PROLOG

1099 Words
Happy Reading ... - Adira Darsa Rajendra, lelaki berusia 30 tahun yang mempunyai paras wajah tampan, rahang tajam, sorot mata elang, serta lesung pipit yang ia sembunyikan dibalik pipi kanannya yang membuatnya sangat manis jika tersenyum lebar. Adira merupakan anak pertama dari Keluarga Konglomerat di Seoul, Korea Selatan. Keluarga bapak Jayantaka Kresna Rajendra ini sangat berpengaruh dan di segani oleh negaranya, karena mereka mampu membawa dampak begitu baik untuk kemajuan rakyat dan negara di Seoul, Korea Selatan. Adira mempunyai tanggung jawab besar sebagai pemegang perusahaan pusat milik ayahnya. Ia harus bisa memimpin dan menghandle semua kegiatan, serta ia harus memberikan dampak besar untuk masyarakat sekitarnya. Tidak sulit bagi Adira yang memang sejak kecil sudah terjun dalam dunia bisnis dan politik. Ia belajar dan bersekolah fokus pada bidang bisnis dan politik. Bahkan saat Adira berumur 15 tahun, ia sudah mendirikan Caffee Shop di Jalan Mangnidan-gil dengan konsep interior Caffee yang ia pilih sendiri. Adira pun bahkan melakukan promosi dan pelayanan mandiri sebelum akhirnya ia merekrut pekerja paruh waktu di Caffee miliknya. Sejak kecil Adira sudah disibukkan dengan urusan masa depannya. Maka dari itu, Adira sangat sulit dalam berinteraksi dengan orang untuk bisa menjadi dekat dengannya. Tak jarang temannya mengatakan bahwa Adira adalah orang Independent. Semua ia lakukan sendiri, tanpa ada bantuan teman atau guru yang mengajarnya. Hal itu malah membuatnya tidak memiliki teman, karena menganggap Adira sebagai orang yang tamak. Hari ini adalah Hari Kamis, dimana Adira sedang duduk di kursi kekuasaannya untuk memimpin rapat guna membahas evaluasi perusahaan tiga bulan terakhir. Wajahnya tampak dingin, sorot matanya melihat dengan tajam kearah layar proyektor yang menampilkan data perkembangan perusahaan sejak tiga bulan terakhir, tak lupa telingannya juga menangkap dengan cepat setiap suara yang penyaji keluarkan untuk menjelaskan setiap detailnya. “Baik, itu adalah penjelasan dari penyaji kami untuk laporan perkembangan perusahaan setiap tiga bulan sekali. Bapak Adira, dipersilahkan untuk memberikan komentar.” Ucap Daffin Daniswara selaku moderator pemimpin presentasi. Adira mengetukkan jari telunjuknya beberapa kali diatas meja, membuat suara bising yang menggema seantero ruangan rapat. Mata tajamnya terus menyusuri setiap detail laporan dan pikirannya berkelut pada penjelasan yang sudah dipaparkan oleh Yara Thalia selaku penyaji perusahaan. Semua orang tampak diam dan saling tatap karena Adira tidak kunjung mengeluarkan suara untuk memberikan komentar. Perasaan khawatir mulai muncul di setiap anggota rapat, karena melihat reaksi yang Adira keluarkan menunjukkan bahwa ia tidak puas pada hasil yang ada. “Siapa yang hanya menggunakan ide turun di jalanan untuk pemasaran?” tanya Adira setelah diam sekian lama.  Kenzie Daryata mengangkat tangan kanannya, “Itu adalah ide promosi team kami pak, dan sudah kami sepakati bersama,” jawab Kenzie tegas selaku Ketua Team Pemasaran di perusahaan. Adira menghela, ia menunjuk kearah data yang menurun pada laporan perusahaan. “Lihat, apakah efisien ide yang kau gunakan? Bukankah ide itu semakin membuat team mu kelelahan saat bekerja?” tanya Adira dengan menatap tajam Kenzie. Adira mengangguk, “Ide mu sudah bagus, tapi jika team mu hanya mengandalkan pemasaran tatap muka secara langsung, itu akan menghambat kinerja perusahaan. Pikirkan dan perbaiki lagi kinerja team mu, saya tunggu laporannya.” Jelas Adira yang langsung diangguki oleh Kenzie. Rapat sudah berjalan selama tiga jam penuh tanpa adanya istirahat. Kini rapat pun selesai, dan semua orang meninggalkan ruangan untuk bersiap pulang karena malam sudah tiba. Adira berjalan menuju ruangannya seorang diri karena ia sengaja menyuruh Asistennya Arsenio Abraham untuk pulang lebih dulu. Suasana tenang mendominasi ruangan minimalis milik Adira. Adira tampak berjalan menuju kursi kekuasaannya yang tertata rapi. Ia merenggangkan otot-ototnya karena merasa lelah hari ini. Ponselnya berberunyi dengan tiba-tiba membuatnya sempat terkejut. Adira pun meraih ponselnya dan menemukan panggilan masuk dari ayahnya Jayantaka. “Halo nak, apa pekerjaan mu sudah selesai?” “Aku belum menyelesaikannya. Ada apa? “Datang ke rumah sekarang, ada yang ingin ayah sampaikan,” “Maaf aku tidak bisa. Pekerjaan ku sangat menumpuk,” “Apa kau menolak perintah ayahmu sendiri? Cepat datang dan jangan terlambat.”   Adira menghela napas kesal saat telepon diputus sepihak oleh ayahnya. Ia tahu kemana pembicaraan yang ayahnya ingin bicarakan padannya saat ini, hal itulah yang membuat Adira sangat malas jika berkunjung ke rumah orang tuanya.     -     Adira melangkah masuk kedalam rumah besar milik kedua oarang tuanya. Ia berjalan menuju ruang keluarga, dimana mereka suka berkumpul dulu. Disana sudah ada Jayantaka Kresna Rajendra, Sarah Nefertari Rajendra, dan adik bungsu Adira yaitu Nata Nararya Rajendra. Mereka sudah berkumpul dan menunggu Adira untuk sampai di rumahnya. Adira tampak memberi salam pada kedua orang tuanya itu. Sudah empat bulan terakhir kali ia menghampiri rumah kedua orang tuanya ini, karena Adira disibukkan dengan pekerjaan dan ia juga sudah pindah di rumah yang dibelinya sendiri menggunakan uangnya. “Kenapa ayah menyuruhku datang? Bukankah ayah biasanya berbicara padaku melalui telepon?” ucap Adira tanpa basi-basi. Jayantaka mengangguk dan tersenyum hangat kearah putra sulungnya. Ia memaklumi sikap Adira yang sedari dulu tidak berubah. “Apa kamu tidak merindukan ayah dan ibumu?” tanya Jayantaka lagi mengulur waktu. Adira menghela napas berat, ia menatap ayahnya seolah memohon untuk tidak mengulur waktu. Jayantaka paham dengan tatapan putra sulungnya itu. Ia tersenyum seraya menyuruh Adira untuk duduk terlebih dahulu. Adira menuruti perintah ayahnya untuk duduk tepat di hadapan mamanya, Sarah. “Menikah lah nak dengan putri tunggal keluarga Wangsa,” ucap Jayantaka di sela keheningan yang dirasakan keluarganya ini. Adira menatap kesal ayahnya itu. Ia menggeleng dengan cepat menolak permintaan ayahnya, “Maaf ayah, Adira tidak akan melakukannya,” jawab Adira tegas. “Nak kau juga harus bahagia,” sahut Sarah dengan suara lembut yang selalu dapat menenangkan Adira. Adira menatap lembut Ibunya, ia menggeleng tegas menolak perkataan Sarah. "Ayah menyuruhku menikah hanya untuk keperluan perusahaan, itu tidak akan membuatku bahagia sama sekali,” balas Adira dengan mimik wajah tegas dan suara yang berat. Adira berdiri, ia menatap kearah ayahnya sebentar sebelum ia benar-benar pergi dari sana. “Adira tidak akan pernah mau untuk melakukannya ayah, setidaknya ayah bisa menikahkan dia dengan Nata sebagai gantinya,” ucap Adira. Jayantaka menggebrak meja, ia berdiri dan menghentikan Adira yang terus berjalan meninggalkan mereka dengan tidak sopan. “Kau harus membalas jasa orang tua mu yang sudah mendidik dan membesarkan mu Adira. Kau juga harus membayar kesalahan yang kau perbuat karena merosotnya saham selama setahun terakhir akibat kelalaian mu menjalankan bisnis,” ucap Jayantaka tegas. Adira mengepalkan kedua tangannya kuat dibalik saku Jas yang ia kenakan. Napasnya mulai memburu karena ia merasa kesal, hatinya merasa sakit akibat perkataan Jayantaka yang menyinggungnya. “Jemput dia besok jam sebelas siang, di Hanlim Arts School. Besok adalah hari wisudanya,” lanjut Jayantaka tegas. Adira tidak menghiraukannya, melainkan ia melangkah untuk keluar dari rumah yang membuatnya sangat tidak nyaman jika berada di dalamnya. Adira memasuki mobilnya setelah berhasil keluar dari rumah orang tuanya. Ia memukul setir dengan keras, meluapkan amarahnya pada ayahnya karena terus mengatur hidupnya meski ia sudah menginjak usia dewasa sekalipun. “Arrgghhh,” teriak Adira lepas. Bahkan ia dijodohkan dengan gadis muda yang baru lulus SMA. Itu malah membuatnya merasa tersiksa, karena ia harus menjaga dan merawat gadis itu yang usianya lebih muda darinya. - Jangan lupa komentar dan lovenya untuk mendukung cerita ini terus berlanjut ^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD