dan itu membuat aku merasa menjadi sosok yang spesial untuk sosok Zulfan selama ini. “Ya mau gimana lagi dong, kamu tau sendiri aku gak bisa akrab sama orang lain Ris, tolong kamu ngerti dong sama keadaan aku. Jujur Ris, aku juga mau bersosialisasi sama orang lain kayak kamu, tapi kamu tau sendiri aku ini pendiem luar biasa ke orang baru, tapi ke orang yang lama aku gak pendiemkan? Alasannya aku cuman mau mengenal mereka terlebh dahulu sampai aku nyaman berteman dengan mereka,” ucap Zulfan dengan suara basnya.             Aku langsung mencebikkan bibirku. Halal sebuah alasan klasik bagiku, alasan yang pasti bakal dia ucapkan setiap kali aku mengomentari sifat pendiamnya itu, dan itu membuat aku menjadi bisa lebih kesal dengan dia. “Ya udah deh terserah kamu aja Kal!! Kalau aku liat kamu pendiem mulu jangan salahin aku kalau telinga kamu itu bakalan jadi merah dan bengkak dengerin semua ocehan aku, oh.... jangan lupa telinga kamu juga lama-lama bakal jadi lebar kayak kuping gajah,” ucapku dengan nada yang dibuat sangat dramatis, tatapanku dibuat se-horor mungkin, tapi bukannya takut Zulfan malah tertawa dengan lesung pipi yang muncul di pipi kanannya. “Apaan sih Kal! Aku gak lagi ngelucu tau, aku ini lagi marah-marah!” bukannya berhenti, tawa Zulfan malah menjadi lebih keras dari sebelumnya, “Haikal, kamu ini yaa! Lama-lama aku bisa punya penyakit darah tinggi kalau deket sama kamu terus!”               Aku melipat kedua tanganku di depan d**a dengan mata yang menyipit menatap tajam ke arah Zulfan. Eh..  kenapa aku malah keliatan jadi merajuk seperti ini sama Zulfan sih? Dasar Risa bodoh! Gak bisa sekali aja beneran marah sama Zulfan. “Emang kamu bisa marah sama aku Ris?” tanya Zulfan dengan suara yang mendalam dan mulai berjalan mendekat ke arahku.             Aduh, aku harus gimana sekarang? Kabur? Atau gimana? Zulfan selalu tau kalau aku suka terpesona dengan suara Zulfan yang udah ngebas banget kayak tadi, apalagi kayak sekarang, mata Zulfan itu bikin aku gak bisa berpaling sama sekali, apalagi pintu keluar itu lebih deket sama Zulfan. “Jangan pernah ngedekat ke aku Ikal! Apalagi kalau kamu coba-coba buat meluk! Aku marah beneran sama kamu Zulfan Haikal!” tegasku sembari berjalan menjauh dari hadapan Zulfan.             Tiba-tiba Zulfan berhenti berjalan dan menatap ke arahku dengan tatapan yang selalu bisa membuat aku luluh, apalagi matanya yang benar-benar hitam legam membuat aku seolah diseret dalam pesonanya. “Eh... ternyata bisa marah sama aku? Berarti hari ini aku gak jadi ngasih coklat ke kamu, saking aku punya coklat kesuakaan kamu tau.”             Aku berhenti berjalan menjauh dari Zulfan, mencerna terlebih dahulu ucapannya tadi. Sebentar tadi dia bilang apa? Coklat? Buat aku? Siapa yang bisa nolak! “Beneran ada coklat?” tanyaku memastikan dan Zulfan langsung mengangguk, “Mana coklat buat aku Zulfan? Siniin cepetan! Aku mau!”             Aku langsung menjulurkan tangan ke arahnya dengan mata yang berbinar-binar menatap ke arah Zulfan, menunggu coklat yang selalu menjadi makanan favorit aku selama ini. Tapi emang namanya juga Zulfan, dia gak bakal ngasih sesuatu kalau gak ada maksud terselubung di dalamnya.             Tanpa membuang-buang waktu, Zulfan langsung menarik lengan yang aku julurkan dengan sedikit kencang, aku yang memang belum siap dengan gerakan tiba-tiba dari Zulfan langsung terhuyung ke arah depan dan dengan mudah tertarik oleh dia, dan ya seperti yang dia inginkan aku sekarang sudah ada dalam pelukannya dengan kedua lenganku sudah berada di genggamannya. ‘Deg..’             Jantung aku langsung berdegup dengan kencang, tidak seperti biasanya, dih dasar jantung bodoh?! Bisa-bisanya bikin konser, kalau Zulfan tau gimana? Emangnya dia bakal tetep nganggep aku sebagai sahabatnya? Jauhin perasaan bodohnya Risa! Kamu sama dia gak bakal bisa jadi satu! Halu aja terus! “.....” “Nyaman ya Ris? Biasanya juga suka memberontak.”             Aku langsung tersadar saat Zulfan berbicara tepat di samping telingaku, deru nafasnya bisa aku rasakan di belakang leherku. Geli! Sebenarnya gak apa-apa sih di pelukan Zulfan, orang nyaman banget, tapi malu akunya! Back to normal Risa!  “Argh... Zulfan nyebelin, rese! Dasar kurang aja! Ngambil kesempatan dalam kesempitan! Lepasin aku Zulfan!” teriakku dengan lengan yang berusaha untuk lepas dari pegangan Zulfan.             Bukannya melepaskan aku, sekarang Zulfan malah memutar tubuhku menjadi berhadapan dengan dia. Zufan langsung tertawa  sampai matanya sedikit menyipit saat melihat mukaku yang sudah memerah sekarang, dalam jarak yang sedekat ini, aku bisa mencium aroma parfum kesukaan Zulfan yang aku suka dan lagi aku bisa bebas memandangi wajah Zulfan yang seolah terpahat dengan sempurna. ‘Tolong Risa jangan terus berharap padanya! Kamu tau akhirnya bakal kayak gimana?! Ayo Risa sadar!’ desisku dalam hati untuk menyadarkan semua pemikiran bodoh yang selalu tanpa sadar datang. Zulfan sedikit melonggarkan pelukannya, “Nih coklat buat sahabat yang paling aku sayang dan selalu care sama aku.”                 Zulfan mengucapkan dengan nada pelan sembari mengeluarkan sebuah coklat batang dari dalam saku celannya, dan kalian harus tahu kalau coklat yang Zulfan kasih ke aku terdapat pita merahnya. Pita yang diikat sama persis seperti dulu, membuat aku ingat kalau dari dulu aku akan selalu luluh dengan kata maaf dari dia.  “Makasih ya Zulfan.”             Tanpa basa-basi aku langsung memeluk tubuh Zulfan dengan erat sampai telingaku bisa mendengar tawa renyah yang keluar dari bibirnya itu. Tuhan aku selalu menyukai tawa yang keluar dari mulutnya, jangan sampai tawa ini menjadi sulit untuk ia berikan kepada semua orang terutama aku.             Sepertinya aku dan Zulfan terlalu hanyut dalam pelukan kami sampai tidak sadar ada dua manusia yang sudah melihat kami dengan tatapan menggodanya. Aku terhenyak saat ada suara yang mengintrupsi kami, aku langsung melepas pelukan dan mendorong Zulfan untuk menjauh dariku.  “Ehm... ehm.... bisa dilepas dulu dong itu pelukannya, kayak udah terpisah jauh dan begitu lama, susah banget kayaknya di lepas deh Vey.” “Iya Kil, dua pasangan yang serasi banget tapi setiap ditanya selalu jawab mereka sahabatan, emang ya perhatian berkedok persahabatan.” “Ehh ternyata ada Kila sama Vey di sini, ngapain kalian kesini? Bukannya lagi sibuk OSIS di sana? Acaranya pasti udah mulai deh.”             Aku bertanya dengan cengiran yang pasti terlihat bodoh di depan Akila dan Vey sekarang, sedangkan mereka yang sekarang sedang menatap kami dengar seringai yang terlihat kejam di mataku. Dasar bodoh kamu Clarisa! Sudah tahu kepergok sama mereka berdua, malah nanya hal yang gak berfaedah sama sekali, mereka pasti lagi patroli Ris! “Maaf deh mbak sama mas, ini kelas termasuk tempat umum mbak, mas, jadi tolong gak usah umbar-umbar rasa sayang kalian, kita tau kalian saling menyayangi tapi hargailah para jomblo di luar sana,” ucap Kila yang terdengar gemas dengan tingkahku dan Zulfan. “Bener tuh, kalian itu kayak pasangan yang bener-bener serasi banget!” tambah Vey yang semakin membuat aku terpojok. Aku hanya bisa tersenyum kaku ke arah mereka. Emangnya aku sama Zulfan terlihat seperti pasangan kekasih? Sepertinya hanya aku yang berharap dengan hubungan itu tapi tidak dengan laki-laki di sebelahku. “Apaan deh kalian, keliatan pasangan darimana coba? Jelas-jelas kita keliatan kayak sahabat malah kayak sodara, iya gak Ris?” tanya Zulfan yang mencari dukunganku. ‘Mau ngarep lagi Ris? Tadi dengerkan apa yang diucapin sama Zulfan, cuman sebatas sahabat loh kamu, udah gak boleh berharap!’                 Aku menguatkan hati mendengar pengakuan Zulfan tadi, mana ada sih Zulfan sahabat antara cewek sama cowok yang selalu deket kayak gini, kemana-mana bareng dan gak bisa mau dilepas.                 Aku hanya mengangguk sebagai balasan kepada Zulfan dengan senyum tipis yang aku coba berikan kepada mereka berdua. Akila yang sepertinya sadar dengan perubahan ekspresiku, sekarang Akila tersenyum ke arahku seolah bilang, ‘kamu pasti kuat Clarisa!’, meskipun jujur masih terasa nyesek setiap inget kata-kata yang dilontarkan oleh Zulfan tadi. “Kenapa suasananya jadi akward banget sih, kalian gak ngerasa laper gitu, masih pada bengong aja kalian hey! Emangnya kalian mau ngapain sih?” ucapku dengan tersenyum lebih lebar dari sebelumnya. “Iya ih akward banget, tadi sih kita mau patroli liat-liat kelas, sekalian mau ngecek aja takutnya ada yang pacaran di kelas gitu,” ucap Vey yang menekan kata ‘takutnya ada yang pacaran di kelas’. Emang dasar vey yang 11 12 sama Zulfan, gak pernah ngerti kondisi sekarang, Akila langsung menyikut lengan Vey dengan sedikit kencang, sepertinya Vey mulai sadar kondisi deh, buktinya sekarang dia meringis menatap ke arahku. “Dih, siapa juga yang pacaran, tadi Zulfan udah bilang kita itu sahabatan malah udah nganggap kayak sodara sendiri, jangan asal nyimpulin makanya,” ucapku yang mencoba untuk menutupi kegugupan yang tiba-tiba datang. “Kita gak mungkin pacaran kali, toh kita udah sahabatan dari kecil ini,” tambah Zulfan dengan entengnya, Zulfan mengangkat alisnya seolah mencari dukunganku, aku hanya bisa mengangguk pasrah sebagai jawaban. “Zul..” aku memanggil Zulfan yang sekarang mengerutkan keningngnya, “gue udah lapar, cacing di dalam perut udah bikin konser nih, gue ke kantin duluan ya.” Aku menepuk pundak Vey dan akila saat berpapasan, “Kalian berdua, aku duluan ya, kalau mau nyusul ke kantin boleh kok.” #####             Aku kembali mengingat tulisan yang sengaja aku tulis di depan buku diary aku, "banyak yang berkata bahwa persahabatan antara laki-laki dan perempuan itu tidak akan pernah murni bersahabat, selalu ada yang menyimpan perasaan lebih dari kata sahabat diantara salah satunya, tapi sayangnya selalu ada yang berjuang untuk menghilangkan perasaan yang melenceng agar bisa selalu dekat. Apa mungkin aku juga salah satunya? Terjebak dalam kondisi yang tidak menguntungkan? Boleh bermimpi tapi jangan terlalu berharap kalau dia membalas perasaan kamu!" "Terlalu menyebalkan! Kondisi yang terlalu sulit seperti sekarang! Selalu saja ada yang berada dalam kondisi dirugikan seperti aku! Sebal! Argh! Clarisa!"             Aku menelusuri lorong kelas sembari sesekali meringis setiap mengingat percakapan antara aku, Zulfan, Vey, dan Akila tadi di kelas, kenapa kalau diinget terus selalu aja sakit banget, saking kalau aku inget itu semua udah kayak makanan pokok buat, Zulfan kan emang gak bakal bisa sadar sama perasaan yang jelas-jelas udah aku tunjukin sama dia.  "Kalau aja aku boleh minta sama Tuhan, boleh gak aku minta buat ngilangin perasaan aku buat Zulfan? Jujur aku takut nanti kalau Zulfan tau dia bakalan bener-bener menjauh, aku belum siap untuk ngadepn kondisi kayak gitu."     
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD