Kondangan

1347 Words
    "Numa!"     "NUM!"     "NUMA!!"     Gilak, suara apa barusan? Rasanya gendang telingaku ditusuk Tugu Pahlawan. Wait a second, rasanya aku kenal suara tadi. Suara itu adalah ---- "Heh! Bangun, Num. Itu Galih udah dateng lho. Katanya Galih kalian mau kondangan? Bangun lah!" suara Mama, tak hanya suara saja, Mama juga menarik selimut yang menutupi tubuhku. Kutarik selimut yang sempat dilempar oleh Mama, “Kondangan apaan? Wong kondangannya besok kok. Numa mau tidur lagi, Ma.” gumamku. "Kalau kamu tidur lagi, bakalan Mama ambilin air seember buat nyiram kamu!" sentak Mama sambil membuka lilitan selimutku. "Mama ihh, kondangannya besok hari minggu."       "Minggu? Iya ini hari minggu, Num. Galih udah lima belas menit yang lalu disini. Dia udah ganteng itu loh." Hah?!! Galih!!! Segera saja aku duduk menggaruk kepalaku tak paham, "Galih udah datang, Mah?" tanyaku tanpa dosa. Kesadaranku baru terkumpul sekarang. Dan Mama menatapku seakan ingin memakanku. "Iya! Udah sana mandi!"     “Galih beneran udah datang, Ma?”     “Iya, Numa Saira Nasrin.”     "Galih pake baju apa, Ma?"     “Pakai batik hitam kalau nggak salah lihat tadi. Udah sana mandi! Punya anak perawan tinggal satu tok, kok ya susah banget bangun paginya.” omel Mama. "Iya iya, mau mandi loh ini." kataku meninggalkan Mama ke kamar mandi.     Kukira mama akan keluar dari kamarku saat aku pergi mandi, namun ternyata aku salah. Kasur sudah rapi tanda mama yang telah merapikannya, meja riasku yang jauh lebih rapi dengan beberapa kosmetik yang sudah disiapkan mama. Kemudian kupandang Mama yang sudah duduk dikursi didepan meja rias, "Sana pake baju, habis itu ke mama, mama dandanin. Inget, handuk basah jangan ditaruh dikasur." Mamaku ini memang anak kecantikan dulunya, cuma setelah menikah dengan Bapak, Mama beralih jadi ibu rumah tangga.     "Ini gimana, Mah?" kutunjuk satu benjolan berwarna merah dipipi sebelah kananku. Sedangkan mama sedang menyisir rambutku. "Gampang, ditutupin pake foundation nanti. Udah kamu diam aja." Kata mama. Setelah selesai dengan rambutku, mama segera beralih merias wajahku. "Sip. Udah cantik anak Mama. Sana pake sepatu sendiri, mama mau kebawah.” kemudian mama meninggalkan aku sendirian dikamar ini. Setelah selesai memakai sepatu dan membawa tas kecil akupun beranjak keluar dari kamar, pemandangan yang kudapati dari balik kaca rumah adalah Galih yang sedang menemani Mas Ilham-kakak iparku-mengobrol diteras luar. Sedangkan Mbak Syila-kakak perempuanku-berada didapur. "Bapak mana Mbak?" tanyaku pada Mbak Syila yang menggoreng pempek. Oleh-oleh dari Mas Ilham setelah kemarin ada penerbangan ke Palembang. Kuambil satu yang berukuran kecil, kumakan sambil menuang minum ke gelas. "Keluar, ada urusan tadi." jawabnya sambil tetap menggoreng pempek. "Heh! Itu udah cantik, makan sembarangan aja. Sana! Yang katanya mau kondangan malah kesini." usir Mbak Syila sambil menyodorkan spatula menggorengnya. "Iya-iya." kulangkahkan kakiku untuk keluar menemui Galih.     Hal pertama yang kusadari saat bertemu Galih adalah wajah dinginnya yang ganteng. Sumpah! Anak Bunda Mida ini makan apa sih? Bisa ganteng banget. "Udah?" tanyanya saat aku sampai didepannya. Kujawab dengan anggukan saja. Kulihat Mas Ilham yang sedang memakan pempek dengan santainya, "Bilangin sama Mbak Syila, Mas. Jangan di habisin pempeknya." kataku sambil menampilkan wajah yang sungguh-sungguh.     "Kamu tuh nanti gatel kalau makan amisan banyak-banyak." jawab Mas Ilham. "Buat Galih." alibiku. "Aku udah makan banyak tadi. Bilang aja kalau minta disisain buat kamu.” Kata Galih sambil menepuk-nepuk pelan celananya. "Ish kamu itu gak peka banget sih, orang aku itu perhatian sama kamu juga."     "Yak! Udah sana berangkat." ucap Mas Ilham sambil bertepuk tangan sekali disertai senyum palsunya seakan mengusir kami untuk segera pergi. "Ya udah kami berangkat dulu, Mas." pamit Galih, kemudian berjalan lebih dulu ke arah mobilnya. "Bilangin sama Mama aku berangkat, Mas." pamitku pada Mas Ilham. "Iya."                                                                                             * * * * *     Salah nggak sih kita sebagai seorang perempuan mengharapkan pujian atas tampilannya dari pasangan kita? Berharap punya pasangan yang peka, namun apa daya seseorang bernama Galih bukan orang yang peka, dia sedang duduk disampingku ini akan menjadi pribadi yang cuek dengan penampilan seseorang meskipun itu adalah aku, selama menurut dia sopan dan nyaman, its okay.     "Lain kali bisa gak bangunnya lebih pagi?" kata Galih ketika mobilnya berhenti dilampu merah. "Kenapa?" tanyaku seolah tak tahu apa salahku. Dan kemudian Galih mendengus. "Kita telat, Sayang. Oke aku akui dandan sama mandi kamu cepet tapi kan bisa bangunnya gak ngaret." Catat! Tak ada nada lembut dibicara Galih. Dia sangat jarang bicara dengan nada lembut, kecuali pada Bunda, Ayah, dan aku kalau sedang ngambek.     "Iya-iya maaf. Udah habis pempek berapa?"     "Banyak." jawabnya datar.     "Kamu gak mau muji aku?"     “Terimakasih untuk bangun siangnya, aku bisa makan pempek dari Palembang langsung jadinya.” Tak kutanggapi perkataan Galih barusan. Aku memilih memainkan gawaiku sambil sesekali melihat kearah jalanan yang cukup ramai diminggu pagi ini. Aku tahu aku salah tapi tak bisakah dia mengatakan sesuatu tentang penampilanku kali ini. “Kamu ngambek?” tanya Galih. "Nggak.” Kataku halus. Dan kulihat dia mengangguk samar saja.     Tiba ditempat parkir gedung hotel tempat berlangsungnya acara pernikahan mantan pacar Galih. Setelah memarkir mobil Galih tidak langsung mematikan mesin mobil. Kurasa ada sesuatu yang ingin dia sampaikan kepadaku. Tak ingin kupancing, kubiarkan saja hingga dia mengatakannya sendiri. “Aku suka dandanan kamu. Kamu cantik.” Katanya singkat lalu dia segera keluar dari mobil meninggalkan aku yang masih mencerna perkataan Galih. Baru ketika aku sadar apa yang dia ucapkan, aku segera menyusulnya keluar dari mobil.     Kudekati Galih yang sedang menekan kunci ditangannya untuk mengunci mobil, "Penasaran deh, mantan kamu itu tambah cantik enggak ya?" kataku sambil menggandeng lengan kekarnya. Emm tidak terlalu kekar sih. Dan jangan lupa kalau dia wangi. Dieratkannya tanganku yang melingkar di lengannya, "Cantiklah, ini kan hari bahagia buat dia." katanya sambil memasuki lift menuju lantai tempat pernikahan itu dilaksakan.     Ketika sampai dilantai yang dimaksud, Galih sempat bertemu dengan beberapa kenalannya yang kurasa itu temannya saat kuliah, mereka berbincang sebentar lalu berjalan lagi sambil memandang seluruh ruangan, "Duduk disana aja ya." ucapnya sambil memandang kursi yang dimaksud. Tak kujawab apa yang si Ana ini katakan. Toh dia juga membawaku ke kursi itu.     Tak ada percakapan diantara kami, hingga pembawa acara mengatakan kalau prosesi ijab qobul akan dimulai. Kulihat Maya, sang mempelai wanita terlihat sangat cantik dengan kebaya putih elegan. Sang pengantin pria aku tak bisa memastikan seperti apa wajahnya. Kurasakan tanganku digenggam, ku tolehkan wajahku melihat tersangkanya. "Kamu belum move on?" bisikku pelan, awas aja kalau belum move on, aku gak mau kalau dijadikan pelarian saja. "Udah kok. Tuh lihat, Maya memang tampil cantik karena ini hari bahagia dia," bisik Galih hampir menyentuh belakang telingaku. "Dan cantiknya Maya hari ini cuma buat suaminya." lanjut Galih masih diposisi yang sama. "Hm?” gumamku tanpa berani menolehkan kepalaku. "Kamu cantik, Numa." katanya pelan sambil mengecup pelipisku. Oh Tuhan, tanganku bergetar dalam genggamannya. Pipiku rasanya panas. Tak lama terdengar paduan suara 'sah' di ballroom hotel ini.                                                                                         * * * * *     Setelah selesai ijab kabul, dokumentasi bersama pengantin, dan kegiatan lanjutan lainnya, kali ini saatnya bersalaman dengan pasangan pengantin yang tengah berbahagia tersebut. Kurasakan wajahku masih terasa panas karena tingkah Galih tadi. Mungkin aku tidak kuat berdiri kalau tidak digandeng oleh Galih. Selesai bersalaman dan dipaksa berfoto dengan pasangan pengantin, Galih menarikku untuk mencari minum. Dia bilang dia haus.     "Gal," panggilku padanya yang sedang meminum minuman yang disiapkan dimeja. Dia hanya menengok padaku. "Aku malu. Kamu gak malu, ya?" cicitku. "Malu kenapa?" tanyanya sambil melepas genggamannya, "Lepas dulu ya, keringatan." ucapnya dengan cengiran khasnya. Kemudian mengambil tisu diatas meja. "Gimana, Num?" tanyanya setelah selesai mengelap tangannya. "Gara-gara kamu tadi." jawabku pelan, aku masih malu jika mengingat kejadian tadi. Galih terkekeh pelan sambil menepuk kepalaku, "Aku salah, ya? Maaf kalau gitu." ucapnya.     "Nggak gitu, cuma kaget aja kamu gak biasanya gitu. Kamu lagi sakit ya?"     “Enggak kok. Aku sehat. Aneh ya kalau aku begini?” tanyanya sambil menggenggam tanganku.     "Iya, banget. Kamu bikin aku jantungan.”     "Keluar yuk, aku udah lapar. Tapi gak mau makan disini.” Kemudian aku ditariknya untuk keluar dari ballroom ini.     Meskipun kami sudah menjalin hubungan selama dua tahun lebih, tapi sampai sekarang aku masih berusaha memahami jalan pikirannya, mengerti sikapnya, dan berkompromi dengan segala perbedaan diantara kami. Intinya Galih yang paling sering mengalah dan enggan berdebat, menurutnya berdebat hanya akan mengulur waktunya untuk menyelesaikan maket.     Orang ganteng sih, bebas..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD