"Tuhan sengaja, menciptakan ketidaksengajaan."
"Mamaaa...!"
Suara itu terdengar begitu nyaring bagi perempuan paruh baya yang tengah sibuk mengangkat beberapa telur rebus di dapur. "Apa sih Nay, ah! Masih pagi udah teriak-teriak. Mama lagi di dapur ini!" perempuan paruh baya itu balas berteriak.
Naya melirik jam di ponselnya yang menunjukan pukul setengah tujuh, ia bangkit bergegas menuruni setiap anak tangga dengan cepat. Ia berharap waktu menjadi lambat, karena repot jadinya jika hari ini ia telat masuk sekolah.
Brukk..!
"Nay, suara apa itu?" tanya Mama Naya..
"Tangga s****n! Nggak tahu gue lagi buru-buru apa?" protes Naya, kemudian berdiri tanpa menghiraukan pertanyaan mamanya. Naya memasuki kamar mandi, mencuci muka, lalu menggosok giginya saja. Ia kembali ke kamarnya, lantas mengenakan seragam dengan cepat.
"Nay, cepet turun! Sarapan dulu!"
Naya mendengar mamanya berujar dari ruang makan. Cewek itu menyisir rambut panjangnya lalu menguncir dengan asal, menambahkan sedikit bedak pada kulitnya yang putih, ia juga membubuhkan lipgloss pada bibirnya yang berwarna pink agar tidak terlihat pucat. Naya kemudian memakai sepatu, dan mengambil tas berwarna pastel yang baru ia beli satu minggu lalu. Ia lantas menuruti perintah mamanya. "Ma, sarapannya Naya bekel aja ya. Nggak akan sempet makan di rumah, Naya harus buru-buru!"
"Kamu sih, udah tahu kalau tidur kayak kebo, makannya jangan kemaleman kalau tidur," ayah Naya yang sedang sarapan, ikut berkomentar. Naya hanya melirik sekilas, tidak menimpalinya dengan jawaban apapun. Ia lalu memasukan bekalnya ke dalam tas.
"Ma, Naya pergi ya. Assalamualaikum!" ucapnya sambil mencium tangan mama. Ada sedikit rasa bersalah di dadanya. Padahal, mengabaikan ayah adalah suatu hal yang biasa dilakukan Naya. Dengan cepat, Naya menghilangkan perasaan yang timbul itu, mencoba tidak peduli.
***
Naya menunggu bis sekolah yang selalu membawanya menuju sekolah. Namun, bis yang ditunggu tak kunjung datang. Ia semakin cemas, 15 menit lagi gerbang sekolah pasti ditutup, belum lagi jalanan pagi ibukota yang sangat padat.
Dari kejauhan, Naya melihat sebuah motor. Pengendara motor itu mengenakan seragam almamater sama dengan yang digunakannya. Dasi coklat dan jaket abu-abu, membuat Naya yakin bahwa si pengendara berasal dari sekolah yang sama. Naya menghembuskan napas, membangkitkan tekad. Saat motor itu semakin dekat, Naya melambaikan tangan dan berteriak untuk memberhentikannya.
Hei! teriaknya kencang. Tak disangka, motor itu berhenti tepat di depannya. "Bang ojek! Ke SMA Angkasa ya!" ujar Naya langsung menaiki motor tersebut. Dalam benaknya, ia bingung, kenapa barusan dirinya berucap demikian? Mana ada Abang Ojek yang memakai almamater dan menggunakan motor besar kece seperti itu?
Tapi biarlah, namanya juga Naya. Ia bisa minta maaf nanti atau kapan saja ia mau.
Kurang dari sepuluh menit, mereka sudah sampai sekolah. Hal itu berkat cowok yang mengendarai motornya tanpa tahu diri bahwa dia sedang membawa nyawa seseorang. Naya turun lalu merogoh sakunya. "Nih Bang, ongkosnya! Kembaliannya buat Abang aja." Cewek itu menyodorkan selembar uang 20 ribu sambil menunduk, tanpa melihat wajah cowok tersebut. Bukan Naya tidak ingin melihat cowok itu, hanya saja ia tidak berani.
Tak kunjung mendapat respon, Naya mengepalkan uang tersebut dan menaruhnya di tangan yang masih mengenakan sarung tangan berwarna hitam itu. Kemudian dia beranjak tanpa menoleh lagi.
Naya memasuki gerbang utama dan melihat lapangan sudah dipenuhi siswa-siswi yang masih memakai seragam putih biru. Jajaran panitia pun sudah siap berbaris di depan.
"Duh Neng Anaya, cepat masuk Neng. Teman-teman OSIS Neng sudah menunggu dari tadi. Sampai Mas Billy bilang ke saya, kalau ketemu Neng Naya suruh kunciin aja di dalem pos." Mang Ujang yang merupakan satpam SMA Angkasa itu menyengir, memamerkan gigi ompongnya.
Mas dan Neng adalah sapaan akrab Mang Ujang ke setiap murid SMA Angkasa. Mas Billy yang ia sebutkan tadi adalah Ketua OSIS di sana. Naya yakin Billy akan marah-marah karena dirinya terlambat. Naya balas tersenyum. Sebelum beranjak, Naya sekilas mendengar Mang Ujang berbicara pada tukang ojeknya.
"Mas Rafa, pacarnya Neng Naya?"
Naya ingin sekali berbalik untuk menyanggah, namun ia mengurungkan niatnya dan bergegas menuju ruang OSIS yang berada di lantai dua.
"Lah Mang, kenal sama yang namanya Naya juga nggak," balas cowok yang dipanggil Rafa sambil membuka helmnya.
"Itu tadi saya lihat Neng Naya turun dari motor Mas Rafa. Nggak usah malu-malu Mas, yang satu cantik imut yang satu ganteng, cocok!" Mang Ujang lagi-lagi nyengir.
"Mang Ujang mulai ngawur. Tadi tuh dia berhentiinmotor saya di jalan. Terus, tiba-tiba naik pas saya berhenti. Saya nggak denger cewek itu ngomong apa, kan pakai earphone. Eh, sampai sekolah dia ngasih uang 20 ribu. Mang Ujang udah sarapan?" tanya Rafa mengalihkan topik pembicaraan.
"Belum Mas Raf, baru ngopi. Mas Raf mau pesen kopi?" Mang Ujang kini duduk di bangku panjang yang terletak depan pos.
"Nggak Mang. Ya udah ini buat sarapan Mang Ujang." Rafa menyodorkan uang 20 ribu dari Naya tadi.
"Wah.. Pasti ada maunya nih ya Mas Rafa?" tanya Mang Ujang jahil, seraya mengambil selembar uang yang disodorkan.
Rafa memasuki pos satpam dan berbisik kepada Mang Ujang. "Jangan bilang-bilang ya Mang, saya malas upacara. Nanti pasti lama, banyak sambutannya. Kunci aja posnya dari luar."
Di dalam pos satpam ia bisa mendengar suara pengurus OSIS yang masih mengatur barisan siswa baru dari speaker. Ia mengeluarkan ponsel dan mulai bermain game. Setidaknya, itu yang membuat pikiran Rafa sedikit tenang.
***
"Ya ampun Anayaa! Ke mana aja lo? Lo kan ketua pelaksana MPLS! Dicariin dari tadi nggak nongol-nongol!" ucap Billy kesal, wajahnya memerah.
"Maaf Kak, saya nggak akan mengulang kesalahan saya," ucap Naya. Billy adalah siswa tingkat 12, sementara Naya tingkat 11.
"Ambil alih lapangan sekarang!" ujar Billy tegas, membuat Naya sedikit bergidik, lantas menurutinya.
Dengan perut yang keroncongan karena belum sarapan, Naya pergi ke lapang dan melaksanakan tugasnya.
Setelah upacara selesai, siswa kelas 11 dan 12 diarahkan untuk memasuki kelas yang nama dan kelas baru sudah tertempel di mading sekolah.
’11 IPA 4’
Nama Naya ada di kolom kelas itu. Hampir setengah siswanya ia kenal dari kelas 10. Jadi, tidak terlalu sulit untuk Naya beradaptasi di kelasnya. Sedangkan siswa-siswi baru yang masih berpakaian putih biru diarahkan memasuki kelas yang sudah diatur panitia.
Kegiatan orientasi siswa baru berakhir pukul 12.00. Sementara jadwal pulang siswa kelas 11 dan 12 pukul 14.00.
"Kalian langsung balik aja ke kelas masing-masing. Evaluasinya nanti, hari terakhir," ucap Billy membubarkan pengurus OSIS yang semuanya tampak lelah.Naya mengusap dahinya yang berkeringat kemudian menyusuri koridor hingga sampai di kelas yang ia tuju. Cewek itu memasuki kelas 11 IPA 4 dan beberapa teman yang sudah ia kenal menyapanya bersahabat. Tidak ada yang terlalu akrab dengannya, hanya sebatas mengenal nama dan wajah saja.
"Nay, sini duduk bareng gue!" ucap Alya, teman Naya. Alya cewek yang manis. Kulitnya sawo matang dengan bulumata lebat dan bibir merah alami. Rambut hitam sebahunya membingkai wajah mungil Alya.
Naya mengangguk kemudian mendekati meja yang berada paling depan di barisan ke dua. Di meja tersebut sudah terdapat tiga teman lainnya sehingga mereka menjadi berlima. Ada Nisa, Amel, dan Syifa. Begitu duduk, cewek itu mengeluarkan kotak makannya. "Kalian nggak makan?" tanya Naya, yang dibalas gelengan.
"Kami udahmakan," jawab salah-satunya.
Naya hanya mengangguk pelan. "Gue makan ya!" ujar Naya cepat, karena cacing di perutnya sudah meminta jatah.
Naya mengangkat kotak makannya, kemudian beralih pada tas, mencari sesuatu. "Ah! Gue nggak bawa sendok! Mana gue bekel mie lagi!" decak Naya yang kini mengerucutkan bibirnya.
"Pakai tangan aja Nay!" ucap Amel terkekeh.
"Kalau nasi masih bisa. Ya kali gue makan mie pakai tangan." Cewek itu semakin tidak berselera sekarang.
"Nih, pakai sendok punya gue aja. Kebetulan gue bawa roti, jadi nggak usah pakai sendok." Seorang cowok di belakang meja Naya berucap seraya menepuk pundak cewek itu. Naya dan teman-temannya kompak menoleh ke belakang,
"Beneran nggak apa-apa? Nanti gue cuci deh. Gue lapar banget, belom makan sama sekali dari pagi," balas Naya dengan senyum mengembang di bibirnya.
"Iya santai aja. Gue Dimas, dulu 10 IPA 2." Ia menjulurkan tangannya pada Naya.
"Anaya, dulu gue 10 IPA 9." Naya menyambut uluran tangan Dimas.
Mendengar nama yang ia dengar tadi pagi, sontak teman di sebelah Dimas menoleh ke arah Naya, lalu kembali fokus melihat layar ponselnya.
Rafa, siswa yang kini duduk satu meja dengan Dimas melepas earphone yang semula ia pakai. "Dim lo tahu nggak? Masa’ tadi pagi gue dikira tukang ojek!" ucap Rafa nyaring.
Naya yang sedang mengunyah tiba-tiba diam dan mulai menyimak percakapan mereka.
"Tampang lo memang tampang abang-abang ojek sih Raf!" Dimas terkekeh kini.
"Enak aja lo! Masa’ gue ganteng kayak gini dibilang kayak tukang ojek!" sanggah Rafa.
"Dapet duit dong lo Raf?" sambung Rizal yang ikut nimbrung.
"Dapet 20 ribu. Udah gue kasih ke Mang Ujang. Kasihan, dia belum sarapan."
Rafa tahu betul, cewek yang tadi menumpang pagi tadi kini duduk tepat di depannya. Naya menoleh ke belakang, Rafa menatapnya dingin dan melihat tingkah aneh Naya. Hidung Naya mengendus-endus ke arah Rafa lalu berbalik menghadap teman-temannya, membereskan tempat makan, lalu kembali berbalik menghadap Rafa.
"Lo bau knalpot!" ujar Naya kepada Rafa
Rafa yang semula sudah kembali larut dalam game-nya, langsung memasukkan ponsel tersebut ke dalam saku. Ia melihat Naya dengan satu alis yang terangkat.
"Gue?" tanya Rafa santai.
"Iya lo! Gue nggak suka sama cowok yang bau polusi, jauh-jauh lo dari gue!" balas Naya.
"Rese lo, baru datang juga! Kalau nggak suka, lo aja yang pergi, ribet amat hidup lo!" ujar Rafa ketus. Cowok itu kemudian mendekatkan wajahnya ke Naya, yang masih terhalang meja. Tak lama, Rafa kembali bersandar di bangkunya.
"LO BAU BADAN! MANDI NGGAK LO TADI PAGI?" tuding Rafa dengan suara keras, membuat wajah cewek itu merah seketika.
Naya mencium badannya. Hari ini ia tidak mandi karena buru-buru. Ia juga lupa menyemprotkan parfumnya. Padahal, seharian tadi ia berada di lapangan dan berkeliling sekolah, karena mengurus siswa baru.
"Gue nggak suka cewek yang bau badan! Pergi lo jauh-jauh dari gue!" balas Rafa lebih ketus.
Naya kesal, tapi hari ini ia lelah. Naya tidak mau berdebat. Jadi, tak ada lagi percakapan antara Naya dengan yang lainnya. Teman-teman Naya yang tadi berkumpul di meja, kini sudah menempati mejanya masing-masing. Semuanya terlihat canggung.
"Dim, gue balikin sendoknya besok ya!" ucap cewek itu tersenyum.
"Oke! Santai aja," jawab Dimas.
Tak lama bel pulang berbunyi. Naya lega, akhirnya ia bisa pulang dan istirahat. Rafa mengambil helm fullface-nya di kolong meja dan bangkit paling awal. Saat melewati meja Naya, Rafa berhenti.
"Mau Abang anter pulang pakai ojek, Neng?" ucap Rafa sambil terkekeh, dan berlalu meninggalkan kelas.
Naya mematung di tempat. "s**l!" gumam cewek itu pelan.