Bagian Dua

1957 Words
“Cinta serupa serbuk ajaib yang ditaburkan dari langit. Ia berjatuhan pada hati anak-anak manusia, dan sihirnya meleburkan apa saja. Tanpa tapi.”  *** Gadis setinggi 167cm itu memeluk map dengan tangan kiri, di mana jam kesayangannya melingkar. Satu-satunya tempat yang ada di pikirannya saat ini adalah kios ayam goreng. Hari ini Karina datang ke tempat yang sama bukan sebagai pembeli, dia benar-benar memerlukan bantuan penjualnya. Pemuda itu baru saja selesai membersihkan gerobak, ketika Karina menghentikan langkah tepat di depan kios. “Permisi, Mas,” sapa Karina. Pemuda yang mengenakan kaos biru dan celemek kuning itu menoleh, dan mendapati wanita cantik yang dia yakin akan jadi calonnya. Lebih tepatnya calon pelanggan super rajin. Dia menduga, gadis itu sudah ketagihan dengan ayam goreng buatannya. Karena saat neuron otaknya mencoba memindai setumpuk ingatan yang tersimpan, dia bisa memastikan, baru kemarin gadis yang sama juga datang ke kios itu sebagai pembeli. “Ya?” Ya. Hanya kata itu saja yang dapat terucap. Sesuatu dari penampilan Karina sedikit mengganggu konsentrasi. Sapuan warna merah muda samar membuat wajah putihnya terlihat lebih segar dan ... cantik. “Saya mau minta bantuan Mas, untuk mengisi kuesioner yang akan saya gunakan dalam penyusunan skripsi,” ungkap Karina hati-hati dengan bahasa yang sopan dan sangat formal. “Oh, pejuang skripsi.” Menyebalkan! Bukannya memenuhi permintaan Karina, pemuda itu malah mengomentari dirinya. Kalau boleh jujur, sebenarnya Karina agak jengkel, tapi demi mendapatkan apa yang dia butuhkan, gadis itu mencoba menampilkan senyum terbaiknya sambil mengangguk. “Emh, gimana ya?” Pemuda itu memiringkan sedikit kepalanya, terlihat berpikir, dan menampilkan wajah bingung. Hal itu membuat kejengkelan di hati Karina semakin bertumpuk. Sebelumnya dia mengira tidak akan sesulit ini. Selama hidup dan bernapas, sependek ingatannya, belum ada satu pun cowok yang bisa menolak permintaan seorang Karina.Bibir Karina kembali simetris, tidak ada yang tahu, dalam hatinya gadis itu sedang mengumpat. Betapa sialannya si tukang ayam itu. “Nggak bisa ya?” “Bukan gitu ....” Menjengkelkan, menyebalkan, dan sangat-sangat menyebalkan! Begitu simpul otak Karina menilai pemuda di hadapannya. Secuil simpati yang sempat tumbuh karena melihat kebaikannya pada anak-anak kumal kemarin, lenyap seketika. Ternyata semua itu hanya pencitraan. “Bisa kenalan dulu?” Ketika Karina tengah sibuk dengan penilaian-penilaian negatifnya pada pemuda itu, sebuah tangan terulur ke hadapannya. Suara yang barusan menubruk gendang telinganya, penuh nada sindiran pada kesalahan pertama Karina. Dia lupa mengajak kenalan pada orang yang akan dimintai tolong. “Oh iya. Maaf ya, kenalin namaku Karina.” Karina menjabat tangan penjual ayam goreng itu. Kali ini gaya bicaranya lebih santai. “Ilham,” jawab pemuda itu mantap. Suaranya terdengar memancarkan kepercayaan diri dan sikap yang tegas. “Tadi apa? Ngisi kuesioner ya?” tanya Ilham sambil memandang sekali lagi wajah cantik Karina meski tak lebih dari dua detik, karena Ilham sangat yakin, kesehatan jantungnya akan berada dalam bahaya kalau berlama-lama memandang wajah ayu tersebut.“Iya ... Please, bantuin ya.” “Emh, gimana ya? Soalnya kalau sekarang, aku harus nyiapin itu.” Ilham melirik ke dua baskom yang ada di meja bagian belakang. Isinya ayam-ayam yang sudah dimarinasi dan siap ditepungi. “Sebentar aja kok.” Ilham masih belum mengiyakan. Dia melirik ke arah ayam-ayamnya, kemudian kembali lagi ke Karina. Tadinya Karina pikir pilihan meminta bantuan tukang ayam goreng adalah yang paling tepat, tapi sejak beberapa menit lalu, dia merasa kalau meminta bantuan Ilham hanya akan membuatnya kecewa. Cowok yang membiarkannya berdiri tanpa mempersilakan duduk sejak dia datang, sudah pasti tidak bisa menghargai wanita terhormat seperti dirinya. Setidaknya, itulah yang ada di dalam pikiran gadis dengan pipi kemerahmudaan itu. “Oke. Ya udah kalau nggak bisa nggak apa-apa,” pamit Karina yang sejurus kemudian membalikkan badan. Tetapi, belum sempurna tubuhnya memutar 180 derajat, ada sesuatu yang menahannya. Sesuatu yang menurutnya sangat aneh, karena tiba-tiba rasa jengkel dan rasa lega datang sekaligus. Dan ... well, di detik yang sama, hal itu juga ... menyenangkan. Meskipun sedikit.“Tunggu!” Jemari tangan Ilham melingkar sempurna di lengan kanan Karina. Seketika, ada denyut yang hebat di d**a, yang membuat pemuda itu segera melepaskan apa yang seharusnya tak boleh digenggam. “Maaf.” Karina yang masih dalam frekuensi negatifnya, hanya melihat ke arah tangan Ilham yang perlahan melepaskan diri. Saat ini gadis itu berhak untuk marah, karena seorang penjual ayam goreng yang baru saja dia kenal, menyentuh tangannya tanpa permisi. Tetapi dia tak cukup kuat untuk melakukan itu. Diakui atau tidak, tatapan Ilham barusan melemahkan lebih dari separuh energinya. “Ya?” “Gimana kalau aku jawab, tapi kamu yang tulis jawabannya?” Tiba-tiba wajah Ilham berubah antusias. “Ide bagus. Nanti aku juga yang bacain pertanyaannya, jadi Mas tetep bisa bantuin aku, terus pekerjaan Mas juga nggak terganggu,” sahut Karina tak kalah antusias. “Yups!” Ilham memberikan penekanan pada kata yang barusan terucap demi memastikan agar Karina tak pergi begitu saja. Sepertinya akan sangat menarik untuk berlama-lama berada di dekat gadis itu. Sebagai lelaki normal, itu wajar, kan?“Sepakat.” Rasa-rasanya Karina ingin melonjak gembira seperti saat permintaan demi permintaannya dikabulkan oleh mendiang neneknya. Rasa kesalnya lenyap dalam sekejap, terlebih ketika menyadari, pemuda yang sulit ditebak itu, juga memiliki senyuman yang cukup manis. Ilham berjalan ke bagian belakang, diikuti oleh Karina. Pemuda itu lalu mempersilakan Karina duduk, satu hal yang sebenarnya sudah ditunggu-tunggu sejak tadi. Sambil menyiapkan ayam yang akan digoreng, Ilham menjawab satu per satu pertanyaan dari kuesioner yang dibacakan oleh Karina. Kadang pemuda itu terdiam dan berpikir, ketika belum begitu yakin dengan jawaban sendiri. Sementara itu, tangannya juga sangat terampil menyiapkan calon-calon ayam gorengnya. Rasa nyaman tiba-tiba tumbuh di hati Karina, seiring percakapan keduanya. Ya, kenyamanan itu juga mulai meletupkan kebahagiaan dalam hati seorang Ilham. “Terima kasih, Mas.” “Panggil Ilham aja.” “Ya deh, Mas Ilham.” Ilham tertawa mendengarnya. “Sama-sama, Karina.” “Panggil Karin aja, atau Rina.” “Kalau aku suka Karina, gimana?”    Sesuatu yang dahsyat menghantam kesadaran Karina. Apa tadi Ilham bilang? Kalau dia suka Karina gimana? Apa maksudnya? Sejenak, keduanya terdiam, terserang oleh rasa canggung, yang tanpa disadari Karina di sudut hatinya seperti ada kembang api yang baru saja diledakkan. “Eh, maksudnya suka dengan nama Karina utuh. Kan nggak terlalu panjang,” ralat Ilham segera menyadari bahwa ada yang hampir saja berjalan tak beres. Anehnya, sepanjang perjalanan pulang kalimat itulah yang terulang dan terus terulang di benak Karina. ‘Kalau aku suka Karina, gimana?’ ‘Kalau aku suka Karina, gimana?’ ‘Kalau aku suka Karina, gimana?’ Sangat lucu, ketika kalimat itu justru membuatnya tersenyum beberapa kali. Meski membayangkan menjalin hubungan dengan penjual ayam goreng adalah hal yang ... mustahil, sekaligus aneh bagi Karina. “Amit-amit!” Karina menggetok kepalanya sendiri dua kali. Tiba-tiba, ada sebuah tangan yang merangkul pundaknya. “Hey, Rin, kamu ke mana aja sih?” “Bianca! Bikin kaget aja kamu.” “Kaget? Sejak kapan kamu kagetan? Terus kenapa dari tadi senyam-senyum sendiri? Abis ketemu pangeran berkuda putih, ya?” goda Bianca.   Mana mungkin ada pangeran seperti itu. Nyatanya, yang barusan ditemui Karina bukan pangeran. Hanya cowok biasa bertangan putih karena berlepotan oleh tepung. Tidak mungkin dia cerita habis dari kios ayam goreng dengan keadaan seperti sekarang, kan? Apa jadinya kalau Bianca menyadari seorang Karina tersenyum lebih sering, gara-gara abang tukang ayam goreng? Seluruh kampus pasti akan gempar karena berita itu. “Abis ketemu siapa sih?” selidik Bianca menghentikan langkah keduanya. “Ada deh.” “Ih, kasih tau dong,” rengek Bianca. “Ra-ha-sia. Hahaha!” Karina berlari menjauhi cewek yang mulai kepo itu. Bianca segera mengejar, tapi nahas, gadis itu menubruk seseorang. Keduanya terjatuh, mirip adegan di FTV yang Bianca lihat dua hari lalu. “Woy, kalau jalan pake mata dong! Lagian ngapain si lari-lari? Kayak anak TK aja!” maki seseorang yang ditabrak Bianca. “Eh, sotoy! Jalan tu pake kaki, bukan pake mata. Lagian ngapain ngejogrog di situ, ngalangin jalan, tau?” Bianca sibuk dengan telapak tangannya yang terasa perih membentur paving block. “Ih, ampun deh nih cewek.” Cowok tinggi besar berambut sedikit gondrong itu bangkit dan segera mengondisikan diri. Bianca yang masih terduduk, sedikit kaget mengetahui ada cowok sekeren itu di kampus, bahkan lebih dari keren. Gerakannya terlihat tegas dan luwes sekaligus ketika sedang menepuk-nepuk debu yang menempel di celana yang dia kenakan. Saat itu, dalam kaca mata seorang Bianca, pria yang dilihatnya seolah diliputi cahaya keemasan yang memesona. Dengan sopan, lelaki itu mengulurkan tangan ke hadapan Bianca yang masih sibuk memandanginya. Gadis itu tersenyum, senyuman yang tak kalah manis, juga terlukis di wajah rupawan di hadapannya. Untuk sesaat, Bianca hanya memandangi tangan itu sebelum menyambutnya. Kejadian yang menurutnya sangat luar biasa, seolah ada seorang pangeran yang mengulurkan tangan dan mengajaknya berdansa. Bianca yakin, setelah ini hari-harinya akan diwarnai motif kotak-kotak dari kemeja flanel yang dikenakan si pemuda. “Maaf... dan, terima kasih,” ucap Bianca setelah kesadarannya kembali. “Lain kali hati-hati. Untung orang yang ditabrak, coba kalau tembok atau tiang.” “Iya, iya, makasih,” ucap Bianca setengah menggerutu, karena bicara pemuda itu yang seolah di sini, Bianca adalah satu-satunya yang bersalah. Gadis itu berlari mengejar Karina dan cowok yang membantunya berdiri, baru saja meneriakkan sesuatu. “Fredy. Fakultas sastra!” Bianca berhenti sejenak, mempertimbangkan apakah dia akan berbalik atau tidak. Tiba-tiba pikiran nakalnya kumat. Dia hanya melanjutkan langkah. Pikirnya, cowok itu pasti akan mencarinya. Yang diteriakinya tak menoleh sedikit pun, tapi Fredy justru tersenyum. Tak ada kekecewaan sama sekali. Toh gadis itu sudah tahu namanya. “Udahan main dramanya?” ledek Karina begitu Bianca berhasil menyusul. Sebelumnya, dia sempat berhenti, tapi melihat sahabatnya seolah begitu menikmati momen paling dramatis sejagat otak Bianca yang demen nonton FTV, Karina memutuskan untuk meninggalkannya saja. “Apaan si?” Bianca menowel lengan Karina, pipinya bersemu merah. Harus dia akui, cowok yang mengaku bernama Fredy tadi nggak kalah keren dari aktor-aktor yang sering dilihatnya di layar kaca. Ya, walau belum sekeren Lee Dong Hae idola barunya. *** Hadiah. Hari ini Karina memutuskan untuk meminta hadiah yang dijanjikan ayahnya. Meski hatinya masih sedikit ragu, apakah orang tuanya akan mengabulkan permintaannya atau tidak mengingat dia juga baru lulus kuliah, tapi dengan mengantongi janji yang diberikan ayahnya sebagai hadiah, gadis itu jadi lebih percaya diri.Pagi baru saja menetas, tapi Karina sudah rapi dan berdandan sangat cantik. Pantulan wajah ayunya di cermin, tersenyum begitu bahagia. Hatinya berdebar, menyebarkan gelayar aneh yang memabukkan setiap kali ingatannya memutar kembali semua waktu yang sudah dilaluinya bersama Ilham. “Rin, kamu yakin? Please, pikirin sekali lagi. Karin yang aku kenal nggak pernah gegabah dalam mengambil keputusan. Sumpah, aku nggak pernah ngebayangin ini akan terjadi dalam sejarah kehidupanmu. Apa Papamu juga bakalan setuju?” Pesan panjang itu berasal dari Bianca. Dia memang sahabat yang rempong, usil, dan ya, baik dan juga perhatian. Jangan lupakan kata bawel sebagai predikat utamanya, tapi sungguh, Karina sangat bersyukur memiliki dia sebagai sahabat. “Jangan panggil aku Karina kalau nggak bisa dapetin yang aku mau.” Baru selesai mengetik balasan untuk Bianca. SMS lain masuk. Dari Ilham. “Karina, aku udah di depan. Kamu keluar, ya.” Membaca isi pesan singkat itu, Karina segera berlari keluar. Di ruang tengah, ayahnya sedang membaca koran sambil minum teh. “Ada apa, Rin, kok lari-lari gitu?” “Ada kejutan buat Papa,” jawabnya sambil lalu. Di depan gerbang, Ilham masih berdiri di samping motornya. Pria itu melambaikan tangan begitu penglihatannya menangkap pergerakan Karina yang terkesan tak sabaran menghampirinya. Sebelumnya, Ilham tidak pernah menyangka kalau gadis pujaan hatinya memiliki rumah sebesar itu. Selama ini dia hanya mengenal Karina sebagai mahasiswi yang kuliah di kampus dekat kios ayam goreng. “Karina.” Suara Ilham menghentikan langkah Karina yang berjalan di hadapannya. Pemuda itu diselimuti keraguan yang luar biasa. Nyalinya semakin ciut, setelah menyadari, betapa jauh perbedaan kasta sosial antara keduanya. “Kenapa, Mas?” “Kamu yakin dengan keputusanmu?” Karina menghela napas. Bibirnya simetris, jemari tangannya meraih tangan Ilham, berharap dengan begitu dia bisa memberikan kekuatan pada prianya agar semakin mantap melangkah. “Mas, aku nggak pernah main-main masalah hidup. Aku percaya sama kamu, Mas.” “Tapi ....” “Tapi kenapa? Apa Mas nggak cinta sama aku, nggak mau menjadi bagian dari hidupku selamanya?” “Bukan begitu, Karina. Kamu tahu, aku hanya seorang tukang ayam. Sementara kamu ... aku nggak yakin orang tuamu akan setuju dengan hubungan kita.”   “Mas Ilham tenang aja, Papa nggak akan pernah bisa nolak keinginanku. Dia pasti setuju.” Ilham hendak membantah lagi, tapi senyum Karina kali ini membuat hatinya lebih mantap untuk membersamai gadis itu. Pemuda itu berharap, semoga Allah meridhoi niat baiknya. Bagaimanapun Allah adalah Maha Membolak-balikkan hati, sehingga yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin dengan kehendak-Nya. LovRegards, MandisParawansa
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD