2. BUMI KEDUA

1986 Words
Venus tersentak bangun kala tubuhnya meluncur keluar dari sesuatu yang terasa seperti seluncur tabung. Atau setidaknya ia pikir begitu. Venus menginjak permukaan tanah dengan goyah, dan pasti akan tersungkur seandainya tak ada tangan-tangan yang menolongnya. Venus menatap tanah yang ia pijak dengan wajah semringah. “Wah, aku nggak jadi mati, nih!” cetus Venus senang sambil tersenyum lebar, menyederhanakan perasaan bahagia yang sebenarnya. Venus menatap lingkaran putih tempat ia keluar. Lingkaran bercahaya itu kini suram. Venus mendongak ke atas dan hanya mendapati kegelapan. Penglihatannya beralih pada dua orang yang menolongnya. Seorang pria dengan ekspresi galak dan seorang wanita berwajah ramah. Wanita itu tersenyum. Venus tak pernah melihat mereka sebelumnya. “Apa ini?” Venus bertanya ragu-ragu, “Teknologi baru yang bisa dipesan siapa saja atau bagaimana?” Si Pria Galak menyahut dengan agak dongkol, “Aku tak tahu apa maksudmu! Untuk informasi saja, ini bukan Bumi-mu yang itu! Ini dunia volt, Non. Dan, sekarang kau berdiri di bawah Beranda Hitam.” Venus melongo. Itu wilayah mananya Bumi? “Hah?” ucap Venus telat. “Apaan Volt?” “Aduh, maafkan dia, Sayang,” kata si Wanita Ramah. “Namun, dia benar. Kau berasal dari Bumi Pertama, dan ini Bumi Kedua! Aku tidak tahu bagaimana menyebutnya dengan benar selain dengan kata Dimensi. Dan volt, Sayang, artinya pengendali. Kau bisa disebut volt jika kau mampu mengendalikan salah satu Bakat! Luar biasa, bukan? Kutebak kau ini blasteran?” Wanita itu tersenyum penuh perhatian. Venus menatap mereka berdua. Venus curiga kalau pasangan itu memang gila. Apa hubungan antara volt dan bakat? Seingat Venus, volt adalah sesuatu yang berkaitan dengan listrik. Lantas Bakat itu yang seperti apa? Bakat melukis? Menyanyi seriosa? Menjahit? Puing-puing tak berguna? “Jangan menatap kami seperti itu,” ujar si Wanita Ramah sambil tertawa renyah, membuat Venus berjengit. “Cobalah lihat Beranda Hitam dengan lebih jelas!” Meski sedikit waswas, takut kalau pasangan aneh itu tiba-tiba memutuskan untuk menusuk punggungnya, Venus tetap melakukan apa yang wanita itu katakan. Yang bisa Venus katakan hanyalah, jangan-jangan ia jadi ikutan gila. Beranda itu memang sekreatif namanya. Hampir segala hal tampak bernuansa hitam. Dari tempat Venus berdiri, berderet lingkaran putih serupa. Masing-masing berjarak dua sampai empat meter dari yang lain. Deretan itu melingkar, terus menyambung satu sama lain sampai berakhir kembali ke lingkaran putih di depan Venus. Venus khawatir lehernya bakal terputus gara-gara mendongak dan berjinjit-jinjit. Area yang terdapat beberapa belas lingkaran putih itu benar-benar luas. Banyak di antaranya seolah sedang memuntahkan anak-anak sepantaran Venus. Di tengah-tengah bundaran raksasa tersebut (atau lubang, Venus tidak yakin) lagi-lagi hanya ada kegelapan. Di tengahnya menjulang sesuatu mirip pilar besar yang tegak ke atas, lalu ujungnya melebar membentuk naungan raksasa bagai payung, seakan ia menggantikan atap. Venus menyadari dengan perasaan tak enak bahwa sebelumnya ia menyangka itu adalah langit. Rasanya seperti ada angin dingin yang bertiup dari dalam sana. Kegelapan yang berada di tengah bundaran seakan tersambung dengan bagian belakang lingkaran-lingkaran putih yang ada. Seperti pipa, hanya saja gelap dan tanpa rangka. Venus menanyakan pertanyaan yang sangat mendesak. Dan penting. “Di mana aku bisa makan?” Si Pria Galak menatap Venus seakan dia sudah gila. Venus pikir jika ia tidak segera makan, ia tak yakin bisa berdiri menghadapi keanehan ini lagi. Entah kenapa hidupnya tiba-tiba akrab dengan segala yang berbau kegelapan. Lagipula, perutnya keroncongan. Sudah berapa lama sejak ia makan terakhir kali? Sehari, dua hari, seabad? Si Wanita Ramah menertawai Venus dan berujar, “Ayo, kalau begitu.” “Kemana?” tanya Venus mulai penasaran. Si Wanita Ramah menunjuk dengan dagunya ke arah tembok tinggi raksasa, yang berdiri tidak jauh di sebelah utara sana. Atap gelap aneh tadi sepertinya berakhir di ujung tembok tersebut. Venus memandang tembok perak itu dengan takjub. Kalau ini mimpinya para orang gila, sepertinya tidak jelek-jelek amat, sih. Venus mengekor dua orang dewasa itu dalam diam. Ada banyak sekali orang dewasa yang menjaga lingkaran-pemuntah-orang itu. Lingkaran pemuntah orang. Duh. “Hei, eh, Kak,” panggil Venus pada si Wanita Ramah, “lingkaran putih itu apa, sih?” “Apa? Oh, itu Portal Gelap,” si Wanita Ramah menjawab dan menoleh sebentar. Padahal portalnya putih, pikir Venus. Jahat benar. “Kalau yang seperti pipa gelap itu?” Venus bertanya lagi “Kegelapan,” sahut si Pria Galak. Venus mendengus. Membantu sekali. “Hei, Lan!” Suara tenor seseorang membuat si Wanita Ramah berhenti dan menoleh. “Sudah selesai?” Si Wanita Ramah mengangguk dan menyahut, “Ini yang terakhir. Punyamu belum?” Pria yang di sana berjalan mendekat, sambil menjawab, “Kau lihat sendiri portal itu masih terang. Astaga, padahal kukira Bumi Pertama tak akan memiliki banyak blasteran! Aku tak percaya portal yang kujaga sudah menarik tiga blasteran dari sana! Untunglah, Portal Gelap bekerja sesuai tujuan yang diinginkan. Kalau tidak, tak bisa kubayangkan bagaimana jadinya jika anak-anak dari wilayah berbahasa lain masuk secara sembarangan.” “Yah, paling tidak kau punya sesuatu untuk disyukuri. Soal blasteran itu, kupikir itu disebabkan oleh para Voltura. Kau tidak berpikir begitu, ya, Gen?” Pria bernama Gen itu mengerutkan kening. Venus meneladani ekspresinya. Apaan, tuh, Voltura? “Maksudmu, mereka masih hidup dan bersembunyi di sana?” Gen berkata ragu. “Bukankah para Gal akan tahu kalau memang begitu?” “Kita tahu Gal bukan lagi yang terkuat gara-gara para pengkhianat itu,” si Pria Galak tiba-tiba menyahut, “dan Lan, tolong berhenti membuat dugaan seperti itu. Sangat diragukan Voltura berada di sana, mengingat para Gal yakin mereka sudah ditumpas.” Gen mencoba mendebat, “Yah, tetapi seorang volt yang—” “Lagipula, apa kau tega membiarkan bocah ini berdiri lebih lama lagi di sini?!” bentak si Pria Galak. Gen terlonjak seakan disengat listrik, dan langsung terbirit-b***t kembali ke portalnya. Venus menatapnya iba. “Astaga, Meres,” desah Lan berlebihan, “tak perlu segalak itu, kan?” Lan mengusap lengan Meres dan menggiringnya berjalan. “Ayo, Blasteran,” ajak Lan tanpa menoleh. Venus mengikuti mereka lagi. Gadis itu memijat pelipisnya. Percakapan dengan Gen tadi membuatnya pusing. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang mereka katakan tadi? Ya, ampun. Ia menggosok matanya lebih karena bingung daripada merasa lelah. Nama orang-orang di sini juga agak asing di telinga gadis itu, membuatnya semakin sebal. Beberapa menit kemudian mereka tiba di depan pintu gerbang hitam yang terbuka. Pintu itu terlalu kecil jika dibandingkan temboknya, tetapi juga lebih besar dari pintu gerbang pada umumnya. Di depan pintu tersebut berdiri seorang cowok pendek dengan wajah seperti bayi. “Hei, mana Penjaga Portal yang seharusnya mengantarmu?” tanya Lan khawatir. Cowok itu menyusupkan tangan di saku celananya. “Temannya yang sedang menjaga portal agak kesulitan, jadi dia menyuruhku untuk menunggu di sini dan ikut penjaga lain jika ada yang lewat,” jelas si cowok dengan telinga agak memerah. “Dasar orang tak bertanggung jawab,” dengus Meres sebal, “bisa-bisanya main titip-titipan.” Lan memukul lengan Meres pelan. “Kadang kita juga melakukan hal yang sama, kan?” tegurnya sambil tertawa. “Misalnya, saat aku harus pergi ke toilet karena keadaan benar-benar mendesak?” Lan mengedipkan sebelah mata pada Meres. Giliran pria galak itu yang telinganya memerah. “Dari mana kau?” tanya Meres pada anak tadi, mengalihkan perhatian. “Eh, Trisia,” jawab si cowok. “Oh, begitu.” Meres melanjutkan langkahnya tanpa berkata apa-apa lagi. Jelas tadi ia hanya berbasa-basi. Lan memberi isyarat agar mereka mengikuti. Venus mengerling cowok di sampingnya. Trisia itu provinsi mana dari negara apa? Trisia bukannya terlalu konyol untuk jadi sebuah nama kota? Lagipula, masa cowok bayi ini seumuran Venus? Venus membayangkan cowok itu masih suka menangis dan begitu manja. Venus mendengus sendiri, merasa geli karena telah berpikir jahat. Cowok di sebelahnya memandang Venus dengan aneh. Gadis itu hanya menyeringai. Kemudian, Venus melongo. Lagi. Mereka memasuki area baru yang lebih lapang. Langit berbintang di atas sepertinya memang langit yang asli. Kemudian, di hadapan mereka, berdirilah bangunan modern yang benar-benar ... maksudnya sangat ... tidak, lebih tepat bila dikatakan amat sangat banget dan benar-benar besar. Venus tak peduli jika kata-kata itu menyalahi aturan berbahasa dengan benar. Maksudnya, itu besar yang sungguh lebih besar lagi! Pada teras bangunan tersebut berdiri lusinan pilar besar berwarna putih nan mengagumkan, hingga Venus berpikir itu adalah sebuah kejahatan jika hanya disebut teras. Di atas atap segitiga bangunan itu, terdapat hiasan berwarna biru berupa perisai bulat berukir bintang. Venus juga memperhatikan, di tengah-tengah halaman yang berubin, berdiri patung seorang lelaki tua bermahkota aneh. Mahkotanya seperti terbuat dari jalinan berbagai benda atau sesuatu, dan di antaranya terdapat juga binatang. Wajah sosok itu tampak berwibawa, tetapi tatapannya begitu bengis dan liar pada waktu yang bersamaan. Patung itu berdiri dengan tangan direntangkan, seakan ingin memberi salam dan memberitahu dunia bahwa ia adalah seseorang. Punggungnya memakai semacam jubah panjang, melengkapi pakaiannya yang serupa pemimpin. Saat mereka melewatinya, Venus membaca ukiran nama di atas batu yang jadi pijakan patung tersebut. Di sana tertulis Giris Druiksa. Kedengarannya seperti bahasa Jawa. “Siapa Giris Druiksa?” Venus bergumam tidak pada siapa-siapa. Ia tak menyangka jawabannya datang dari si cowok bayi. “Kau tidak tahu?!” Cowok bayi itu berkata tidak percaya. “Maaf, ya!” Venus berkata ketus. “Aku ini datang dari tempat yang kau sebut Bumi Pertama! Tahu apa aku soal Bumi Kedua?!” “Oh,” gumam si cowok bayi malu. Ia menjelaskan tanpa diminta lagi. “Giris Druiksa adalah manusia sekaligus volt pertama di Bumi Kedua. Katanya, sih, dia juga yang membuat sebutan volt untuk manusia yang dapat mengendalikan Bakat, meski pengelompokan Bakat ditemukan lama setelah ia meninggal.” “Maksudmu, si Druiksa ini semacam malaikat jatuh atau apa?” Kali ini Venus bertanya dengan nada ingin tahu. Si cowok bayi mengangkat bahu sekilas. “Ada tiga versi, dan salah satunya memang itu,” ujarnya. “Versi yang lain mengatakan bahwa ia sebenarnya adalah sesosok roh paling kuat dari Bumi Keempat —dunia para roh— yang kemudian merasuki raga seorang manusia sekarat saat ia masuk ke Bumi Pertama. Roh itu lalu memutuskan untuk membentuk peradaban di Bumi Kedua yang tanpa manusia. Sedangkan, versi terakhir mengatakan, Giris adalah manusia dari Bumi Pertama yang mampu mengunjungi dua dunia, dan memiliki kemampuan mengendalikan sesuatu. Sepertinya orang-orang cenderung percaya dengan versi roh, sebab lebih masuk akal.” Venus mengangguk-angguk paham. Jika Lan dan Meres juga menyimak penjelasan bocah bayi ini, mereka tak memperlihatkannya. Mungkin mereka memang enggan bersusah payah menjelaskan hal yang sudah jelas bagi mereka, bahkan kepada pendatang luar Bumi Kedua seperti Venus. Mereka menaiki lima anak tangga sebelum menapak di lantai keramik berwarna perak pada teras tadi. Venus melihat, pilar-pilar yang menyangga atapnya juga berwarna perak —sejujurnya, segalanya tampak berwarna perak di sini— dan sepertinya bahkan memang sengaja dilapisi perak. Pilar-pilar itu diukir dengan gambar-gambar bernada gelap. Membuat Venus lumayan bergidik. Di tengah-tengah bangunan itu terdapat dua pintu ganda yang berjarak sekitar tiga atau empat puluh meter. Selain kedua pintu tersebut, cuma ada jendela-jendela persegi panjang yang berderet dari ujung ke ujung. Venus tak tahu harus merasa kagum atau terintimidasi. Ini bangunan, atau replika luas sebuah kota yang mencoba dijadikan museum?! Mereka terus melangkah, kali ini menuju pintu ganda yang sebelah kanan. Venus memandangi jendela-jendela gelap yang mereka lewati dengan penasaran. Andai saja ia bisa melihat penampakan apa yang ada di balik benda-benda mudah pecah itu. Tengkorak naga, mungkin? Atau puing-puing tak berguna? Beberapa saat kemudian mereka tiba di pintu yang dituju. Pintu itu menjulang cukup besar dan dipertegas dengan pola serta ukiran-ukiran rumit. Venus bersyukur ukiran itu tidak semengerikan yang ada di pilar. Dan kemudian, Meres membuka pintu tersebut. Begitu saja. Venus kira bakalan ada yang membukakan atau bagaimana. Ternyata realita tak sesuai ekspektasi. Bahkan di tempat aneh begini. Menyebalkan. “Sebenarnya ini tempat untuk apa, sih?” cetus Venus. “Tempat untukmu belajar,” salak Meres. “Apalagi?!” Lan menghela napas. Ia tersenyum pada Venus. “Ini Volta Juana,” ucapnya lebih ramah, “selamat datang!” Itu apa lagi? Semacam m*******a? Venus diam-diam mengerang. Mau dunia n*****a atau pengendali m*******a, sebodoh amat! Sudah b**o begini, kenapa tidak diteruskan saja? Selamat datang di Volta Marij—eh, Juana!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD