23.23

2245 Words
    "Sudah bel, hari ini sampai di sini ya, nikmati istirahat kalian!" Seorang guru tampan, tengah membereskan buku paket di atas meja.     "Yahhh!!” desah tak rela terdengar memenuhi ruang kelas Affa.     Guru muda bernama Dhan itu, kembali tersenyum. Kedua matanya menyipit lembut, terlihat begitu ramah. "Hei, kenapa begitu tak rela berpisah dengan bapak? Besok kita kan kembali belajar bersama."     "Iya juga. Ya udah, sekarang kita makan siang bareng yuk pak! Biar makannya makin enak!!" Valany berteriak antusias dan sukses menjadi bahan tertawaan teman sekelasnya, termasuk Affa.     "Haha, maaf ya. Bapak hari ini sangat sibuk. Sekarang bapak pamit, ingat kerjakan tugas rumah kalian!!" Dhan pergi dengan buku-buku pelajaran di tangannya.     "Balik dari cuti kerja, pak Dhan makin keren aja. Aje gile, udah ngajarnya enak. Gue aja yang bloon bisa ngerti. Arghh pokoknya imam impian banget yak!!" Suara Valany melengking. Affa menyemburkan tawanya saat mendengar Valany yang kini tengah memuji-muji Dhan dengan setulus hati.     "Apa hubungannya jadi imam?! Dasar sarap!! Udah ah, kantin aja kuy, laper nih!! Fa mau ikut gak?" Affa menoleh saat bahunya ditepuk oleh Wida. "Kalian ke kantin aja. Gue bawa bekal soalnya, mau makan di taman belakang aja deh."     "Oh gitu. Ya udah, gue sama Valany duluan ya, dahh!!" Wida dan Valany bergandengan tangan dan pergi bersama ke kantin. Sedangkan Affa segera membawa kotak bekal berwarna hijau daun dan satu botol air minum berwarna senada menuju taman belakang. Tadi pagi Affa sangat senang, karena bi Inem--yang sebenarnya belum pernah ia temui itu--telah menyiapkan sarapan beserta bekal untuk Affa.     Tiba di taman belakang sekolah, Affa melangkah menuju pohon yang paling rindang. Makan siang di sana pasti nikmat. Namun belum sempat ia tiba dipohon yang ia tuju. Affa dikagetkan oleh sesuatu yang tiba-tiba jatuh dihadapannya.     "Kyaa!!" Affa menjerit, dengan kedua mata yang menutup rapat.     "Cieh yang kaget liat bidadadara jatuh dari pohon. Eh kok kek lirik lagu, jadi pen nyanyi dah. Ku bidadara jatuh dari pohon~ Wuih, gue baru sadar, bukan cuma ganteng plus jenius doang, ternyata gue juga punya suara emas!!"     Affa membuka matanya, saat mendengar suara narsis yang membuatnya ingin mencekik seseorang. Dan Affa langsung memuji ciptaan Tuhan yang berdiri dihadapannya. Kini ia tahu, siapa yang memiliki kadar narsis yang begitu tinggi itu.     "Eh, tar dulu. Lo itu murid baru ya?"     Affa mengangguk.     "Wah berarti kata si Ghuan bener dong. Dia cerita, kalo kemaren dia ketiban spesies penghuni sekolah baru dergan ciri-ciri boncel, pesek, dan mirip Sun Go Kong, karena suka maen di atas pohon. Yang niban si Ghuan, elo kan?"     Bibir Affa tertekuk kesal. Hancur sudah penilaian baik Affa, untuk pemuda tersebut. "Itu mulut kok lemes banget, kayak ilalang ketiup angin," Affa berujar ketus.     Pemuda dihadapannya sontak tertawa. "Kalo gue ilalang, berarti lo anginnya. Gue gak bisa gerak, selain lo alesannya. Ea ea ea, gila euy bahasa gue!! Anying sakit!!" Pemuda itu memaki saat kepala bagian belakangnya dipukul.     Ia menoleh dan melihat wajah datar Ghuan. Ia tersenyum dan menyapa Ghuan yang setia memasang wajah datarnya, "Hai sob, apa kabar?" Ghuan berancang-ancang untuk menendang tulang kering pemuda itu, tapi sayangnya ia kalah cepat. Sasarannya telah melompat menjauh terlebih dahulu. "Haha santai!! Gue gak bakal buat tikungan tajam, tanpa buat peringatan."     Ghuan dibuat kesal dengan sahabatnya itu, tapi ia segera berbalik menghadap Affa dan bertanya, "Lo gak papa kan? Gak kena air liur dia kan? Hati-hati, soalnya kalo kena, lo bakal terinfeksi semacam virus yang buat lo gak bisa pakek otak lo dengan baik. Alias, lo bisa jadi bego."     "Sekate-kate nih kurap onta.” Pemuda itu menoyor kepala Ghuan kesal. Ia menghadap pada Affa untuk kembali berkata, “Gue ini, cicit dari cicitnya Einstein. Siswa terpinter sesekolahan, lima tahun berturut-turut selalu menempati peringkat pertama sekolah. Gue, Inggar Mangkubumi. Panggil aja Ing, atau sayang juga boleh. Spesial buat lo, apa pun boleh."     Ghuan sukses menendang p****t Ing dengan keras. Ing meradang dan membalas memukul Ghuan. Keduanya terlibat adu mulut dan saling menjambak.     "Kok gue ngerasa ada yang aneh. Kok lo bisa jadi peringkat pertama selama lima tahun? Jangan bilang kalo lo tinggal kelas. Sangsi gue, kalo lo beneran jenius." Affa berkata jujur.     Ghuan menyeringai, saat berhasil memiting leher Ing dengan tangannya. "Otak Ing beneran encer. Saking encernya meleber kemana-mana dan kepalanya sekarang kosong. Ing emang tinggal kelas, karena dianya aja yang minta gak naik kelas. Gila emang. Makanya lo jangan temenan sama dia. Kalo mau temenan mending sama gue. Hari ini temenan, besoknya kita pede kate. Lusa pacaran. Abis lulus, bisa tuh kawin. Nego aja biar cincai."     Sungguh tidak berfaedah Affa mengajak bicara Ghuan atau pun Ing. Dua-duanya memiliki tingkat kemiringan otak yang hampir sama, mungkin karena itulah mereka bisa berteman dekat.     "Woi kawin, kawin!! Dikata cicek kali ah, kawin!! Inget, kita masih anak sekolah, dua SMA~~" Ing terdengar kembali bernyanyi, dan menyulut kemarahan Ghuan. Affa memilih melangkah menuju pohon yang semula ia tuju. Dengan tenang, kini ia telah duduk dibawah rindangnya daun-daun yang memayungi dirinya.     "Sana ah, pergi!!" Ghuan terdengar mengusir Ing.     "Pergi? Pergilah kau, pergi dari hidupku, bawalah semua rasa bersalahmu~~" Ing malah bernyanyi dan menggoyang-goyangkan pinggul kurusnya.     "Sialan emang!!" Ghuan memaki Ing yang kini telah berlari menghindari tendangan maut Ghuan. Tendangan dan pukulan Ghuan rasanya tak main-main. Wajar saja, karena Ghuan memang seorang atlet bela diri yang berprestasi. Ghuan dan Ing adalah dua sahabat dengan kadar prestasi serta kepopuleran yang seimbang. Kemana pun mereka melangkah, perhatian kaum hawa akan tertuju pada mereka.     Namun, tampaknya pesona Ghuan dan Ing sama sekali tak berpengaruh pada Affa. Kini gadis itu tengah membuka kotak bekalnya. Kedua manik matanya membulat, terkejut karena isi kotak bekal yang dipersiapkan bi Inem.     "Jiahh udah gede, tapi bekelnya macem anak TK aja. Ngapa nasi sama telor dibentuk lope-lope begitu? Ahh gue tau nih, lo sebenernya nyiapin ini semua buat gue kan, cieehhh yang udeh terpesona sama gue." Perkataan Ghuan hanya terdengar sepintas, karena Affa kini fokus pada gulungan kertas kecil diantara rebusan brokoli dan wortel. Affa menarik gulungan kertas tersebut dan membukanya.     "Salam kenal sayang.     Semoga makanan buatanku sesuai dengan seleramu.     ❤❤"     "Bukan cuma nyiapin bekel doang, ternyata lo juga nyiapin surat buat gue. Sini, biar gue baca."     "Apaan si!!" sewot Affa, ia segera menyelipkan kertas itu kedalam saku roknya. Lalu menunduk melihat kotak bekalnya yang ternyata sebagian besar isinya telah hilang. Siapa lagi pelakunya, jika bukan Ghuan yang kini lagi-lagi mencuri sosis goreng yang dibentuk seperti gurita.     "Lo napa ngambilin makanan gue? Kagak tau diri banget si," gerutu Affa.     "Gue tau diri kok. Bahkan untuk status aja, gue paham. Untk sekarang, gue masih sekedar calon temen lo. Entah nanti, mungkin berubah status jadi calon pacar, atau bahkan calon suami. Tenang, saat tiba waktunya, gue baka datang ke rumah lo sambil bawa seserahan. Gue keren kan, mana ada cowok diluaran sana yang kayak gue. Udeh ganteng, gentle punya lagi."     "Tapi, lo sarap. Terus, kagak modal jadi cowok. Makan aja minta dari cewek."     "Ngode lagi. Minggu nanti kita jalan oke. Gue ganti makanan lo. Gak ada penolakan, gue balik dulu ke kelas. Dadah calon bini, jangan kangen sama babang Ghuan yang ganteng ya!!"     Affa mencibir Ghuan yang telah berlari menjauh. "Bukan Ghuan ganteng, tapi Ghuan si kue kaleng. Nama kok bisa mirip sama merek kue si. Heran gue." Affa bangkit merapikan rok sekolahnya, sebelum melangkah pergi.     Affa melirik jam dipergelangan tangannya, lima menit lagi bel akan berbunyi namun semua siswa telah masuk ke dalam kelas. Ini yang membuat Affa takjub. Siswa-siswi di SMA Biru memang disiplin waktu. Dan Affa juga berusaha untuk mempercepat langkahnya agar segera tiba di kelasnya, namun Affa yang tak melihat jalan malah menabrak seseorang.     "Aw!!"     "Ah maaf." Affa menunduk dan mengulurkan tangannya pada siswi yang kini terjatuh karena ulahnya.     "Hehe gak papa, aku juga salah kok." Affa tersenyum saat uluran tangannya diterima, ia segera membantu siswi itu untuk berdiri.     "Eh kamu siswi baru ya?"     "Aku Affa, siswi baru di kelas 11 Ipa 6." Affa otomatis merubah kata 'gue' menjadi 'aku' karena orang yang berbicara dengannya juga begitu.     "Oh hai Affa, aku Stella ketua OSIS angkatan kelas sebelas. Salam kenal ya," Stella mengulurkan tangannya kembali untuk menjabat tangan Affa.     Kringgggg     "Udah bel, aku balik ke kelas dulu ya. Dah!!" Affa melambaikan tangannya dan berlari menuju kelasnya. Affa tak menyadari jika sejak tadi gerak-gerik dirinya tengah diawasi oleh sepasang mata yang menatap punggungnya dengan tajam. ***     Affa bersenandung kecil, seirama dengan musik yang tengah mengalun melalui earphone yang ia kenakan. Tapi beberapa kali, Affa harus menghentikan langkahnya karena seseorang terus saja membututinya. Sudah beberapa kali pula Affa mengusir sosok yang mengikutinya itu. Tapi sayangnya, perkataan Affa sama sekali tak berefek. Affa melepas earphone yang ia gunakan dan berbalik menatap Ghuan yang berpose di atas sepedanya.     Jika situasinya tak seperti ini, mungkin Affa sudah menyemburkan tawanya. Bukan apa-apa, Ghuan yang sangat stylish, mengendarai sebuah sepeda onthel antik. Sungguh kontras.     "Batu banget sih! Gue bilang, gak mau dianterin. Lagian sekarang gue udeh sampe di rumah, mending lo pulang deh. Gedeg gue seharian diikutin kue kaleng kayak lo."     "Sorry to say, ya Mbak. Ghuan yang ganteng ini gak ada niatan tuh nganterin situ pulang. Tapi, sebagai calon suami yang baik, gue harus ngawal calon bini gue selamat sampe rumah." Ghuan tampak mengupil dengan santai.     Affa ingin menggigit Ghuan saking kesalnya. Bibir Ghuan memang mengakui Affa sebagai calon istrinya, tapi mana ada seorang suami yang membiarkan istrinya sendiri berjalan dibawah terik matahari, sedangkan dirinya sendiri mengayuh sepeda dengan santainya.     "Bacod," ketus Affa.     "Hehe jan marah~ Btw ini beneran rumah lo?" Ghuan bertanya sembari melihat nomor rumah Affa yang dipahat disamping gerbang rumah. Nomor 23 terlihat begitu jelas di sana. Sekilas tatapan Ghuan berubah aneh.     "Y."     "Serius?"     "Y."     Ghuan menyipitkan matanya, karena Affa menjawab dengan singkat pertanyaan dirinya. "Bolehlah gue mampir, kekeringan nih!!" Ghuan membelai leher bagian depannya, mengisyaratkan bahwa dirinya tengah kehausan.     "Gak. Mending sana balik, gue mau masuk." Affa masuk ke dalam halaman rumahnya. Meninggalkan, Ghuan yang masih berpose diatas sepeda onthel. Sebenarnya sepeda onthel tersebut bukan milik Ghuan, melainkan milik satpam sekolah yang ia pinjam.     "Tidur yang nyenyak ya, jangan mikirin hari Minggu mulu. Hari Minggu gak kemana-mana kok, yang ada kita yang kemana-mana. Inget hari Minggu, kita jalan ya!!! Nanti gue telepon!!" Brak!!     Affa membanting pintu utama rumah dan tak membalas teriakan Ghuan. Mencoba tak peduli dengan makhluk absurd tersebut dan memilih menuju dapur untuk makan. Masakan bi Inem telah tersaji diatas meja makan. Tentu saja, semua masakan bi Inem tak pernah membuat lidah dan hati Affa kecewa. Setelah makan, Affa mencuci piring serta kotak bekal yang tadi ia bawa ke sekolah. Beres, Affa segera naik ke lantai dua. Affa berniat untuk segera tidur setelah mandi dan mengerjakan tugas rumah yang diberikan oleh Dhan.     Jam 21.35 Affa menyelesaikan tugasnya. Ia segera membanting tubuh lelahnya keatas ranjang. Namun setelah satu jam lebih berbaring diatas ranjangnya, tapi matanya tetap terbuka dan menatap lurus pada langit-langit kamar.     Affa memutuskan menelepon Guntur. Sayangnya, setelah menelepon dan berbicara banyak hal dengan kakaknya itu. Affa harus rela membiarkan kakaknya kembali bekerja, dan ia harus kembali menatap langit-langit kamar dengan bosan. Ia melirik jam di atas nakas, sudah jam 23.23.     Jika Affa tak segera tidur, ia pasti akan terlambat sekolah dan menjadi babu satu hari untuk guru piket. Affa mendesah panjang, namun sedetik kemudian Affa menjerit karena lampu kamarnya tiba-tiba mati. Tubuh Affa menegang, dengan d**a yang tiba-tiba terasa sesak, seakan-akan tengah dihimpit beban tak kasat mata.     Nyctophobia, atau fobia gelap telah diderita Affa sejak usia enam tahun. Penyebabnya tak lain trauma masa lalu, dimana Affa dulu sempat terkunci di gudang gelap seharian tanpa makan dan minum.     Tangan Affa gemetar. Tenggorokannya terasa tercekik. Paru-parunya terasa perih karena pasukan oksigen telah menipis. Affa bisa merasakan darah surut dari wajahnya. Ia yakin, jika kini wajahnya telah membiru. Air mata menetes deras dari kedua matanya. Affa terisak hebat.        Sebuah pemikiran terbesit di kepala Affa. Mungkin saja, besok media online dan media massa lainnya, akan dihebohkan dengan sebuah artikel yang berjudul, "Seorang Perawan Mati Kehabisan Napas Saat Mati Lampu di Kamarnya, Azab Karena Sering Kentut Berbau Busuk." Jika saja Affa tidak tengah berada dalam situasi yang terhimpit seperti ini, Affa pasti tertawa karena judul artikel itu hampir mirip seperti judul sebuah sinema azab yang kini memang tengah booming.     Tapi untungnya, pemikiran Affa tak menjadi kenyataan karena lampu kamarnya kembali hidup. Namun getaran disekujur tubuhnya sama sekali tak membaik, Affa mencoba duduk dan meminum air putih yang selalu ia siapkan di nakas. Sempat terpikir untuk menghubungi Guntur lagi, tapi Affa tak mau membuat kakaknya khawatir. Jadi, Affa memilih kembali berbaring dan menyelimuti dirinya sendiri. Isak tangis Affa masih tersisa sedikit, namun tak terasa kantuk yang sedari tadi Affa tunggu akhirnya datang. Dan Affa segera terlelap dengan nyenyak. Dengkur halus khas milik Affa terdengar memenuhi kamar tersebut.     Wajah Affa terlihat damai, walaupun masih pucat dan basah karena efek tangisnya tadi. Sosok misterius yang selama ini selalu mengamati Affa, keluar dari persembunyiannya. Ia naik ke atas ranjang. Kedua tangannya ia gunakan untuk menumpu tubuh bersarnya agar tak menindih Affa yang mungil. Sosoknya yang tinggi besar, mampu menutupi tubuh Affa dengan sempurna. Tangannya yang kekar terangkat dan meraba relief wajah Affa. Berlama-lama bermain-main di pipi Affa yang bulat dan halus.     "Maaf, jika aku membuatmu ketakutan. Itu adalah hukuman, karena kau membiarkan bocah sialan itu mengetahui rumah kita sayang. Sekarang tidurlah, karena pertemuan kita tinggal menghitung waktu."     Lalu sebuah kecupan tepat di bibir Affa, membuat Affa mengerang dengan suara teredam. Gadis itu sempat terusik karena tidurnya terganggu, namun sosok itu segera mengusap perut Affa dengan lembut membuat Affa kembali terlelap nyenyak. Apalagi ditambah pelukan hangat dari sosok tersebut. Affa tersenyum saat dirinya memasuki dunia mimpi yang indah, tak menyadari bahwa dirinya kini tengah dalam bahaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD