Prolog

841 Words
"Kita harus mengakhiri hubungan ini!" Gadis yang tengah menunduk lesu itu pun kini mengangkat wajahnya menatap kaget. Matanya beradu pandang dengan lelaki di hadapannya diiringi dengan rasa tak percaya. Setelah hampir 3 tahun berpacaran, dengan semudah itu dia rela memutuskan hubungannya. Apa yang dia katakan? "A--apa? Meng--mengakhiri hubungan?" ulang sang gadis terbata-bata. Lelaki beriris mata coklat gelap itu mengangguk. Keyakinan akan keputusan yang ia ambil sepertinya tidak bisa diurungkan lagi. "Iya. Setelah aku pikirkan matang-matang, ada baiknya kita memang harus berpisah..." tukasnya mantap, bahkan dengan sangat yakin menatap iris mata gadis beraksen Indo-Amerika itu yang tengah tergugu di tempatnya kini. Berpisah? Kenapa harus dengan cara itu? Apa tidak ada cara lain yang lebih-- "Maaf, Sid ... aku tidak bisa berlama-lama lagi di sini. Kuharap kau bisa hidup bahagia bersama lelaki pilihan orangtuamu itu. Maafkan aku, karena pada akhirnya aku tidak bisa mewujudkan semua impian yang kita khayalkan selama ini," tuturnya mengakhiri, bahkan tanpa menunggu respon dari sang gadis yang masih terkejut akan pernyataan yang didengarnya, lelaki itu lantas beranjak dan pergi meninggalkan meja yang kemudian mendadak terasa hampa nan dingin bagi si gadis yang tertegun di tempat. Gadis itu mengedipkan mata. Perlahan, buliran bening pun langsung berjatuhan membentuk aliran sungai kecil di kedua belah pipinya. Gadis itu telah menangis dalam diam. Hatinya serasa disayat oleh silet berkarat hingga perihnya berlipat ganda. Detak jantungnya seolah mendadak berhenti, tatapannya pun kosong seakan tak berjiwa. Cinta yang dirajut selama 3 tahun lamanya, kini harus kandas hanya karena keputusasaan sang lelaki yang tidak mau memperjuangkannya sama sekali. Sang gadis tersenyum miris, 'bahkan dia sama sekali tidak mau berjuang untuk mendapatkan restu orangtuaku...' --- Gadis berambut panjang sepunggung dengan bentuk ikal di ujung-ujungnya kini tengah berjalan gontai di pinggiran jalan. Beberapa menit yang lalu, dia meninggalkan kafe yang telah menjadi saksi bisu tatkala cintanya harus kandas karena keputusan sepihak sang lelaki. Dia bahkan masih tidak percaya kalau kekasih yang dulu dibanggakannya justru memilih mundur dan mengalah hanya karena rencana orangtua sang gadis yang ingin menjodohkannya dengan anak dari sahabat lamanya. Ya Tuhan! Malang sekali nasibku Gadis itu terus berjalan, tatapannya masih kosong. Pikirannya melayang ke mana-mana, membuat kedua kaki jenjangnya tak beraturan ketika melangkah. Bahkan saat ini, dia sudah berjalan ke arah tengah jalanan. Gadis itu tidak menyadarinya sama sekali. Dia hanya memikirkan nasib cintanya yang harus pupus. Di saat ia ingin diperjuangkan, justru orang yang diharapkannya malah mundur untuk menjauh. Apa lelaki itu tidak mencintainya? Sampai-sampai tidak ada usaha sedikit pun untuk mempertahankan hubungannya. Aku memang gadis yang malang! Di tengah langkah yang masih gontai tak tau arah, tiba-tiba suara klakson berbunyi dari arah belakang. Tin tin. Gadis itu tetap berjalan. Dia benar-benar tidak fokus, bunyi klakson pun tidak benar sampai ke indra pendengarannya. Tin tin. Dua kali sudah sang pengemudi membunyikan klaksonnya. Tapi si gadis masih belum juga menyadarinya. Sampai akhirnya, didera rasa jengkel karena gadis di hadapannya tidak mau menyingkir, seorang lelaki bersetelan pakaian kantor pun tampak keluar dari Range rover putihnya yang diberhentikan sembarangan di tengah jalanan lengang itu. Si pemilik mobil tersebut harus menegur langsung gadis itu. Malah lelaki beriris abu itu mengira bahwa si gadis ber-dress merah muda yang menghalangi jalan kemudinya tuli karena tidak mendengar ketika klaksonnya beberapa kali dibunyikan. Lelaki itu melangkah lebar menghampiri sang gadis yang berjalan lamban. Tangannya terulur menahan pundak sang gadis. Membuat si pemilik pundak tersentak lalu tersadar dari lamunan kemalangannya. Gadis itu kini menoleh ke belakang dan mendapati seorang lelaki yang mendadak terkejut saat melihat wajah sang gadis. "Kau?" Si gadis mengernyit, tubuhnya sudah berbalik. Kini, ia menatap bingung lelaki di hadapannya. "Siapa kamu?" tanya sang gadis mengernyit. "Apa namamu Sidney?" si lelaki malah bertanya balik. Gadis itu terkejut, dia tidak menyangka kalau lelaki ini mengetahui namanya. Siapa dia? Apa dia mengenalnya? Atau keberadaannya di ibu kota Indonesia ini cukup terkenal sehingga orang asing sekalipun mengenal namanya dengan sangat baik. "Ya, Namaku Sidney, lalu siapa kamu? Dari mana kamu tau namaku?" Merasa tebakannya tidak salah, lelaki itu pun tersenyum semringah. Tanpa diduga, tiba-tiba ia merentangkan kedua tangan dan memeluk gadis di hadapannya yang sontak membuat sang gadis terbelalak bercampur terkejut. "Hei! Apa yang kau lakukan?" teriak Sidney mulai meronta. Alih-alih dilepas, pelukannya malah semakin dieratkan. Lelaki itu bahkan tersenyum senang di balik tubuh Sidney yang masih dipeluknya. Dia merasa lega sekarang. "Lepaskan aku berengsek! Aku tidak mengenalmu dan--" "Diamlah seperti ini! Aku Paris, lelaki yang akan menikah denganmu tak lama lagi. Jadi, biarkan aku memelukmu sebelum kita berbicara banyak mengenai konsep pernikahan kita...." tuturnya menyela dan berhasil membuat tubuh ramping Sidney menegang dalam pelukan lelaki yang mengaku sebagai Paris. Sidney tercengang. Paris? Jadi, dia lelaki yang akan dijodohkan denganku? Dan tanpa sepengetahuan Sidney, dari kejauhan, lelaki yang sudah memutuskan hubungannya di kafe tadi tampak mengeraskan rahang saat menyaksikan dua manusia yang tengah berpelukan di tengah jalanan sana. Sorot matanya menajam seperti elang, "Jadi pria itu yang akan dijodohkan dengan Sidney? Jika aku tau dari awal, maka demi Tuhan aku tidak akan bertindak bodoh untuk merelakan Sidney jatuh ke tangan b******n Paris!!!" Tunggu aku, Sid! Sepertinya, aku akan mengubah keputusan yang sudah kubuat sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD