Bukan Darah p*****r

1004 Words
"Ayolah, tidak perlu menunggu sampai dewasa. Sekarang saja pasti kamu sudah sangat ranum dan pantas untuk cepat dipetik. Aku tak bisa membayangkan betapa manisnya bibirmu itu, Sayang!" Ini bukan kali pertamanya bagi Hafa diperlakukan tidak sopan oleh salah satu pelanggan Ibunya. Seperti biasa, dia berusaha keras menampik tangan nakal laki-laki hidung belang yang terus saja mencoba menyentuh wajah Hafa. "Maaf Om, Hafa mau berangkat sekolah dulu. Setelah selesai mengikat tali sepatunya Hafa cepat-cepat meraih tasnya yang dia letakkan di kursi kayu di teras rumahnya. "Ibu!! Hafa berangkat ya!" Teriaknya dari luar rumah. Sementara lelaki yang di panggil om tadi meraih tangan Hafa dan menariknya mendekat. Gadis itu dengan sekuat tenaga berusaha melepaskan cengkraman tangan berotot itu. "Maaf Om, Hafa mau sekolah!" Hafa menarik tangannya hingga terasa nyeri dan warna kulitnya berubah memerah. Gadis itu kemudian lari meninggalkan rumah, dia menaikan rok panjang semata kakinya, agar langkahnya bisa lebih cepat untuk segera menjauh dari rumah itu. Hafa biasanya mengenakan celana panjang di balik rok sekolahnya itu. Hal itu memudahkan Hafa jika harus naik motor atau untuk berlari. "Hafa! Ini uang jajannya ketinggalan!" Seru Ibunya dari dalam rumah. Ibunya biasa meletakan uang saku di atas televisi dan hari ini, lagi-lagi Hafa lupa membawanya. "Ah, si Hafa kebiasaan banget, sifat pelupanya makin hari makin menjadi deh, nanti dia makan apa di sekolah kalau selalu lupa bawa uang." Wanita berusia tiga puluh sembilan tahun itu meletakkan kembali uang pecahan dua puluh ribuan dan lima ribuan di atas televisi. "Sudahlah, pasti dia juga punya bakat seperti kamu. Jadi banyak laki-laki yang memberinya uang!" Ujar lelaki yang sejak tadi berdiri terpaku di depan rumah, memandangi Hafa dari belakang hingga gadis itu hilang dari pandangannya. "Jangan bicara sembarangan kamu, Mas! Hafa tidak akan menjadi seperti aku!" Tegas Ibu Hafa pada lelaki itu. "Alah, buah kan enggak pernah jatuh jauh dari pohonnya!" Tukasnya dengan nada meremehkan. "Jangan pernah berani sentuh Hafa!" Ancam Hesty. "Heh, kamu itu bodoh apa gimana? Coba nurut sama kata-kata aku deh. Kamu kalau kerja, Hafa ajak. Biar dia bisa belajar bagaimana cara mencari uang tapi enggak kerja berat. Malah dapet enak!" "Tutup mulut kamu, Mas Baron!" Wanita itu makin tersulut emosinya. "Salah aku dimana? Aku bicara apa adanya kok, Heh Hesty! Kamu sama Hafa bisa jadi kaya raya dalam semalam. Banyak pengusaha atau pejabat yang berani bayar mahal buat perawan seperti Hafa. Bisa puluhan juta sekali transaksi!" Hesty memegangi kepalanya, rasa pusing akibat pengaruh alkohol dan juga sakit kepala karena kata-kata si botak menjijikan ini membuat dia ingin meledak. "Sudah, sebaiknya Mas pulang saja!" "Lho, Hesty! Hes! Masakin aku dulu dong, aku lapar!" Lelaki itu mulai menggedor pintu rumah setelah Ibu Hafa membanting pintu itu dengan keras dan kasar. Dia sungguh kesal karena lelaki itu terus saja menganggu anaknya. "Masa bodoh! Aku mau tidur! Enyah kamu, Mas!" Teriak Ibu Hafa. "Hes!" Dia terus saja mengetuk pintu itu. Menimbulkan suara berisik. Hingga para tetangga yang kebetulan lewat berdecak melihat keributan yang terjadi setiap pagi di rumah itu. Dia berhenti mengetuk ketika salah seorang pemuda berteriak menegurnya. Dia melotot kepada si pemuda dan menunjukan tato yang ada di lengan kanannya. Dia selalu berkata bahwa tato kebanggaan dia itu adalah gambar dari daun ganja, tapi siapapun yang melihat gambar tato itu pasti berpikir bahwa itu adalah gambar daun singkong. "Aish, dasar jalang!" Dia menggebrak meja di teras dan pergi berlalu dengan mobilnya. Biasanya Baron yang akan mengantar Hesty pulang jika sedang sepi pelanggan. Karena jika sedang ramai, semalaman Hesty bisa transaksi sebanyak lima kali dengan lelaki hidung belang, dan lelaki b***t terakhir yang memakai jasanya biasanya akan mengantarkan Hesty pulang kerumah. Atau jika dia tidak mau mengantar, biasanya Hesty akan diberikan ongkos untuk naik taksi. Sudah bukan hal aneh bagi Hafa mengalami hal tidak menyenangkan setiap paginya. Sang ibu, selalu pergi selepas magrib dan kembali saat pagi datang, bersama lelaki yang berbeda. Tak jarang Ibunya pulang dalam keadaan mabuk berat karena di cekoki minuman keras oleh para p****************g yang memakai jasanya. Biasanya Hafa membantu Ibunya melepaskan sepatu dan membaringkannya di kasur, sementara sang lelaki pelanggannya biasanya menunggu diluar, menunggu moment saat dia bisa melecehkan Hafa dengan tangan jahil dan kata-kata yang tak senonoh. Hafa selalu diam, dia hanya ingin cepat-cepat pergi keluar dari rumah itu. Karena itu Hafa kerap kali kepagian untuk berangkat sekolah demi menghindari dari para lelaki pelanggan Ibunya. Sampai di sana keadaan sekolah masih sangat sepi, hanya ada penjaga sekolah yang terlihat sibuk menyapu di sekitar sekolah. Hafa biasanya menggunakan waktu untuk membaca buku, atau terkadang dia tertidur dengan kepala menelungkup di atas meja. Karena seringkali tidurnya tak nyenyak, memikirkan Ibunya yang berada di luar sana semalaman. Apa saja bisa terjadi pada Ibunya itu, Hafa sungguh khawatir. Pagi itu, ketika dirasa sudah cukup jauh dari rumah, Hafa memperlambat langkahnya, dia mulai berjalan dengan santai dan menurunkan rok yang sejak tadi dia pegang bagian tengahnya agar bagian bawahnya naik hingga sebatas betis. Nafas Hafa tersengal, tubuhnya yang belum lama dibersihkan saat mandi pun kini menjadi basah oleh keringat. Sebuah motor menepi, mendekati Hafa yang tengah mengibaskan tangan ke wajahnya agar mendapat angin sejuk. "Hafa!" Sapanya. Hafa menoleh ke samping, dan mendapati seorang pemuda yang tengah tersenyum lebar menampilkan deretan gigi putihnya. "Masih pagi kok udah berangkat, Ham?" Tanya Hafa seraya mengusap wajahnya dengan tangan. Keringat menempel di tangan gadis berjilbab itu. Dia lalu mengeringkan tangannya dengan menempelkan tangannya di roknya. "Emang masih pagi ya? Wah, aku tadi enggak liat jam hehe!" Irham berbohong. Karena pada kenyataannya, dia sengaja berangkat lebih awal dan menunggu Hafa berjalan melewati depan Rumahnya. Kemudian dia mengejar Hafa seolah kebetulan bertemu. "Dasar kamu, Ham. Ada-ada aja!" "Ya sudah, ayo naik!" Ajak Irham. "Yah, aku ngerepotin kamu lagi dong. Enggak usah deh, aku jalan aja. Kan Deket!" "Apa sih! Enggak baik nolak rejeki!" Irham kemudian menepuk-nepuk jok belakang motor maticnya. Hafa menggigit bibirnya. Dia tidak mudah menerima bantuan siapapun, termasuk cowok tampan dan super baik yang kini ada di hadapannya ini. "Ayo Hafa, kan kamu tahu kalau aku ini enggak gigit!" Irham mencoba berkelakar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD