1 - I'm not Key

2191 Words
"Pemirsa. Tercatat sepekan terakhir di kota Jakarta, rentetan kasus kriminalitas cukup meningkat. Mulai dari kasus pencurian dan pembunuhan. Dengan rentetan kejadian itu. Kombespol Damar selaku Satreskrim Polri menghimbau warga Ibu Kota untuk tetap waspada.” IDN News, 2015 ••••• KEDUA netra Kay terus fokus menatap pemandangan di sekitarnya. Jujur saja, ia begitu terkesima melihat gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi dari balik kaca jendela mobil yang ditumpangi. Lahir di kota ini, tetapi ia tak pernah sedikit pun menikmati indahnya kota Jakarta. Kini, laki-laki dengan iris mata berwarna cokelat itu juga tak henti menatap hiruk-pikuk ramainya kendaraan dan orang-orang yang berlalu-lalang silih berganti. Kay mendesah ringan. Entah kenapa, terlepas dari jalanan yang ramai, ia merasa jika individu yang tinggal di dalamnya justru malah merasa sepi. "Jakarta itu ramai dan indah, Kay. Tapi, terlepas dari keindahan itu, orang-orangnya justru malah merasa sepi. Di mana hiruk-pikuknya ibu kota, kesibukan para pekerja, orang-orang para pengejar kereta, mereka yang selalu diburu oleh waktu, sudah habis tenaga dan tampak lesu saat malam selepas pulang kerja." Ya, Kay ingat jika hal itu yang selalu dikatakan oleh eyang Fura saat dirinya bertanya akan kota Jakarta. Miris memang. Namun, mau bagaimana lagi? Sebab, mereka harus mau banting tulang untuk menaklukkan kerasnya ibu Kota demi bisa melanjutkan hidup. Jika tidak, sudah pasti mereka akan menjadi manusia-manusia yang tak bermoral hingga menambahkan angka tingginya kasus kriminalitas di wilayah ini. Namun, Kay terenyuh saat melihat pemandangan yang begitu menyayat hati. Sebuah pemandangan yang sangat berbanding terbalik 180° dengan apa yang dilihatnya tadi. Manik matanya tak henti menatap rumah berjejer di pinggir kali yang tak layak ditempati, dengan ukuran yang mungkin hanya bisa ditinggali oleh satu orang dewasa saja, akan tetapi mereka memaksakan untuk dihuni satu kepala keluarga. Ada pula para manusia-manusia yang tinggal di kolong jembatan dengan beralaskan kardus seadanya. Ia berani bertaruh jika mereka semua adalah para pendatang yang mencari peruntungan di kota ini tanpa skill yang mereka punya. Tatapan Kay beralih ke arah kaca spion mobil yang menampakkan wajah seorang pria setengah baya yang ditaksir usianya 40 tahun. Pria itu ialah pak Sonni yang merupakan supir pribadi sang ayah yang kini tengah fokus mengemudi. Kini, ia melihat pak Sonni tampak memutar volume radio yang tengah menayangkan siaran berita. “Ayah itu seperti apa?” tanya Kay memulai pembicaraan, memecah sunyi di antara keduanya. “Maksudnya ayah tuan?” tanya Sonni berhati-hati sambil terus memperhatikan jalan. “Tentu saja," jawab Kay dengan terus memandang supir yang kira-kira umurnya sekitaran sang ayah. Sonni tersenyum. Ia terus menatap anak majikannya itu melalui kaca spion mobil. Lalu, ia pun mulai menjawab, “Beliau orang yang baik. Kelihatannya pemarah tapi sebenarnya beliau adalah orang yang tegas." Kening Kay mengernyit. “Baik? Benarkah dia pria yang baik?" Ia masih menatap pria itu dan melanjutkan pertanyaannya, "jika memang menurutmu dia baik, lalu kenapa dia membuangku?” Kay mendesah ringan. Ia membuang mukanya ke samping sesaat sebelum kembali menatap pria di hadapannya. Ia tak pernah mengira jika berani menanyakan hal yang seharusnya dipendamnya seorang diri saja. Sementara Sonni berdehem, tetapi memilih untuk tak menjawab apapun. Pandangan Kay berpaling ke arah luar jendela kembali. Ia menatap langit berwarna biru dan mulai mengingat semua memori kehidupan kelam yang dialaminya selama ini. Ya, ia memang lahir di Jakarta, tetapi dibesarkan oleh eyang Fura di kampung yang jauh dari kota ini. Oleh sebab itu, ia selalu merasa jika kedua orang tuanya itu tak pernah menginginkan keberadaannya. Ditambah lagi dari cerita eyang yang pernah didengar, sepertinya mereka memang sengaja membuang dirinya. Ah, malang sekali nasibnya. Lagi-lagi Kay mendesah pelan, kedatangannya ke Jakarta juga bukan tanpa maksud. Kedua orang tuanyalah yang telah meminta Kay--lebih tepatnya--membujuk untuk ‘pulang’ ke rumah untuk melakukan sesuatu yang tak disukainya. Sonni menatap Kay yang tengah termenung. “Aku yakin beliau punya alasan sendiri telah memisahkan tuan dengan tuan Key,” hiburnya kemudian yang memecahkan kesunyian di antara keduanya. Kay termangu. Ucapan pria itu berhasil membuyarkan lamunannya yang sudah jauh di atas langit. Ia pun memalingkan wajah ke arah Sonni yang tengah tersenyum sambil terus menyetir. “Tuan Key juga tidak sebahagia apa yang tuan bayangkan,” ucap Sonni lagi. Kay mendengkus kesal. Entah kenapa mendadak dadanya terasa bergemuruh hebat saat Sonni menyebut nama itu di hadapannya. “Jangan sebut nama Key lagi, aku tidak suka!” katanya lalu membuang muka ke jendela. Kenapa pria itu harus menyebut nama Key? Orang yang selama ini membuat Kay iri. Bagaimana tidak? Jika ia adalah anak yang dibuang mungkin Key-lah yang menjadi anak terpilih di antara mereka. Kendati begitu, jujur saja jika bukan Key yang dibenci, tetapi tetap saja ia tidak pernah suka siapa pun menyebut nama Key di hadapannya. “Masih lama?” Kay mengatur nada bicaranya agar tak terdengar membentak atau marah. “Sebentar lagi,” jawab Sonni. Kemudian ia membelokkan mobil ke salah satu gang komplek dan berhenti di depan rumah besar dengan pintu pagar yang megah. Kay memandangi pagar yang perlahan terbuka dengan sendirinya, dan kemudian mobil berjalan masuk. Kini mobil mewah itu telah terparkir rapi di garasi. Ia pun segera keluar saat yang sama aroma tanah basah menguar masuk ke dalam hidungnya saat dipijaki. Ah, sepertinya hujan baru saja mengguyur tanah ini. Bergegas, kaki panjangnya menuju ke bagasi dan mengambil tas dari dalam sana. “Kay!” pekik suara seorang wanita dari belakang tubuh Kay. Kay mendongakkan kepala dan menemukan wajah ibu dengan senyum bahagianya. Jujur saja, ia tak tahu itu kepura-puraan atau memang tulus dari hati wanita itu. Ia pun hanya menatapnya dan bergeming. Sementara, wanita itu melangkahkan kaki mendekat kearah sang putra tercinta, kemudian membentangkan tangannya hendak memeluk Kay. Dengan sigap Kay mencegahnya. “Aku tidak suka dipeluk,” katanya. Innara tercengung. Ia merasakan dadanya begitu sesak saat mendapat penolakan dari anak yang dirindukannya. Ia pun mengurut d**a menetralisir kekecewaan supaya lekas lenyap di jiwanya. “Jaga sikapmu Kay!” bentak Hakim dengan suara beratnya dari belakang ibu. Sementara Kay menoleh ke arah lain, sebab tak ingin melihat wajah pria itu. “Tatap lawan bicaramu saat dia sedang berbicara padamu, Kay!” bentak Hakim lagi. Kay mendengkus kesal. Huh! Baiklah jika itu kemauan pria itu. Ia pun menatap sang ayah, lalu menghempaskan napas kasar. “Sikapmu itu berbeda sekali dengan Key,” kata Ayah masih dengan suara beratnya. “Aku bukan dia,” kata Kay cepat. Oh, sungguh, ia tidak suka disamakan dengan saudara kembarnya itu. Kenapa semua terus menyebut nama laki-laki itu? Sungguh, rasanya begitu menyesakkan untuknya. “Kay.” Innara menatap wajah sang anak. Kedua manik matanya bergetar menahan gejolak derai air mata supaya tak tumpah. Ia juga mencoba menengahkan perdebatan antara keduanya agar tak menjadi pertengkaran hebat. Kay menatap ibu dan ayahnya bergantian dengan tatapan tak suka. “Aku masuk dulu,” ucapnya, kemudian melangkah melewati mereka tanpa memedulikan ekspresi wajah yang ditunjukkan kepadanya. Hakim mengembuskan napas gusarnya. “Aku harap dia segera berubah,” ungkapnya lirih. Kendati begitu, Kay bisa mendengarnya samar-samar sebelum masuk ke dalam rumah yang begitu mewah ini. •••••• Kay melempar tas ranselnya ke sembarang tempat. Ia membuka sepatu, jaket dan topi yang dikenakan dan memperlakukan hal yang sama seperti tas ranselnya. Kemudian, ia merebahkan tubuh di atas kasur besar dan empuk dengan merentangkan kedua tangan ke samping. “Apa dia bilang? Berubah? Dia pikir semudah itu membuatku berubah? Eyang yang membesarkanku saja tidak pernah bisa membuatku berubah apalagi dia.” Kay mulai bergumam tak jelas. Kay mengembuskan napasnya. Ia menatap langit-langit kamar berwarna biru di hadapannya. Terasa sedikit menenangkan saat melihat itu. Ditambah lagi dengan semilir angin yang berembus melalui kaca jendela kamar yang terbuka lebar. Membuat gemuruh di d**a seketika luruh. Kay dan Key memang lahir dari rahim yang sama, tapi takdir keduanya benar-benar berbeda. Ia selalu berpikir begitu beruntungnya laki-laki itu menjadi anak yang terpilih. Sementara ia adalah anak yang terbuang. Tok … tok … tok …. Suara ketukan pintu yang menggema berhasil membuat sadar lamunannya. Kay mendesah pelan sebelum akhirnya bangkit dan membukakan pintu. Namun, ia tertegun saat menemukan wajah ibu dengan senyumannya di balik pintu saat membukanya. “Kenapa?” tanya Kay datar lalu berbalik dan duduk di sebuah kursi. Innara melangkahkan kedua kakinya masuk ke dalam kamar sang anak dan mendekati laki-laki itu. “Aku hanya ingin mengobrol denganmu,” jawabnya kemudian. Namun sayangnya, Kay tampak membuang mukanya. “Bagaimana kabarmu selama ini?” tanya Innara lembut sambil mendaratkan bokongnya di tepi ranjang. “Aku kesepian,” ucap Kay sinis. Sesaat keduanya saling bergeming dan hanya terdengar embusan napas keduanya. “Maafkan ibu, Kay. Maafkan juga ayahmu,” pinta Innara memohon. Kay memilih menatap wajah wanita yang telah melahirkannya itu. “Apa meminta maaf dapat merubah kehidupanku yang sebelumnya?” tanyanya makin sinis. Ia melihat ada raut penyesalan di kedua mata wanita itu, tetapi tak lantas membuatnya luluh dan memaafkan mereka. “Hampir dua puluh tahun aku tidak mendapatkan rasa sayang kalian, apa aku harus memaafkan kalian segampang itu?!” seru Kay membuat sang ibu menangis. Inara merasakan dadanya terasa ngilu layaknya tengah tercabik-cabik sebilah pisau tajam saat mendengar pengakuan dari sang anak. “Kami menyadari kesalahan kami, Kay. Untuk itu aku membujukmu untuk datang kemari,” jawabnya sambil terisak. Kay menghela napas dan membuang muka. Menatap pigura foto Key yang tersenyum bahagia. “Aku bukan Key yang gampang memaafkan orang lain, Bu,” ucapnya lirih. •••••• Khalisa menata satu persatu pakaian dan memasukkannya ke dalam koper berwarna pink yang diletakkan di atas ranjang. Satu tahun sudah hidup di negeri orang yang ternyata tak seindah hidup di negaranya sendiri. Jika karena bukan mendapatkan tawaran magang di perusahaan Kawaii di negara Jepang, sudah pasti ia tak akan mau meninggalkan negaranya. Sebab, ia tak bisa hidup jauh dari orang yang sangat dicintainya, Key. "Selesai," ucapnya riang sambil menepuk kedua tangannya. Lalu, ia beranjak dari ranjang dan menuju ke jendela kamar yang terbuka lebar. Khalisa memejamkan kedua netranya sesaat dan mengirup lekat aroma musim gugur yang seketika menyeruak masuk ke dalam kamarnya. Ia ingin menikmati aroma itu lebih lama, sebab esok dirinya sudah tak bisa lagi melakukan hal itu. Ya, besok ia harus meninggalkan negara yang penuh kedisiplinan ini menuju ke negara Indonesia tercinta. Khalisa tersenyum. Ia sudah tak sabar untuk sampai di negaranya dan bertemu dengan sang pujaan hati tercinta. Kini, memori indah bersama Key seakan tampak di hadapannya. Bagi Khalisa, Key merupakan laki-laki yang hangat dan begitu mencintainya. Ia sangat bersyukur bisa mengenal Key dan menjadi gadisnya. "Key, kalau kita sudah besar nanti kita akan menikah, kan?” tanya Khalisa saat usianya baru 10 tahun. “Tentu saja,” sahut Key dengan ceria dan tersenyum membuat matanya seperti hilang. Khalisa terkekeh saat mengingat momen itu. Ia memang sudah dekat dan mengenal Key sejak 10 tahun yang lalu hingga tak heran jika dirinya begitu hafal akan kesukaan atau yang tak disukai oleh laki-laki itu. "Kau akan pulang?" tanya Irene yang merupakan teman sekamar Khalisa selama satu tahun ini. Seorang gadis berparas cantik yang berasal dari negara Thailand, bahkan sudah faseh berbicara dengan menggunakan Bahasa Indonesia karena ketertarikannya akan budaya Indonesia. "Hmmm … kapan kau akan pulang?" Irene mendesah ringah seraya mendaratkan bokongnya di atas ranjang dengan menatap Khalisa yang masih berdiri di belakang jendela. Jujur saja, ia merasa iri kepada gadis itu. Sebab, sudah dua tahun ia magang di sini, tetapi belum bisa kembali ke negara asalnya. Irene menggeleng lemah. "Aku belum tahu kapan bisa pulang." Ia memberenggut, "tugasku masih banyak di kantor," ungkapnya. Khalisa tersenyum dan menghampiri gadis itu. Ia pun menepuk pundak Irene. "Ganbatte, ne," hiburnya dengan memasang wajah imut seraya mengedipkan kedua matanya yang berhasil membuat Irene tertawa. "Aku yakin kau bisa menyelesaikannya tepat waktu, Ne." Irene melenggut, lalu memeluk temannya itu dan melepaskannya kembali. "Jadi, kapan kau akan datang ke Jepang lagi? I will miss you so much, Khalie," ungkapnya. "Hei! Jangan panggil aku dengan sebutan itu. Hanya dia yang boleh memanggilku seperti itu, mengerti?" gerutu Khalisa seraya memberenggut. Irene tertawa melihat ekspresi wajah Khalisa yang menurutnya begitu menggemaskan. Ia pun mencubit kedua pipi gadis itu. "Oke. Oke. Tapi, bukankah sudah dua bulan ini kau selalu uring-uringan karena dia tidak memberi kabar kepadamu? Jadi, kenapa kau masih saja mengharapkan laki-laki seperti dia?" "Aww … sakit." Khalisa meringis memegangi kedua pipinya. Lalu, menatap tajam ke arah Irene yang masih tertawa mengejeknya. Kendati begitu, ia hanya bisa terdiam tanpa bisa menjawab pertanyaan gadis berambut pendek itu. Sebab, apa yang dibicarakan oleh Irene benar adanya. Laki-laki itu selama dua bulan ini tak memberi kabar kepadanya. Pasalnya, sudah berkali-kali dirinya memberi pesan singkat, tetapi tak kunjung mendapat balasan. Ke mana laki-laki itu? Mungkinkah sudah memiliki kekasih baru? Oh … tidak mungkin! Ting! Khalisa buru-buru merogoh saku celana jeans yang dikenakan dan mengambil ponsel ketika suara notifikasi pesan berbunyi. Netranya langsung berbinar senang ketika mendapati satu pesan yang ditunggunya. From Key: Besok aku akan menjemputmu, Khalie. "Aku akan datang ke Jepang lagi saat aku berbulan madu, Ne," sahut Khalisa kemudian dengan mendekap ponselnya erat di d**a. Hanya sebuah pesan yang begitu singkat, tetapi berhasil membuat degup jantung Khalisa terasa ingin melompat. Bahkan, saat ini ia tengah tersenyum kecil seraya memejamkan kedua netranya yang membuat Irene begitu takjub sampai terbengong melihat perubahan drastis gadis di hadapannya. "Key, aku sangat merindukanmu."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD