bc

Memory in My Heart

book_age12+
92
FOLLOW
1K
READ
goodgirl
student
drama
bxg
city
cheating
friendship
friends
naive
like
intro-logo
Blurb

Bella yang ketakutan karena tiba-tiba teringat masa lalunya yang membuatnya trauma tak sengaja menyebabkan seorang lelaki bernama Rama mendapatkan kecelakaan. Karena merasa bersalah, ia pun bersikeras untuk memberikan tanggung jawab. Namun hal itu malah membuat mereka menjadi dekat. Rama yang saat itu tengah bangkit dari rasa sedihnya karena kehilangan mantan kekasihnya yang sangat ia cintai untuk selamanya, merasa Bella dapat menyembuhkan hatinya. Tapi tak ada yang bisa diperbuatnya karena Bella sudah memiliki kekasih. Rama pun memutuskan untuk pergi dari hidup Bella dan melupakan perasaannya kepada Bella. Namun takdir malah mempertemukan mereka lagi, membuat Rama yang tadinya memutuskan menyerah dengan perasaannya kembali berusaha untuk mendapatkan hati Bella. Bella dan Rama kembali dekat hingga membuat Ari, kekasih Bella, menjadi cemburu dan terus-terusan memulai perkelahian. Di lain sisi, Cinta yang merupakan sahabat Bella dan Ari turut serta untuk membuat hubungan Bella dan Ari berakhir karena ia sudah lama memendam perasaan kepada Ari.

chap-preview
Free preview
Senyuman Itu
Andai waktu bisa diulang, aku berharap kita dipertemukan duluan, sebelum aku bertemu dengannya dan kau bertemu kekasihmu. Agar kita tidak merasakan sakit, agar kita berdua bisa bahagia. Tapi memang bukan cinta namanya, jika tak ada sakit yang menyelinap. Di waktu yang sudah terlambat ini, apakah kita bisa memulai cerita indah kita? *** Hujan lebat disertai angin kencang dan suara petir membangunkan Bella dari tidurnya. Kerongkongannya terasa kering. Dengan terpaksa ia membuka matanya, dan perlahan bangkit dari tidurnya. Ia berjalan perlahan sambil meraba dinding, mencari saklar lampu agar ia dapat melihat lebih jelas. Namun saat ia menekan saklar, lampu kamarnya tidak hidup. "Huh, mati lampu." Kali ini Bella meraba meja di kamarnya untuk mencari handphone nya. Tak lama kemudian ia pun berhasil menemukannya. Bella menggunakan senter di handphone nya untuk menjadi penerang perjalanannya menuju dapur. Ia ingin minum segelas air sebelum kembali tidur lagi. Tapi di tengah perjalanannya ke dapur, sayup-sayup ia mendengar kegaduhan. Bella yang penasaran mengurungkan niatnya ke dapur dan memutuskan mencari sumber suara itu. Ia yakin suara itu berasal dari ruang tamu. Bella berjalan perlahan, berusaha agar langkah kakinya tak terdengar. Walaupun penasaran, sebenarnya ia cukup takut. Jantungnya berdebar kencang. Disorotinya ruang tamu dengan senter HP-nya, dan mendapati dua orang pria dengan wajah yang ditutup topeng hitam. Bella yang kaget segera berlari meninggalkan ruang tamunya. Kedua pria itu sadar akan adanya orang yang sudah mengetahui aksi perampokan mereka. Mereka pun segera mengejar Bella. Bella tak tahu harus berbuat apa. Ia terus berlari dan sampai di depan kamar orang tuanya. Karena terdesak, ia menggedor pintu kamar itu sekuat tenaga. "Pa... Ma.... Toloooong...." teriak Bella panik. Pintu kamar orang tua Bella masih tak kunjung terbuka. Sementara kedua perampok itu berhasil mengejar Bella. Salah satu perampok itu meraih bahu kanan Bella dan mendorong Bella hingga ia terjatuh. "Aaaw..." Bella merintih kesakitan. "Jangan macam-macam kamu!" bentak perampok itu. "Toloooong...." Bella kembali berteriak karena ia merasa sangat ketakutan. Perampok yang kesal dengan ulah Bella meraih tubuh Bella dan membekap mulutnya. Bella meronta-ronta agar ia bisa lepas dari perampok itu. Ia masih berusaha berteriak walaupun mulutnya sudah dibekap. Sementara itu pintu kamar orang tua Bella akhirnya terbuka. Papa Bella muncul dari balik pintu itu. Saat melihat anaknya dibekap perampok, ia langsung menyerang perampok itu. Namun segera dihalangi oleh perampok yang satu lagi. Keduanya pun terlibat perkelahian. Si perampok nampak tersudut dari serangan Papa Bella, dan mengeluarkan pisau. Ia langsung menusukkan pisau itu ke d**a Papa Bella. Sinar kilat yang masuk dari jendela membuat Bella dapat melihat dengan jelas Papanya yang jatuh tersungkur bersimbah darah. Sementara perampok yang membekap Bella melonggarkan bekapannya karena kaget dengan apa yang dilakukan rekannya. "Papa, ada apa kok ribut-ribut?" Mama Bella yang baru terbangun segera keluar dari kamarnya. Ia kaget dengan apa yang didapatinya di luar. Sementara Bella berteriak memanggil papanya. "Cabut!" komando perampok yang tadi membekap Bella. Ia dan rekannya segera meninggalkan Bella dan kedua orang tuanya. Sementara Bella dan Mamanya segera mendekati Papa Bella. Bella menangis sambil memeluk papanya dan memanggil-manggilnya agar segera tersadar. *** Bella mempercepat langkahnya saat terjadi kegaduhan di jalan. Seorang ibu-ibu yang baru saja kejambretan berteriak minta tolong, setelah ditodongkan s*****a tajam, dan terpaksa menyerahkan tasnya begitu saja. Kejadian itu membuat Bella teringat masa lalunya yang kelam, ia panik dan ketakutan. Kakinya lemas dan keringat dingin keluar dari tubuhnya. Rasanya ia tak sanggup menggerakkan tubuhnya, tapi ia juga merasa harus cepat-cepat meninggalkan tempat itu. Ia tak memperhatikan langkah yang diambilnya, ia berjalan tak tentu arah tanpa ia sadari ia semakin mendekati tepi trotoar. Matanya yang tak melihat jalan dengan benar membuat kakinya gagal mendarat di jalan. Bella terjatuh ke aspal, dan hampir saja tertabrak sepeda motor yang ada di belakangnya. Tapi situasi malah semakin buruk. Sang pengendara sepeda motor yang berusaha menghindari Bella tertabrak mobil yang ada di belakangnya karena ia tiba-tiba berbelok. "Tidak!" Pekik Bella dalam hati. Kepanikannya makin menjadi. Sementara itu warga sekitar datang mendekatinya yang masih terduduk di tepi jalan raya dan membantu Bella berdiri serta mengevakuasinya ke trotoar. "Mba gak kenapa-napa? Ada yang luka? Mau diantar ke rumah sakit?" Tanya salah seorang warga. Bella tak segera menjawab pertanyaan tersebut, karena khawatir dengan keadaan si pengendara motor tadi. Kalau saja bukan karena Bella, laki-laki itu pasti tidak akan kecelakaan seperti ini. Bella merasa sangat bersalah. Ia beranjak pergi ke kerumunan yang hendak menolong laki-laki malang itu. Bella merasa bertanggung jawab dan ingin membantu laki-laki itu juga. "Mba mau kemana? Hati-hati nanti jatuh lagi," warga tadi memperingatinya. Namun Bella tak mengacuhkan. Ia terus mendekati kerumunan walaupun harus berjalan terpincang-pincang hingga ia bisa melihat laki-laki itu. Nampak laki-laki berambut panjang sebahu itu masih setengah sadar. Kepalanya berdarah dan tubuhnya terkulai lemas. Ia meringis kesakitan dengan lemah. Pengendara mobil yang menabraknya tadi mengomandokan orang-orang agar membawa masuk laki-laki itu ke mobilnya agar ia bisa membawa laki-laki itu ke rumah sakit. Tepat sesaat sebelum laki-laki itu digotong masuk ke mobil, mata Bella dan laki-laki itu beradu. Laki-laki itu tiba-tiba tersenyum, sampai akhirnya Bella tak melihat sosoknya lagi karena sudah dibawa pergi ke rumah sakit. "Bella!" Seseorang memanggil Bella dengan khawatir. Bella menoleh dan menemukan Ari sedang bergegas mendekatinya. Kekasihnya itu segera menggenggam tangan Bella dan menariknya menjauh dari kerumunan. "Kamu ngapain disana?" Tanya Ari khawatir. "Tadi... Tadi aku jatuh Ri. Laki-laki itu ketabrak gara-gara aku," Bella menjelaskan dengan panik. "Maksud kamu? Kenapa gara-gara kamu?" Ari meminta penjelasan lebih lengkap. "Laki-laki itu... menghindar biar dia nggak nabrak aku. Tapi... malah dia yang jadinya kena tabrak," Bella menjelaskan dengan suara bergetar. "Udah... Udah... Kamu tenang dulu ya," Ari memeluk Bella sambil mengelus-elus punggung Bella. "Ari, ayo kita ke rumah sakit, susul laki-laki tadi," pinta Bella. "Oke. Kita ke rumah sakit ya. Sekalian kamu juga periksa ya. Kamu bilang tadi kamu jatuh. Takutnya kenapa-napa." Bella mengangguk. Mereka berdua pun bergegas menuju mobil Ari. Disana supir pribadi Ari sudah menunggu dengan setia. "Kita ke rumah sakit ya Pak," perintah Ari. "Baik Mas," sang supir segera menghidupkan mesin mobil dan mobil pun melaju menuju rumah sakit. Di bangku penumpang, Bella dan Ari duduk berdampingan. Bella terus menggenggam tangan Ari dengan kuat karena cemas. "Kalau dia sampai kenapa-kenapa gimana Ri?" tanya Bella khawatir. "Bella, kamu harus tenang. Tadi dia masih sadar kok. Semoga kondisinya baik-baik aja," ucap Ari sambil merangkul Bella dan menyandarkan kepala Bella di dadanya, berharap kepanikan Bella memudar. Setelah lima belas menit berlalu, akhirnya mereka tiba di rumah sakit. Bella ingin segera menyusul laki-laki pengendara motor itu yang di bawa ke IGD, namun Ari menahannya. "Kamu juga harus diperiksa Bel," ucap Ari. "Aku nggak kenapa-napa Ri. Aku harus pastiin keadaan laki-laki itu," Bella berusaha melepaskan diri dari Ari. "Sebentar aja Bel, sambil nunggu dokter nanganin dia, kita periksa kamu dulu. Nanti kalau udah selesai kita bisa lihat kondisi dia." Bella ingin berontak lagi. Tapi ia tahu betul Ari. Ari tidak akan berhenti memaksakan kehendaknya, apalagi itu berkaitan dengan kebaikan Bella. Bella pun terpaksa menurut. Toh ia pun tidak bisa langsung mengetahui keadaan laki-laki pengendara motor itu secara langsung. Ia harus menunggu dokter selesai menangani laki-laki itu. Bella mengangguk dan segera mengikuti Ari. "Ari, aku boleh minta tolong?" Tanya Bella di tengah perjalanan mereka menuju ruang pemeriksaan. Ari menoleh Bella, "minta tolong apa?" "Kamu bisa tolong bantu urus administrasi untuk laki-laki tadi? Aku bisa ketemu dokter sendirian. Nanti aku bakal ganti biayanya. Please..." "Tapi Bel..." Ari tampak keberatan harus meninggalkan Bella sendirian. "Ari, please aku mohon. Aku gak mau dianggap kabur dari kekacauan yang aku buat." Ari menghentikan langkahnya. Bella pun ikut berhenti berjalan. "Oke. Aku bakal urus administrasinya, dan langsung susul kamu ya kalau udah selesai. Kamu hati-hati." Bella menggangguk. Mereka berdua pun segera bergegas pergi ke tempat yang hendak mereka tuju. "Syukurlah Ari mau ngerti," ucap Bella dalam hati. Ia pun segera melanjutkan langkahnya ke ruang pemeriksaan. Tapi tiba-tiba ia merasa sakit kepalanya kembali. Tangannya segera meraih dinding untuk menyandarkan diri. Kembali ia berusaha berjalan tertatih-tatih, hingga tubuhnya tak kuat lagi dan pandangannya menjadi gelap. *** Bau rumah sakit. Rama perlahan tersadar dan membuka matanya. Ia mendapati dirinya ada di sebuah ruangan putih dengan dirinya ada di atas ranjang. Ia ingin segera bangun dan pergi dari sana, tapi tubuhnya masih terasa lemas. Ia pun hanya bisa tergeletak tak berdaya di atas kasur, menunggu siapa saja datang. Ia meraba kepalanya yang dibalut perban. Kesalahan terbesarnya tidak menggunakan helm sehingga membuat kepalanya menjadi korban saat kecelakaan. Ia juga merasakan sakit di tangan kirinya. Ia yakin tangannya patah. Gips yang menyangga tangannya secara tak langsung menjelaskan hal itu. Tak lama berselang pintu kamar mandi di kamar itu terbuka, dan ia mendapati sahabatnya yang hobi mengenakan outfit khas Korea keluar dari sana. Wajah sahabatnya sumringah mengetahui Rama sudah siuman. "Ton, lama banget lo di kamar mandi. Boker ya?" protes Rama kepada Toni. "Wah... Wah... Wah... Baru sadar udah ngomel aja nih bocah," ujar Toni keki. Ia segera duduk di samping ranjang Rama dan balik mengomeli Rama. "Lo ngapain sampai kecelakaan gini? Nggak pakai helm lagi. Lo sengaja kan biar bisa mati cepat? Untung aja kepala Lo nggak kebentur keras, cuma kena batu yang ada di jalan." Rama mendengus, "apaan sih? Lo selalu aja nuduh gue mau sengaja mati." "Kan memang udah sering Ram!" Toni keuhkeuh dengan pendapatnya. "Semenjak kepergian Citra, lo selalu ngebahayain diri lo kan biar lo bisa mati dan nyusul Citra? Dari awal kepergian Citra lo udah kayak orang gila tau nggak?" Toni masih melanjutkan omelannya dengan tak sabar. Ia pun langsung dihadiahkan tatapan tak senang dari Rama. "Gue udah nggak kayak dulu Ton. Tadi itu memang murni kecelakaan. Gue lupa pakai helm karena buru-buru mau ke tempat kerja. Gue hampir telat," jelas Rama. "Gimana dah nasib kerjaan gue ntar. Duh," Rama bergumam sendiri. "Ya ampun ngapain mikirin yang lain? Lo pikirin aja kesembuhan diri lo dulu," Toni geleng-geleng kepala, tak habis pikir dengan sahabatnya itu. Rama menghela napas dengan berat, "gimana gue nggak mikirin kerjaan? Nanti bayar rumah sakit gimana kalau gue tiba-tiba digantiin sama orang lain di tempat kerja? Lo tau kan bos gue nggak punya hati." "Lo tenang aja, biaya rumah sakit lo udah di tanggung sama orang yang nabrak lo dan orang yang hampir lo tabrak." Penjelasan Toni membuat Rama sedikit kaget, "orang yang hampir gue tabrak? Kok bisa-bisanya dia bayarin biaya rumah sakit gue?" Rama berusaha mengingat kejadian saat ia kecelakaan tadi. Ia ingat kalau ia sempat melihat wajah dari orang yang hampir ia tabrak itu. Seorang gadis berwajah cantik dan lugu, mempunyai pesona yang sangat menawan. Tapi hal yang paling penting adalah ia tadi seperti melihat sosok Citra di samping gadis itu, seolah ingin membawa Rama pergi bersamanya. Citra, gadis yang paling Rama cintai. Ia telah mengubah hidup Rama yang kelabu menjadi indah dan berwarna-warni. Kehilangan Citra di dalam hidupnya benar-benar membuatnya sangat terpukul. Ia seolah kehilangan alasannya untuk hidup, karena dahulu hidupnya adalah Citra seorang. "Ya kata cowoknya sih dia merasa bersalah karena gara-gara dia lo jadi ketabrak mobil. Dia bahkan minta tolong ke cowoknya untuk bayarin semua biaya lo. Tapi bapak yang nabrak lo juga merasa itu tanggung jawab dia. Makanya mereka split bill gitu. Ada-ada aja ya. Haha..." jelas Toni sambil tertawa geli. "Terus keadaan cewek itu gimana? Dia baik-baik aja?" tanya Rama khawatir. Ia takut kalau pengorbanannya malah sia-sia dan gadis yang hampir ditabraknya itu tetap terluka. "Dia nggak kenapa-napa sih, nggak luka, cuma pas sampai di rumah sakit dia pingsan. Shock kali ya?" "Syukurlah kalau dia nggak kenapa-napa," Rama menghela napas lega, "btw lo nggak ngasih tau nyokap gue kan tentang kecelakaan ini?" "Iya, gue nggak ngasih tau. Kasian nyokap lo repot-repot kesini, kan anaknya masih hidup. Ntar aja kalau lo udah mati baru deh gue kasih tau nyokap lo. Bokap Lo sekalian." "Si k*****t ini," Rama berusaha menoyor kepala Toni. Tapi kondisinya tidak memungkinkan. Toni pun tertawa meledek. Di tengah percakapan 'hangat' kedua sahabat itu, pintu kamar rawat Rama terbuka. Muncul seorang gadis manis dengan rambut lurus terjuntai dari balik pintu. Badannya tak terlalu tinggi dan ia memiliki kulit kuning langsat. Di tangannya ada bungkusan berisi roti dan buah-buahan. Wajahnya senang mendapati Rama yang sudah sadar. "Rama, akhirnya kamu sadar juga. Ton, udah panggil dokter?" tanya gadis bernama Hana itu. Toni menepuk jidatnya, karena dia dari tadi sibuk mengomeli Rama sehingga lupa harus memanggil dokter. "Ya ampun gue lupa. Ya udah, gue panggil dulu ya," ucap Toni sambil bergegas pergi dari sana. Sementara Hana menggantikan Toni duduk di samping Rama. Ia meletakkan barang bawaannya di atas meja. "Padahal bisa panggil pakai ini," kata Rama sambil menunjuk bel untuk memanggil suster. "Lah iya, kenapa nggak kamu pencet dari tadi Ram?" tanya Hana. "Lupa. Efek kepala kebentur kali ya? Hehehe..." kata Rama sambil tertawa. Hana pun ikut tertawa. "Btw, makasih ya Han udah datang. Nggak kuliah?" tanya Rama kemudian. "Ada jadwal sih, tapi nggak papalah ambil jatah bolos sekali. Hehehe..." "Ya ampun Han, demi gue lo sampai bolos," Rama jadi merasa tak enak hati. "Ya nggak papalah. Toni juga bolos tuh. Lagian siapa lagi yang bisa jagain kamu kalau bukan aku sama Toni?" "Duh gue nyusahin kalian mulu kayaknya deh," Rama merasa bersalah. Karena memang bukan kali ini saja Toni dan Hana ada untuknya di saat iya kesusahan ataupun terpuruk. Hana tersenyum mendengar perkataan Rama. Ia merasa sama sekali tidak terbebani karena selalu membantu Rama. Malah ia senang karena bisa diandalkan oleh Rama. "Jangan ngerasa nggak enakan gitu Ram. Biasa aja. Yang namanya sahabat kan memang harus saling bantu." Rama ikut tersenyum, "iya Han. Sekali lagi makasih ya." Hana mengangguk. Ia menatap Rama dengan wajah lega dan penuh syukur. Lagi-lagi Tuhan menyelamatkan Rama, orang yang disayangi Hana, lebih dari sekedar sahabat. *** Sebuah Mercedes Benz obsidian black metallic yang baru memasuki kawasan perumahan berhenti di depan rumah minimalis berlantai satu. Pintu penumpang mobil itu terbuka dan Ari segera bergegas keluar, agar ia bisa membantu Bella untuk keluar juga. Mama Bella yang dari tadi menantikan kedatangan anaknya segera membukakan pintu saat mendengar suara mobil berhenti di depan rumahnya. Di sampingnya berdiri seorang gadis cantik seusia Bella dan Ari yang juga menantikan kedatangan Bella dan Ari. Ia adalah Cinta, sahabat Bella sejak SMA dan sekaligus sahabat Ari sejak SMP. "Bella, kamu nggak papa?" tanya Mama Bella khawatir. Ia mendekati Bella dan Ari untuk ikut membantu Bella masuk ke rumah. Namun Cinta menghentikannya. "Biar aku aja yang bantu Bella, Tante," ucap Cinta. Mama Bella pun membiarkan Cinta menggantikannya, dan mengucapkan terimakasih kepada Cinta. Ia lalu menuntun Bella, Ari dan Cinta ke kamar Bella, agar Bella dapat melanjutkan istirahatnya di kamarnya. "Makasih ya Ari, Cinta," ucap Bella setelah ia berada di atas ranjangnya. "Sama-sama Bella," balas Cinta. Sementara Ari mengganguk kecil sambil tersenyum. "Tadi aku udah mau ke rumah sakit, tapi kata Ari kalian udah mau pulang makanya aku ke rumah kamu," lanjut Cinta. "Aku nggak kenapa-napa kok, tapi makasih banget ya udah mau datang," kata Bella senang. "Ya ampun dari tadi makasih Mulu," Ucap Cinta sambil tertawa. Bella hanya tersenyum malu. Cinta dan Ari tidak menghabiskan waktu yang cukup lama di rumah Bella, agar Bella bisa beristirahat. Bella meminta Ari untuk mengantarkan Cinta pulang. Ari pun menyanggupi permintaan Bella itu. Suasana tadi terasa cukup hangat. Seseorang yang setia menunggu sahabatnya pulang dari rumah sakit dan memberikan perhatian yang besar. Cinta tertawa geli mengingat sikapnya yang tadi. Saat masuk ke mobil Ari, Cinta pun menghembuskan nafas lega, karena ia bisa berhenti berpura-pura menjadi orang yang peduli dengan Bella. Saat mobil sudah mulai berjalan, Cinta mulai berbicara dengan Ari. "Kenapa sih kamu masih mau dengan orang gila itu?" Ari kaget dengan perubahan sikap Cinta, "maksud kamu?" "Kan udah jelas-jelas kamu sering liat Bella buat masalah karena delusi. Kenapa kamu nggak tinggalin aja dia biar nggak ikut keseret masalahnya terus?" Cinta melanjutkan perkataannya, agar Ari mengerti. Ditatapnya laki-laki di hadapannya itu dengan lekat. "Cinta, apa-apaan sih? Bella itu sahabat kamu, kenapa kamu ngomong kayak gitu tentang dia?" Cinta mengalihkan pandangannya ke depan sambil mendengus kesal, "sahabat mana yang tega merebut cowok yang dicintai sama sahabatnya?!" Ari memandang Cinta tak percaya. Ia pikir perasaan Cinta kepadanya sudah tidak ada, tapi ternyata Cinta masih memiliki rasa yang sama seperti dulu kepada Ari. "Cinta, Bella nggak pernah ngerebut aku dari kamu, karena memang aku dan kamu nggak pernah punya hubungan yang lebih dari teman. Bahkan bukan Bella yang ngejar-ngejar aku, tapi aku yang ngejar-ngejar dia." "Oh iya aku baru inget," Cinta tersenyum sarkas, "Bella kan nerima kamu karena kasihan, bukan karena cinta." Ari hanya diam, rasanya ia malas menanggapi perkataan Cinta yang dari tadi hanya memprovokasinya. "Kamu itu bodoh dan menyedihkan, sama dengan aku, sama-sama mencintai orang yang nggak cinta sama kita," Cinta masih tidak mau berhenti bicara. "Terserah kamu Cinta. Aku nggak peduli dengan semua yang kamu bilang." "OKE!" Cinta mulai kehilangan kesabaran untuk berusaha meyakinkan Ari tentang opininya, "aku berhenti disini!" "Ya udah. Pak, berhenti," pinta Ari kepada supirnya. Supirnya pun menurutinya. Cinta membuka pintu mobil Ari dengan kasar, lalu bergegas keluar dan meninggalkan Ari tanpa menoleh sedikitpun. Ia berjalan dengan cepat, meskipun ia tak tahu langkahnya akan menuntunnya kemana. Yang jelas ia ingin cepat-cepat menjauh dari Ari, agar rasa kesal di hatinya segera hilang. Ari yang juga kesal dengan Cinta meminta supirnya untuk kembali melanjutkan perjalanan. Ia meraih smartphone nya dan membuka sesuatu yang bisa menghiburnya agar ia segera melupakan kata-kata yang tadi Cinta ucapkan. "Nggak, Bella nerima aku karena memang dia sayang dan cinta sama aku. Bukan karena kasihan. Aku yakin itu," batin Ari dalam hati. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Siap, Mas Bos!

read
14.9K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
209.5K
bc

My Secret Little Wife

read
103.3K
bc

Tentang Cinta Kita

read
192.9K
bc

Single Man vs Single Mom

read
103.5K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.0K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook