Prolog

813 Words
"Heh! Dipanggil Bapak tuh! Udah tahu kerjaannya jadi buruh tani, kenapa gak langsung pergi ke sawah?" Wajah Amirah, gadis yang baru berusia 17 tahun itu selalu tidak ramah. Terlihat menyebalkan sekali bagi Gumelar Anugerah 19 tahun, yang masih memakai celana abu-abunya. "Sebentar, Neng. Ini juga baru pulang, mau ganti baju dulu dan makan." jawab Gumelar, dengan santainya membuka sepatu yang alasnya sudah tipis sekali. Untuk membeli yang baru pun, kata Emak belum punya uangnya. Mata Amirah melotot tajam. "Kamu panggil 'Neng' sekali lagi, aku timpuk pakai batu!" Matanya mencari-cari ke segala arah, untuk mencari batu yang dimaksud. Rupanya Amirah tidak suka dipanggil dengan sebutan Neng, tetapi Gumelar suka lupa atau sengaja untuk membuat gadis judes dan galak ini marah. "Iya, Amirah … maaf." Gumelar beranjak dari glodok yang terbuat dari kayu, depan rumah kecilnya. Lalu membuka pintu reot, masuk ke dalam rumah tanpa berkata lagi pada gadis yang terbengong memandang tubuh tingginya. Dengan marah Amirah melempar batu sebesar kepalan tangannya, ke arah pintu yang baru tertutup. "Pletak!" "Dasar kamu, ya? Main pergi aja, gak punya sopan santun!" teriaknya nyaring. Pintu itu terbuka lagi. "Biar begini-begini juga, nanti aku akan jadi orang, kamu akan nyesel ngatain aku begitu." Dengan wajah datar, Gumelar mengatakannya. "Kamu sebagai laki-laki, udah miskin, item, idup lagi. Jangan berangan-angan terlalu tinggi, kalau gak tercapai bisa gini …." ejek Amirah, sambil menyilangkan satu jari telunjuk di dahinya. Kemudian Amirah langsung angkat kaki dari tempatnya, tanpa menoleh lagi. Gumelar hanya menggeleng. Kenapa gadis sombong itu, selalu berkata pedas pada dirinya? Padahal seingatnya dia tidak pernah mengganggunya, bahkan untuk menyapanya saja Gumelar merasa enggan. Hidupnya yang miskin memaksanya untuk bekerja keras. Sepulang sekolah dia harus membantu pak Pandu, bapaknya Amirah. Ikut menggarap lahan di sawahnya yang sangat luas. Disaat buruh lainnya telah berhenti, Gumelar baru memulainya. Tidak masalah baginya, dia mau mengerjakan apa saja yang diperintahkan oleh pak Pandu. Yang penting dia mendapat bayaran setiap minggunya, dengan jumlah yang cukup untuk ongkos sekolah dan lebihnya diberikan pada Emaknya. Bapaknya hanya sebagai guru honorer di sebuah SD, tidak pernah beruntung untuk diangkat jadi PNS sampai usia tuanya. Sementara Emaknya sudah tidak lagi sanggup untuk bekerja di sawah, karena penyakit asam uratnya. Beruntung Gumelar seorang murid yang cerdas, hingga sekolahnya selalu dapat beasiswa. Begitu juga dengan cita-citanya yang ingin kuliah di IPB dengan mengambil jurusan pertanian. Tekadnya sangat bulat untuk mendapatkan beasiswanya juga. Tidak ada yang dapat menyurutkan semangatnya, meski sering dihina secara terang-terangan oleh Amirah atau teman-teman pemuda di desanya. Ia sampai dijuluki pemimpi naif, yang menurut mereka tidak mungkin tercapai. "Sekolah itu butuh modal yang tidak sedikit, makanya aku tidak meneruskan sekolah karena kasihan sama Bapakku yang hanya buruh tani. Kamu punya modal otak yang encer, jadi selalu dapat beasiswa. Kamu beruntung, Gum." ujar Muradi, teman Gumelar yang tidak banyak bicara seperti teman lainnya. "Aku akan mengajakmu bila aku sudah memperoleh ilmunya dan memajukan pertanian di desa kita ini." ucap Gumelar, tidak kendur. "Semisal kamu dapat beasiswa juga, tetap saja kalau kuliah butuh uang yang banyak untuk hidup." ledek Juhari dengan pesimis. "Meski harus jadi tukang kerja serabutan pun, aku mau melakukannya, Ju. Aku kuliah nanti tidak mau membebankan biayanya pada orang tuaku. Kita ini laki-laki yang sudah bisa bekerja, mengapa kita harus patah semangat?" "Buktikan saja, Gum. Kalau kamu berhasil kita-kita juga pasti akan ikuti." cetus Dahlan secara terus terang. Gumelar terkekeh. "Tadinya aku ingin mengajak kalian untuk sama-sama mempunyai semangat tinggi seperti aku." "Omong kosong itu, Gum! Tetap saja, kalau tidak ada uang mah nol besar. Banyak juga yang sudah jadi sarjana bela-belain jual tanah dan sawah orang tua, tetapi buktinya jadi pengangguran juga. Bagaimana dia bisa balikin lagi tanah dan sawahnya? Kerjanya hanya luntang-lantung seperti kita yang tidak sekolah tinggi. Sama aja, kan?" tentang Dahlan lebih keras lagi. "Yah, kita jangan mencontoh orang yang hanya kuliah demi mendapatkan gelarnya saja dong, banyak juga orang berhasil menerapkan ilmunya di bidang yang sesuai dengan keahliannya. Aku banyak mendengar, kalau petani masa sekarang ini dari kalangan muda. Mereka bisa berhasil menerapkan ilmu pertaniannya dari modal kecil hingga jadi besar. Asal ada kemauan dan kerja keras, pasti berhasil." Gumelar masih tetap bersemangat untuk memberi pandangan yang baik kepada teman-temannya. "Cih! Mereka berhasil juga tetap pakai modal yang tidak sedikit. Jangan mimpi terlalu tinggi, Gum! Bisa gila kamu! Apa kamu mau jual sawahmu yang hanya sepetak itu untuk modalnya?" Dahlan berdiri dari duduknya sambil menertawainya. Orang pertama yang meninggalkan tempat di mana mereka berkumpul, di rumah Juhari yang tidak jauh dari rumah Gumelar. Muradi menepuk bahunya. "Jangan patah semangat, Gum. Semoga kamu berhasil." ucapnya. Gumelar tersenyum. Setidaknya ada satu orang yang menyemangatinya. Gumelar memandang rumah panggungnya yang hanya berbilik bambu dan terdiri dari dua kamar tidur tanpa berpintu. Di belakangnya ada dapur berlantai tanah dan tempat masak yang masih mengandalkan sebuah tungku berbahan tanah liat, juga ranting kayu sebagai bahan bakarnya. Beruntung dia hanya anak tunggal, hingga orang tuanya hanya cukup memikirkan Gumelar seorang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD