Nyamuk yang Berevolusi

2044 Words
    Libur telah usai, kini Affa telah kembali masuk sekolah. Namun tampaknya, seluruh siswa-siswi SMA Biru tengah mendapat durian runtuh. Mengapa? Karena, sejak tadi pagi seluruh guru tengah mengadakan rapat dan hanya memberikan tugas.     Affa sendiri baru menyelesaikan tugasnya dan kini tengah berbincang riang dengan Wida dan Valany. Mereka tengah membicarakan dua makhluk absurd yang sayangnya memiliki wajah dan kepribadian yang sangat menawan, siapa lagi jika bukan Ghuan dan Ing.     Namun perbincangan mereka harus terhenti karena Anggi—ketua kelas—telah berteriak memerintahkan semua orang untuk mengumpulkan tugas. Setelah semua mengumpukan buku tugas di meja guru, Anggi segera membereskannya dan mengangkatnya menuju ruang guru. Saat akan ke luar, Anggi berpapasan dengan Stella, sang ketua OSIS di depan pintu kelasnya.     “Hai Anggi, temen kamu yang namanya Affa ada?” tanya Stella.     “Cek aja sendiri,” ketus Anggi sebelum melangkah pergi. Stella hanya menelengkan kepalanya bingung dan memilih melangkah masuk ke dalam kelas.     Seketika, semua orang menghentikan aktifitas mereka menganggap bahwa Stella datang membawa kabar penting untuk mereka. Namun Stella segera melambaikan tangannya. “Hehe, aku datang buat ketemu sama Affa kok. Jadi kalian santai aja, silakan lanjutkan kegiatan kalian.”     Setelah Stella menyelesaikan perkataannya, semua orang kembali sibuk dengan kegiatan mereka. Sedangkan Stella segera melangkah menuju Affa yang duduk dibarisan ketiga dari belakang.     “Kenapa nyari gue?” tanya Affa.     “Kamu harus ngisi formulir ekstrakulikuler. Ini formulirnya, kamu harus isi hari ini juga, aku tungguin,” jawab Affa.     “Oh ekskul. Wajib ikut?”     “Anak kelas 11 masih wajib ikut kegiatan ekstra. Jadi kamu harus jadi salah satu anggota klub,” jelas Stella.     “Oh gitu. Oke deh, aku isi.”     Affa menerima formulir tersebut dan mengisinya. Stella yang tadinya hanya berdiri dan mengamati, kini duduk di kursi di samping meja Affa. Karena penghuninya yang ternyata adalah seorang siswa, dengan ramahnya mempersilakan Stella duduk di bangkunya.     Semua siswa di kelas tersebut mulai gaduh dan berbisik-bisik sembari mencuri pandang pada Stella. Sosok siswi seperti Stella memang mejadi incaran hampir seluruh siswa di SMA Biru. Selain berprestasi dan menjabat sebagai seorang ketua OSIS, Stella juga memiliki bodi dan wajah yang sangat cantik. Jangan lupakan latar belakang yang mendukung, menjadi nilai plus bagi Stella. Stella sudah terbiasa mendapatkan perhatian seperti ini, jadi ia sangat santai dan memilih memperhatikan Affa yang serius mengisi formulirnya.     “Nih, udah aku isi.” Affa menyerahkan formulirnya kepada Stella. Stella sendiri menerimanya dengan senyum ramahnya. Stella membaca formulir Affa untuk mengecek bila ada kesalahan pengisian ataupun kekurangan lainnya. Namun bukannya menemukan kekurangan, Stella malah menemukan sesuatu yang mengejutkan. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Affa dengan mata membulat, “Kamu, tinggal di rumah nomor 23?”     Affa mengangguk. “Iya, nomor 23 di jalan Pelita,” jawab Affa santai tak memperhatikan reaksi orang-orang yang mendengarnya. Kelas seketika hening dan membuat Affa mengerutkan keningnya, ia mengedarkan pandangannya.     “Kalian kenapa?” tanya Affa saat semua orang kecuali Stella, tampak segera menjaga jarak darinya. Namun, Affa tak mendapatkan jawaban apa pun. Ia malah melihat tatapan sinis dan jijik dari teman-temannya.     “Tes, tes. Anak-anak semuanya, kembali ke kelas masing-masing. Jam belajar akan kembali normal, dan guru-guru akan masuk kelas. Saya ulangi, semua siswa-siswi diharapkan untuk kembali ke kelas masing-masing. Terima kasih.”     Mendengar pengumuman tersebut, Stella segera berdiri. “Em Affa, aku harus harus balik ke kelas sekarang juga. Jika benar kamu penhui baru rumah nomor 23 itu, aku harap kamu bisa lebih sabar ke depannya. Sampai jumpa lagi, aku yakin kita pasti akan sering bertemu.”     Affa dibuat bingung dengan perkataan Stella. Sayangya, saat Affa akan bertanya, Stella telah menghilang di ambang pintu. Dan digantikan oleh Anggi serta Dhan yang masuk ke dalam kelas. Dhan memulai kegiatan belajar, untuk kali ini ia menggunakan metode belajar berkelompok. Dhan segera membagi kelompok dengan adil. Tapi, keputusan Dhan kali ini tak diterima baik oleh beberapa muridnya yang menolaknya. Murid-muridnya itu tak lain adalah siswa-siswi yang satu kelompok dengan Affa.     Affa sendiri tak mengerti, mengapa dirinya diperlakukan seperti ini oleh teman-temannya. Affa merasakan dengan jelas perubahan sikap semua temannya, tanpa terkecuali. Dan itu juga dirasakan oleh Dhan, sebagai wali kelas yang memang harus mengenal dengan jelas setiap karakter anak didiknya.     “Ingat ya, kelompok ini berlaku hingga akhir semester nanti. Kalian harus bekerja sama dengan baik, karena itu akan mempengaruhi nilai kalian. Sekarang buka buku tugas kalian, halaman 123!!” perintah Dhan.     Dan hari ini berakhir sangat buruk untuk Affa. Bahkan kehadiran Ghuan saat makan siang, tak bisa merubah suasana hatinya. Suasana hati Affa terus memburuk hingga tiba wakttunya pulang sekolah.     Seperti biasa, Affa pulang sendiri dengan berjalan kaki. Namun, kini ia sembari bertelepon ria dengan kakaknya. Jangan heran, ponsel affa memang kembali hidup pagi ini, dan bisa dipergunakan seperti biasanya.     “Iya, pokoknya gitu ceritanya. Affa bete. Emang Affa buat salah apa? Kok mereka pada gitu sih?” Affa menendang sebuah kerikil di dekat kakinya.     “Udah sabar aja, kalo kamu ngerasa gak buat salah gak usah takut atau sedih. Pasti nanti kamu nemu temen yang bisa terus di sisi kamu, dimasa susah ataupun senang, hoam.”     Affa mencebik saat mendengar suara Guntur yang menguap, memang salah dirinya, menghubungi Gutur saat ini. Waktu di sana pasti masih tengah malam menuju pagi buta. Jadi, Affa memutuskan untuk mengakhiri sambungan telepon, setelah lebih dahulu mengucapkan beberapa patah kata.     Kini Affa tiba di depan gerbang rumahnya. Ia berbalik, dan menemukan Ghuan yang memang sejak tadi telah ia ketahui mengikutinya menggunakan sepeda onthel yang pernah Ghuan gunakan untuk mengikuti dirinya dulu.     “Udah sampe. Gue pulang dulu ya,” ucap Ghuan.     “Makasih,” gumam Affa. Ghuan yang mendengarnya segera menyetandarkan sepedanya dan berdiri menjulang di hadapan Affa. Untuk oertama kalinya ia tersenyum hangat pada Affa.     “Gue harusnya bilang maaf sama lo. Lo pasti gak mau gue tau masalah lo kan? Tapi, tenang. Gue gak bakal ikut campur kalo lo gak minta bantuan sama gue. Sekarang, lo masuk. Tenang, gue selalu ada buat lo.” Ghuan mengusap puncak kepala Affa dan berbalik pergi dengan sepeda onthelnya. ***     Suasana hati Affa yang buruk, membuat gadis itu mengigau dalam tidurnya dan terbangun saat baru tidur tiga jam, tepatnya pada pukul 23.00 Affa bangun dan turun menuju dapur untuk mengambil minum. Ia juga mengecek ponselnya yang tampaknya telah mendapatkan banyak pesan baru.     Affa menuangkan air putih ke dalam gelas, ia mengangkat gelas sembari matanya bergerak membaca pesan dari Ghuan. Namun, saat dirinya akan meminum air dari gelas di tangannya, lampu tiba-tiba kembali mati. Gelas segera meluncur dari tangannya dan jatuh menghantam lantai, menimbulkan suara yang nyaring.     Affa meluruh mengikuti gelas kaca tersebut. Ia terduduk di lantai, dengan napas tersengal-sengal dan keringat yang membanjir. Ia berusaha menghidupkan ponselnya, namun sialnya ponsel Affa kembali tak berfungsi. Affa mulai menangisi nasib dirinnya? Mengapa hari ini begitu sial baginya? Tadi ia dijauhi tanpa alasan di sekolah, dan kini ia harus mengalami kesialan lagi karena fobia gelap dan serangan paniknya kembali.     Tangan Affa mulai terasa dingin dan bergetar. Paru-paru Affa juga telah terasa perih, di susul kepala yang mulai pening. Kegelapan yang melingkupi Affa, benar-benar menyiksa dirinya. Dengan sengaja menjatuhkan telapak tangannya ke atas lantai, mencoba meraba-raba, namun sayangnya telapak tangan Affa malah terluka karena pecahan gelas kaca.     Tak     Tak     Tak     Bulu kuduk Affa meremang saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat padanya. Ia dengan jelas bisa merasakan kehadiran sosok lain. Affa mematung saat merasakan dua buah telapak tangan lebar nan dingin menangkup pipinya. Napas Affa tercekat. Apa ia tengah bermimpi? Atau ini benar-benar terjadi?     Getaran di sekujur tubuh Affa makin kuat saja. Sosok yang menangkup wajahnya kini terkekeh pelan. "Jangan takut sayang. Anggaplah ini mimpi buruk. Ya, hanya mimpi buruk." Lalu Affa tiba-tiba merasa ngantuk setelah mencium bau aneh yang masuk ke dalam rongga penciuman dirinya. Tubuh Affa oleng, dan jatuh kedalam pelukan sosok misterius tersebut.     Masih dalam keadaan gelap. Affa diangkat ke dalam gendongan sosok tinggi besar tersebut. Sosok itu kemudian melangkah menuju kamar Affa di lantai dua. Ternyata, semua lampu di rumah Affa mati total. Hanya ada sinar lampu jalan yang masuk melalui celah-celah gorden, menyinari kamar Affa yang dilingkupi kegelapan.     Kini Affa dibaringkan di atas ranjang. Tubuh Affa lagi-lagi setengah ditindih. Karena bantuan cahaya lampu jalanan, kini sebagian wajah sosok itu dapat di teliti. Namun memangnya siapa yang meneliti dirinya?     Sosok itu menunduk, mengembuskan napasnya tepat di depan wajah Affa. Ia menyeringai, lalu berbisik. "Sayang, aku telah beberapa kali memberikan peringatan untukmu, tapi sepertinya kau harus dihukum terlebih dahulu agar mengerti. Terimalah hukuman dariku sayang." Sosok itu kemudian melarikan wajahnya menuju ceruk leher Affa. Ia mulai mengukir tanda-tanda di sana, sedangkan Affa hanya bisa bergumam dalam tidurnya. ***     Matahari telah kembali bersinar. Affa terbangun saat kedua matanya terasa silau bukan main. Ia bangkit dari rebahannya dan duduk dengan keadaan kacau. Rambutnya mengembang dan acak-acakan.     Kaos oblong yang ia kenakan juga tampak tak berada di posisi yang tepat. Bagian tangannya turun dan memperlihatkan bahu Affa. Bagian bawahnya juga tersingkap memperlihatkan perut rata Affa. Gadis itu menunduk untuk merapikan pakaiannya.     Namun, Affa malah dikagetkan oleh ruam-ruam merah di sepanjang perutnya. Affa meloncat dari ranjang dan berlari menuju kamar mandi, ia becermin dan matanya sukses melotot. Ruam merah tersebut tak hanya ada diperutnya, melainkan ada pula di sepanjang bahunya. Affa dengan tidak sabar melepas kaosnya dan menyisakan bra yang ia kenakan. Ia menjerit saat matanya melihat bagian atas tubuhnya dipenuhi oleh ruam-ruam merah dan kebiruan. Affa berlari dan meraih ponselnya, yang untungnya telah kembali berfungsi lagi. Ia mencoba menghubungi Guntur.     "Halo Dek, ada apa?" Suara Guntur terdengar parau. Apa Guntur baru saja akan tidur?     "Kakak hiks," rengek Affa di atas ranjang. Guntur yang memang tengah memejamkan matanya segera bangkit dengan mata melotot. Guntur seketika mengingat pesan Affa kemarin, mengenai lampu rumah yang tiba-tiba mati. Apa kini serangan panik Affa kembali?     "Dek, kenapa? Apa lampu mati lagi? Tenang, ayo tarik napas, buang. Tarik napas, buang!!" Guntur sepertinya lupa, perbedaan waktu anatara belahan dunia. Affa yang mendengarnya malah dibuat kesal. Ia mengepalkan tangannya dan memukul-mukul bantal diatas pangkuannya. Ia meringis saat merasakan sengatan perih di telapak tangannya itu, kening Affa berkerut ketika melihat goresan tipis di tangannya. Sejak kapan ia mendapatkan luka ini?     Tapi Affa menggelengkan kepalanya tak mau memikirkannya lebih panjang, Affa kini kembali fokus pada niat awalnya menelepon Guntur. "Kakak, pokoknya besok kakak harus hubungin perusahaan pengusir serangga. Hiks."     Guntur mengerutkan keningnya. "Untuk apa? Rumah kita kan terbuat dari kayu yang anti rayap dan serangga lainnya. Kecuali, nyamuk. Nyamuk emang masih bisa masuk ke rumah."     "Tuh kan, berarti bener. Affa digigit nyamuk. Huhaaaa badan Affa di gigit nyamuk." Affa menangis begitu kerasnya. Wajahnya yang mungil tampak merah serta basah karena tangisnya.     Guntur harus menjauhkan ponselnya dari telinga, karena jeritan Affa yang hampir memecahkan gendang telinganya. "Elah De. Dulu aja kita sering di gigit nyamuk pas maen ke kebon teh, kamu gak serewel ini."     Affa kembali dibuat kesal oleh Guntur. Mengapa kakaknya itu tak paham dengan kondisi Affa?     "Kak Guntur gak ngerti sih!!! Ini nyamuk udah berevolusi. Mereka gigit sampe tembus baju Kak!! Terus, bekas gigitannya enggak gatel apalagi sakit, gak bentol juga. Cuma nyisain bekas warna merah ampir biru!! Ah apa ini nyamuk setengah vampir? Kyaaaaa gimana, gimana kalo nanti Affa tiba-tiba berubah menjadi vampir? Terus ketemu sama raja vampir yang keren, tapi ternyata Affa juga seorang mate dari Alpa werewolf? Kyaa, Affa belom siap diperebutkan oleh makhluk astral yang ganteng!!!"     Guntur mencibir pemikiran adiknya yang sangat absurd. Ah sia-sia sudah kekhawatiran dirinya. Berbeda dengan Guntur yang kini memutuskan untuk tidur walau ponselnya masih menempel di telinga dengan Affa yang mengoceh lewat sambungan, sosok misterius yang merupakan penyebab dari semua ruam di tubuh Affa kini menyeringai hampir terkekeh senang dengan reaksi Affa yang di luar perkiraan dirinya. Ah Affa sangat menggemaskan, sangat polos. Apa ia baru pertama kali melihat bekas kissmark? Berarti sosok itu adalah orang pertama yang menyentuh Affa.     "Kau benar-benar manis sayang."     Bulu kuduk Affa meremang saat mendengar bisikan yang sangat pelan tersebut. Kepalanya segera tertoleh ke sana ke mari. Namun, ia tetap tak kembali mendengar suara bisikan tersebut.     "Kak, kayaknya Affa beneran di gigit nyamuk yang berevolusi. Buktinya, tadi Affa denger suara orang yang lagi ngegombalin!! Aaa Affa jadi vampir!!"     Sosok misterius itu segera membekap mulutnya sendiri, menahan tawanya yang siap memyembur kapan pun. Sosok itu menyeringai, ah harusnya tadi malam ia benar-benar menggigit Affa. Dia penasaran, bagaimana reaksi Affa saat melihat bekas gigitan yang begitu nyata. Ck, vampir katanya. Oh sangat menggelikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD