Metamorfosa kehidupan Rayyan

2035 Words
Rayyan POV Ku langkahkan kakiku keluar dari kediaman orang tuaku. Menjauh dari keluarga yang amat sangat mencintai sepanjang usiaku hingga genap 26 tahun. Ya Allah... Sungguh amat berat langkah ini, karena aku begitu mencintai kedua orang tuaku juga kakak dan adikku. Apalagi saat ini aku melihat air mata bunda yang terus meleleh karena menyaksikan kepergianku. Ku putar tubuhku. Kembali mendekat ke arah bunda. Menghapus setiap jejak air mata yang mengalir di pipinya. Kemudian mengecup pipi bunda bergantian. Sungguh aku menyayanginya lebih dari apa pun. Kecuali Allah. Allah is number one only. "Bunda, Rayyan pergi ya. Bunda jangan lupa jaga kesehatan Bunda. Rayyan sayang sama Bunda." Aku berusaha bicara selembut mungkin. Namun nyatanya tangis Bunda malah semakin pecah diiringi dengan isakkan yang pilu. "Rayyan ... hiks ... Memangnya harus ya kamu pergi dari rumah ini? Hiks ... Bunda ga akan sanggup jauh dari kamu ... hiks ... Selama ini kamu selalu ada untuk Bunda ... hiks ... selalu ada di dekat Bunda ... hiks ...." ucap bunda sambil memeluk tubuhku dengan sangat erat. Kini aku sudah tak sanggup menahan air mataku. Ingin sekali aku membatalkan perjanjian gila yang sudah ku buat sendiri dengan Mr. Felix. Tapi apalah daya... Semua ini demi kebaikan bersama. Bukankah untuk mendapatkan kebahagiaan kita harus rela mengorbankan sesuatu. "..." Aku hanya bisa diam dan membalas pelukan bunda dengan erat. Aku tak sanggup mengeluarkan kata-kata. Kulihat ayah mendekat ke arah bunda. Ayah mengusap punggung bunda dengan sangat lembut. "Sayang, biarkan Rayyan pergi. mungkin ini saatnya dia mencari jati diri. Sebagai laki-laki dewasa yang suatu saat nanti harus bisa menjadi Imam bagi keluarganya. Ikhlaskan lah. Kita doakan yabg terbaik untuk putra kita." Suara ayah sungguh teduh. Aku ingin suatu saat nanti bisa menjadi seorang pria yang bijaksana seperti ayah. Terima kasih ayah. Beliau selalu menginspirasi diriku. Dan kini aku merasakan pelukan bunda yang melonggar. Beliau mengusap wajahku. "Bunda Ikhlas ... mungkin Bunda hanya butuh waktu untuk terbiasa jauh darimu, Nak. Pesan Bunda hanya satu jaga tiang agamamu. Jaga Sholatmu. Karena jika Sholatmu baik, maka semua amalanmu akan baik," ucap Bunda lembut. " Lahaulaa walaa kuwwata illaa Billah ... aku akan selalu ingat pesan Bunda," ucapku tersenyum. Dan kini Ayah menepuk bahu ku. "Jaga iman mu baik-baik ya, Nak..." "Ya Ayah.. Doakan aku," ucapku memeluk tubuh Ayah. "Tanpa kau minta, kami selalu mendoakan yang terbaik untuk anak-anak kami," ucap ayah menepuk punggungku lembut. "Rayyan bisakah kamu menundukkan sedikit tubuhmu? Kenapa sekarang kamu jadi tinggi begini sih?" Aku terkekeh mendengar ucapan Bunda. Aku tahu kini Bunda ingin mencium keningku. Aku sangat bahagia diperlakukan seperti ini. Dan merasa sangat disayangi. Katakanlah aku pria yang manja pada Bunda. Tak apa... Karena kini hanya Bunda wanita yang bisa dijadikan tempat untuk bermanja-manja. Mungkin suatu saat nanti akan beralih kepada istri. Entah siapa istriku saat nanti tiba. Ya suatu saat nanti... entah kapan... TIN. Suara klakson sebuah mobil menyapa pendengaran kami. "Kau naik taksi? Bawa saja mobilmu... Itu milikmu, Nak." Ayah terkejut saat melihat sebuah taksi datang menjemputku. "Tidak, Ayah. Aku naik taksi saja. Ya sekalian belajar untuk hidup sederhana ... selama ini Ayah dan Bunda selalu memanjakan ku dengan kemewahan," ucapku membuat ayah kembali menepuk pundakku. "Kau anak yang sungguh luar biasa ... Ayah bangga padamu," ucap Ayah bangga sedangkan aku hanya tersenyum getir menutupi kebohongan. Ya... Aku sudah membohongi orang yang sangat menyayangiku. Hatiku seperti teriris saat melihat kebanggaan yang terselip dalam setiap perilaku dan kata-kata Ayah padaku. "Maaf Ayah ... Bunda ... maafkan Aku yang tak bisa jujur pada kalian. Aku tak mungkin menceritakan yanga sebenarnya terjadi ... karena seharusnya memang begitu. Doakan yang terbaik untukku." Aku hanya bisa membatin, kemudian masuk ke dalam Taksi yang ku pesan. "Assalamualaikum..." "Waalaikum salam..." Ayah dan Bunda menjawab salamku. Taksi melaju ke arah sebuah halte bus yang cukup jauh dari kediamanku. Aku berhenti di sana lalu duduk termenung di halte itu sambil menunggu orang suruhan Mr. Felix datang. Lagi-lagi Aku menarik nafas dan menghembuskan nya dengan amat berat. Sungguh aku tak menyangka dengan metamorfosa kehidupanku. Aku yang dulunya bercita-cita menjadi atlet bela diri. Harus mengurungkan cita-cita itu demi keluargaku, dan menjadi seorang dokter. Menggantikan Raynand yang tak mau meneruskan rumah sakit keluarga. Bahkan di saat sudah berada di titik puncak menjadi kepala dokter di sebuah rumah sakit itu, aku malah alih profesi kembali menjadi seorang psikiater pribadi dari putri pengusaha besar akibat sebuah perjanjian gila. Dan aku memang tak punya pilihan lain. Entah aku akan bermetamorfosa kembali menjadi apa? Hanya Allah yang tahu. Kadang takdir memang tak selalu seperti yang kita harapkan dan bayangkan. Kini aku hanya bisa merenungi hidup yang tak ku sangka sama sekali. Flashback Aku sungguh gelisah. Sejak kepergian Raynand bersama Aurel, hatiku tak tenang. Aku berharap tidak ada sesuatu yang buruk terjadi pada saudara kembar ku. Hati kecilku terus melafalkan doa agar sang kembaran tidak dalam kondisi berbahaya dan selalu dalam lindungan Allah SWT. Entah mengapa hatiku mengatakan akan ada hal buruk yang terjadi pada Raynand. Apalagi aku yakin setiap melihat gerak-gerik dan bahasa tubuh Aurel, aku merasa gadis itu mengalami gangguan jiwa yang terkunci. Biar bagaimanapun aku juga mempelajari beberapa ilmu psikologi melalui buku-buku yang k****a. Dengan tergesa aku menarik ponsel yang berada dalam saku celana. Kemudian mengintip notifikasi di sana. Namun sayang, tak ada satupun notifikasi dari saudara kembarku. Mendengar suara kenop pintu dibuka, aku segera menoleh. Nafas kecewa pun kuhembuskan. Karena yang datang bukan Raynand melainkan adik kecilku, Rere bersama kedua orang tuaku dan kedua orang tua Zahra. "Assalamualaikum wr," ucap mereka saat memasuki ruang perawatan Zahra. "Waalaikum salam," jawabku. "Kamu sedang menjaga calon kakak ipar mu, Nak?" tanya Bunda memeluk tubuhku. "Iya, Bun." "Kemana Raynand?" tanya Ayah. Pertanyaan ini sungguh membuatku terkejut dan refleks menjawab. "Tadi dia bilang ada pekerjaan yang tidak bisa di wakilkan, jadi dia memintaku untuk menjaga Zahra." Karena tak ingin mereka banyak bertanya, aku pun segera undur diri. "Maaf Bunda, Ayah, Ummi dan Abi... Saya mau pamit. Kebetulan saya ada jadwal, jadi saya harus segera kembali," ucapku berpamitan. Aku sengaja tidak melengkapi kalimat jadwal. Aku tak ingin berbohong karena kenyataannya. Aku bukan akan melaksanakan jadwal operasi melainkan akan menyusul Raynand. Aku sudah mendeteksi lokasi Raynand melalui bantuan Akmal. Aku akan pergi ke gedung pegangsaan untuk menyusul mereka berdua dan memastikan kondisi mereka aman. Aku tak akan bisa tenang jika harus terus menunggu kabar tanpa ada kepastian. Setelah sampai di parkiran. Aku kembali berusaha menghubungi Raynand. Namun sayang panggilan itu tak di respon sama sekali. Aku masih terus mencoba menghubungi Raynand. Dan lagi-lagi panggilanku diabaikan. Berkali-kali aku mencoba bekali-kali pula tak diangkat. Hal itu membuatku semakin was-was. Akhirnya aku pun memutuskan untuk segera melajukan Nissan Juke putih milikku menuju gedung pegangsaan. Nissan juke putih itu meliuk-liuk di jalan ibu kota. Hanya butuh waktu 15 menit sampai sana. Karena ini sudah siang dan bukan jam padat aktifitas. Sesampainya di pelataran gedung itu. Aku terkejut mendengar teriakan dua orang yang berada di atas sana. "BERTAHAN LAH..." "LEPASKAN AKU... BIARKAN AKU MATI DARIPADA AKI HIDUP HANYA UNTUK MENJADI ROBOT PENCETAK UANG... LEPASKAN AKU..." "AKU GA AKAN MELEPASKAN MU... BERTAHAN LAH!!!" "Ya Allah... Aurel? Raynand? Apa yang terjadi?" Aku sungguh bingung. Aku pun segera mencari benda untuk mendarat Aurel. Namun sayang disekitar gedung sangatlah bersih. Bahkan carton box bekas saja tak ada. "Ya Allah apa yang harus Aku lakukan? Aurel pasti terjatuh." Aku semakin panik. Aku tak mau kembaranku menjadi tersangka utama pembunuhan gadis itu jika Aurel benar-benar jatuh. Kemungkinan selamat untuknya sangat kecil. Apalagi ini adalah bangunan 6 lantai. Aku pun memikirkan sesuatu yang hampir mustahil namun bisa dia buktikan saat ini. Kekuatan pikiran... Seseorang bisa melakukan hal di luar kemampuannya karena kekuatan pikiran. Keberhasilan kekuatan pikiran tergantung dengan konsentrasi yang dipusatkan seseorang. Jika aku semakin fokus dan yakin maka kekuatan pikiran akan bekerja secara maksimal. "Ok... Rayyan... Tangan mu kuat... Perhatikan arah jatuh Aurel... Bobot tubuhnya sangat ringan... Kau kuat menahan nya..." Aku berusaha memusatkan konsentrasi pikiranku. Berharap akan memiliki kekuatan menahan bobot gadis itu. Tak lama setelah aku berhasil memusatkan pikiran dan tenaga pada lenganku. Aku mendengar teriakan yang begitu nyaring. "AAAAAAAAA..." Teriak Aurel saat terjatuh. Aku bertahan dan berusaha mensejajarkan arah jatuh gadis itu dengan tubuhku. SREEET... Tiba-tiba sebuah layer terhampar tepat menahan tubuh Aurel. Dan Aurel mendarat ke tubuh Rayyan dengan halus tanpa beban yang nyata. Layer tersebut sangat membantu menyelamatkan nyawa Aurel. Rupanya gedung ini dilengkapi dengan fasilitas sinyal untuk menyelamatkan benda yang jatuh dari ketinggian. TAP... Alhamdulillah aku berhasil menahan bobot Tubuh Aurel. Walaupun aku harus tergelincir ke belakang, karena Aurel cukup berat. Aku pun bernafas lega. Sedangkan Aurel menatap kosong wajahku, kemudian merapatkan kelopak matanya perlahan. "Aurel? Aurel? Kau tak apa?" tanyaku panik menepuk pipi Aurel. Dengan segera aku membopong tubuh wanita cantik ini masuk ke dalam gedung. Kebetulan ada beberapa bodyguard yang sedang berjaga. "Permisi, Nona kalian jatuh dari ketinggian. Kita harus segera memeriksa kondisinya," ucapku pada dua pria bertubuh kekar di hadapanku. "Mari kami antar ke ruang istirahat Nona Aurel." Aku segera mengikuti langkah para bodyguard dengan Aurel yang masih ada dalam gendonganku. Sesampainya di sebuah ruangan, aku segera memeriksa kondisi nadi Aurel. Bersyukur gadis itu pingsan hanya karena syok. Setelah memastikan Aurel berbaring dengan nyaman, aku segera pergi untuk mencari Raynand. Dan aku diantarkan hingga di depan sebuah pintu besi yang kokoh dengan dua bodyguard yang berjaga dan satu kepala bodyguard yang sangar. "Permisi... Tolong ijinkan saya masuk. Di dalam sana ada saudara kembar saya," ucapku yang ditolak mentah-mentah. Aku pun mengamuk berharap dengan berbuat keributan, aku bisa dipersilakan masuk ke ruangan. Alhasil rencanaku berhasil. Aku pun dipersilakan masuk. Aku terkejut melihat kondisi Raynand yang lemah di atas sebuah kursi listrik. Aku yakin pria tua yang ada di dalam ruangan sedang menyiksa Raynand. Aku pun memberanikan diri bicara. "Saya hanya ingin memberi penawaran kepada anda... Dan saya yakin anda akan tergiur. Jadi saya memohon kepada anda untuk melepaskan Kakak saya." "Jika saya melepaskan Kakak anda... Apa jaminan nya?" "Saya," ucap Rayyan tenang. Flashback end. TIN... Suara klakson mobil menyapa gendang telingaku. Membuatku segera mengalihkan pandangan ke arah datangnya suara. Aku tersenyum melihat seorang sopir pribadi dengan setelan jas lengkap dengan sebuah pin emas di d**a kirinya. Sungguh luar biasa Mr. Felix. Sopir saja sekeren ini penampilannya. Pria itu membuka pintu untukku. Dan membungkuk penuh hormat saat mempersilahkan diriku masuk ke mobil mewah berlogo lingkaran dengan warna biru putih. Luar biasa. Seperti inikah hidup menjadi seorang dari kalangan jetset? Aku duduk dengan tenang hingga mobil hitam mengilat itu berhenti di depan sebuah mansion bernuansa emas dan putih gading. Aku kembali tertegun melihat gerbang yang membuka secara otomatis. Kulangkahkan kakiku memasuki rumah mewah, setelah beberapa bodyguard membukakan pintu untuk ku. "Mari Tuan ... saya akan mengantar anda ke kamar.” "Terima kasih ... emm ... di mana Mr. Felix?" "Mr. Felix ada di ruang kerjanya. Saya diperintahkan olehnya untuk mengantar Tuan muda dan memberitahu lokasi kamar Nona Aurel." "Owh begitu ... terima kasih..." Baru saja aku menunduk untuk berterima kasih kepada mereka. Koperku sudah di ambil alih oleh kepala Maid istana ini. "Tidak usah, Bu. Biar saya saja yang membawanya." "Tidak, Tuan muda. Ini memang tugas saya dan saya diperintahkan untuk menghormati para tamu Tuan besar. Panggil saja saya Bibi Ana," ucap wanita paruh baya tersebut padaku dengan sopan. "Baik. Terima kasih, Bibi Ana," ucapku kemudian berjalan mengikuti salah satu bodyguard yang akan mengantarku ke kamar. Dan... aku semakin tertegun menatap indahnya mansion ini. Ruangan yang sangat luas ini tertata sempurna dengan nuansa emas. Tak lupa pilar-pilar besar dengan goresan artistik yang sempurna melengkapi kesempurnaan penampilan ruangan ini. Semua lukisan dan guci yang di pajang adalah barang antik yang dilelang pada perkumpulan para Billioner. Sungguh luar biasa. "Silahkan Tuan muda, ini kamar anda dan untuk akses ke kamar Nona Aurel anda bisa memasukinya melalui pintu di dalam kamar anda," ucap Bodyguard itu membungkuk padaku. Aku semakin kikuk karena tak pernah diperlakukan sedemikian rupa. Rasanya seperti di kerajaan Inggris saja. Ha-ha-ha. Padahal aku belum pernah ke sana, namun dalam bayanganku situasi seperti ini seperti hidup di lingkungan kerajaan di mana aku adalah putra mahkotanya. "Terima kasih," ucapku kemudian masuk ke kamar ku. Dan bergerak mendekat ke sebuah pintu putih dengan aksen emas di setiap ukirannya. Pintu itu adalah satu-satunya akses ke kamar pasien pertama ku sebagai seorang psikiater dadakan. Aurel... Tapi... Begitu pintu itu aku buka, hatiku teremas saat melihat kondisi Aurel yang menggenaskan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD