rutinitas

1728 Words
Pagi ini masih mendung, matahari enggan beranjak dari peraduannya. Jalanan masih basah sisa hujan semalam, angin terasa begitu dingin menusuk tulang, aku merapatkan jaketku sambill berjingkat jingkat menghindarii kubangan air. jalanan masih lenggang, mungkiin mereka masih enggan keluar rumah karena cuaca mendukung untuk tarik selimut lagi, dan ini hari sabtu, banyak perusahaan yang libur, namun tidak dengan pabrikku bekerja, hari sabtu tetap masuk. aku tinggal di gang sempit dekat dengan kawasan industri di pinggiran kota, tepatnya di Bekasi. Disini, banyak terdapat kontrakan tiga petak yang berdempetan. banyak karyawan pabrik yang tinggal disini walaupun, jauh dari kota, dan kawasan padat penduduk, aku betah tinggal disini, selain sewa perbulannya cukup murah, makanan masih tergolong murah juga, aku juga menghiindari keramaian kota. sebelum naik ojek sampai pabrik tempatku bekerja, aku menyempatkan mampir beli nasi uduk di kakilima untukk sarapan di pabrik nanti. "Hai, udah daritadi" aku mendongak, menjeda makanku melihat siapa yang duduk didepanku dan menyapaku, dia Vian, sahabat terdekatku dan satusatunya. "Baru aja, ni baru sesuap" jawabku menunjuk bekal nasi udukku. Vian membuka bekalnya dan mulai makan didepanku.. kami sedang berada di kantin pabrik yang selalu ramai di pagi hari. Banyak yang makan pagi, atau sekedar duduk duduk ngopi sambil nerumpi. "Besok jadi ke Karawang Nay?" tanya Vian sambil mengunyah nasi kuningnya. "Jadi, kamu bisa nganterin aku kan?" "Sipp" "Mampir Cikarang bentar ya pulangnya" "iyya" Tak ada lagi percakapan diantara kami dan sibuk menghabiskan makan pagi kami.Aku bekerja disebuah pabrik obat ternama hanya sebagai operator. Sebenarnya aku bisa cari pekerjaan yang lebih baik dari ini, tapi disini juga sudah cukup nyaman untukku, dan bisa mencukupi kebutuhanku yang sederhana, dan disini aku tidak perlu bersosial dengan orang orang di luar lingkup tempatkku berkerja Seperti hari hari sebelumnya, hidupku terasa monoton, berangkat pagi ke pabrik, pulang sore, istirahat di kontrakan tiga petak,pagi berangkat lagi ke pabrik, jika minggu tiba, hanya aku habiskan di kontrakan dengan bersih bersih, dan nonton DVD. begitu berulangulang selama tiga tahun terahir. Aku juga tidak begitu mengenal tetangga kntrakanku, selain aku yang jarang di kontrakan, kebanyakan tetanggaku juga pekerja pabrik, aku hanya saling menyapa ketika saling berpaspasan, tanpa ada obrolan yang lebih. Pagi pagi sekali Vian sudah sampai dikontrakanku dengan motor maticnya, akupun sudah siap untuk berangkat. tapi Vian malah masuk ke kontrakanku dengan kresek hitam di tangannya, "Makan dulu ya, aku laper banget. Kamu juga belum makan kan? aku beli bubur ayam di gang depan" katanya sambil duduk di karpet yang kugelar, sambil mengeluarkan dua sterofoam dari kreseknya. Aku menyusulnya duduk di karpet, dan membuka sterofoam yang diberikan Vian. "Baik banget sih, tau aja kalo aku belum makan" kataku sambil menyuap bubur ke mulut. "Udah apal banget kamu jarang makan pagi, takut gemuk? kamu udah sebesar lidi doang badannya, heran." jawabnya sambill manyun, dan aku hanya terkekeh. "Bukannya takut gemuk, aku hanya tak biasa makan pagi aja" "Gak usah ngeles, makan pagi itu penting, orang yang program diet aja wajib makan pagi. Aku gak mau ya, seperti bulan lalu, belum nampe tujuan kamu udah minta berhenti beli makan karena kelaperan, ampe pucet lagi, yakin banget itu kamu dari sore gak makan, walaupun kamu mengelak. "hehehhe, masih dii ingat aja, udah lama ini" aku hanya cengar cengir. "mampir Cikarang mau ngapain sih" "itu, kemaren mak Sum cerita kalo anaknya yang kecil lagi sakit, aku mau nengokin." Vian hanyya mengangguk angguk. Selesai makan, kami langsung keluar untuk berangkat, tak lupa aku mengunci kontrakan yang aku tinggallkan. Hanya dengan motor kami pergi ke Karawang. Aku memang menyempatkan sebulan sekali ke Karawang untuk berziarah. Ya, kedua orang tuaku dimakamkan disana, pemakaman mewah San Diego Hill bersama dengan kakak dan kedua adikku empat tahun lalu. Mereka meninggal dalam satu kecelakaan tunggal, waktu pulang berlibur dari Bandung. Kakak dan Ayahku meninggal ditempat tanpa bisa diselamatkan lagi, Ibu dan kedua adikku masih sempat dilarikan kerumah sakit. Namun karena luka kepala yang cukkup parah, merekapun ahirnya menyusul ayah dan kakakku. Kebetulan malam itu aku memilih untuk tinggal semalam lagi di Bandung. Aku sempat terpuruk setelah kepergian mereka yang begitu mendadak, semua terasa kosong, gairah untuk hidupku pun sempat hilang, kenapa semua ini terjadi, kenapa malam itu aku tetap tinggal di Bandung, kenapa aku tidak pulang bersama mereka. Padahal tak ada firasat apapun tentang kepergian mereka. Kami baru saja tertawa bergembira siang harinya, serasa hidup kami sudah sempurna, namun semua hilang begitu saja dalam semalam terganti dengan kesedihan yang seperti tak ada ujungnya. Hanya Mak Sum irt di rumahku dan pak Gandi asistan ayah yang menghiburku. sanak saudara memang ada, tapi mereka semua terlihat palsu, tak ada ketulusan dalam empati mereka, semua hanya topeng dan aku menyadari semua itu. Dulu mereka selalu bersikap manis didepan orangtuaku dan saudara saudaraku. Selalu ada disekitar ayahku, bahkan sselalu menawarkan bantuan kepada ayahku, Namun setelah kedua orang tuaku pergi, mereka bersikap sinis padaku, meremehkanku seolah aku orang yang bodoh dan tak tahu apa apa. Bahkan makam ayah bellum mengering, meraka bersikap seolah aku tak ada, semua usaha ayah diambil alih, bahkan mereka pindah tinggal di rumah yang aku tinggali seoalah aku tak ada. Aku terlalu malas untuk berdebat dengan mereka, kubiarkan saja mereka bertindak sesuka hati mereka. Hingga suatu hari aku bertemu dengan Vian, anak salah satu karyawan ayah yang mendapat beasiswa dari ayah. Dengan bantuannya, aku meninggalkan rumahku dan pindah ke kontrakanku yang sekarang aku tinggali. Awalnya keluarga Vian menawarkan untuk tingga bersama mereka, namun aku tidak mau merepotkan. Aku keluar dari rumah hanya untuk menenangkan diri, mencari penghiburan. Tinggal dirumah hanya membuatku semakin sedih. Keluarga tanteku juga tak ada yang peduli dengan kepergianku, buktinya mereka tak menghubungiku ataupun mencariku, namun semua itu bukan masalah untukku. Selama ini aku hanya berhubungan dengan pak Gandi dan mak Sum. Namun setahun kemudian mak Sum berhenti bekerja dan pulang ke Cikarang kampung halamannya. Oleh karena itu aku selalu menempatkan diri mengunjunginyya ke Cikarang. Dia sudah seperti orang tuaku, dialah yang mengasuhku sejak aku kecil, bahkan kak Naka pun dulu diasuhnya sejak kecil. Sampai di pemakaman, aku membelii bunga dan air untuk di tabur dipemakaman. Vian selalu mengerti jika aku ingin sendiri masuk ke area pamakaman dan selalu bercerita panjang di depan makam keluargaku, dia selalu menunggu di luar pemakaman. "siang yah, bu, Nay datang lagi, ayah ibu baik baik aja kan disana, Nay baik disini yah, Nay udah jarang nangis lagi, Nay sudah banyak tersenyum yah, bahkan Nay lupa kapan Nay bersedih. Doain Nay ya yah, bu, agar selalu ikhlas menerima takdir Nay ini, ikhlas atas kepergian kalian," sebutir airmata meluncur begitu saja dipipiku. " kak Naka baik baik aja kan kak" aku berpindah ke makam kakakku. "Nay udah gak cengeng lagi kak, udah mandiri, udah berani. Bahkan Nay kemaren sempat belajar beladiri kak, Nay tau sudah gak ada kakak lagi yang selalu menjaga Nay. Nay kanggen berantem dengan kakak, kangen berdebat dengan kakak, kangen manja manja dengan kakak. Tapi Nay baik baik aja kak, Nay bisa mengatasi semua, Nay kan udah gede, heehhehe." "Nila, Nira, Kakak juga kangen banget sama kalian. Nay pulang dulu ya Yah, bu, kak. Kapan kapan Nay kesini lagi." aku beranjak dari area pemakaman dan menghampiri Vian yang sedang menunggu di parkiran. "Maaf, kelamaan ya nunggunya" kataku sambil menepuk pundak Vian yang sedang asik main game. "Enggak kok, mau langsung ke CIkarang atau mampir dulu kemana gitu" tanya Vian sambil mematikan gawainya dan memasukkannya kedalam tas. "Langsung Cikarang aja, takut keburu hujan, udah mulai mendung. Tapi nanti mampir ke minimartket dulu ya, mau beli oleh oleh. Yang deket deket rumah MakSum aja." jawabku sambil memakai helm "Oke, gak ada yan ketinggalan kan"Vian sudah memundurkan motornya keluar dari parkiran. "Gak, jalan bang!" aku naik ke motor, menepuk pundak Vian sambil cengar cengir menggodanya "Enak aja, dikira abang ojek" Vian cemberut dengan gaa khasnya, dan aku hanya terkekeh menanggapinya. Seperti dugaanku hujan akan turun, untung sudah sampai tempat Mak Sum dan hujan baru turun dengan derasnnya. "Kenapa repot repot non, non main sampai sini aja emak udah seneng." kata mak Sum setelah menerima keresek berlogo minimarket yang aku berikan. "Gak repot mak, hanya jajanan untuk Dika sama sabun cuci" "Lain kali mah main aja non, gak usah bawa bawa begini. Emak buatin teh ya, non enggak buru buru mau pulang kan, di luar masih deras hujannya." "Enggak mak, nunggu hujan reda." jawabku sambil mengeluarkan gawaiku dari tas dan mengecek notifikasi masuk. "Besok senin kok kita masuk siang sih" kata Vian tiba tiba sambil melihat ke gawainya "Masa sih, udah lama banget kan gak ada yang sift 2" "Iyya, ini ibu Korlap share di grup line perubahan jadwal masuk" "Ada anak baru masuk mungkin" jawabku mengedikkan bahu. "Moga aja nanti kita tidak dipisah siftnya, males aja makan sendirian gak ada kamu." "Yang lain kan masih banak Vi, walaupun sebenernya aku juga gak mau sih pisah sift sama kamu, hehehe "ini non, diminum tehnya pumpung masih hangat" mak Sum menjeda obrolan kami " Dika udah sembuh kan mak sakitnya" tanyaku setelah menyerutup teh ang diberikan mak Sum. "Udah non, sekarang malah udah ikut Bapaknya jualan dipasar" "Gak papa itu mak abis sakit udah ikut jualan bapaknya?" "Udah emak larang non, tapi enggak mau dengar, semoga aja gak kumat lagi demamnya." Aku dan Mak Sum bercerita kesana kemari, kegiatan sehari hari kami hingga gosip ggosip artis kekinian. Sebenarnya aku tidak begitu mengerti karena jarang melihat infotaiment, tapi Vian yang selalu up to date selalu nimbrung ke pembicaraan kami sehingga tidak membosankan dan seru. Hingga sore hari aku dan Vian pamit untuk pulang karena hujan juga sudah reda. "Jangan lupa dimakan ya Non, emak buatin aam serundeng kesukaan non," mak Sum memberikan kresek kepadaku setelah aku dii luar siap untuk naik motor lagi. "Makasih ya Mak, kan jadi ngerepotin emak lagi" "Enggak non, emak seneng bisa masak buat non, apalagi bisa ketemu non gini, rindu emak terobati" aku hanya tersenyum menanggapi. "jalan dulu ya mak, " aku dan Vian menyalami mak Sum. "Iya, hati hati ya non di jalan, gak usah ngebut bawa motornya Non," Aku melambaikan tanganku ketika motor yang dikendarai Vian berlalu. Rasanya begitu lega setelah ziarah ke makam, rindu yang selalu ada sedikit terobati. Udara begitu segar setelah hujan reda, kendaraan tidak terlalu padat, aku memejamkan mata dan menghirup udara dalam dalam. senyum tersungging di bibirku, hidup tak begitu buruk, kamu hanya perlu menikmati, masih banyak hal hal kecil yang bisa membuat tersenyum dan menenangkan. Tidak ada satu ujian pun yang tak bisa terlewati. Waktu akan terus berjalan, dan kamu hanya perlu melewatinya. Dan satu hari telah kulewati dengan baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD