Awal Mula

1475 Words
Sore hari seorang gadis berseragam putih abu-abu baru saja sampai di rumahnya. Ia adalah Nadia Maibela. Kepulangannya disambut oleh Bi Suryah, ART sekaligus pengasuhnya sejak kecil. "Sore Non. Udah pulang ya? Ayo Non, ganti baju dulu, terus makan ya. Bibi udah masak makanan kesukaan Non.” Bi Suryah merangkul pundak Nadia. "Iya, terima kasih Bi. Oh, iya, mami sama papi udah berangkat ya, Bi?" tanya Nadia pada Bi Suryah. "Sama-sama Non. Iya Non, tuan dan nyonya sudah berangkat sekitar 3 jam y yang lalu," jelas Bi Suryah. “Em, gitu ya. Aku ke atas dulu ya Bi.” Nadia melangkah menaiki tangga menuju kamarnya, setelah berpamitan kepada Bi Suryah. Di dalam kamar, Nadia duduk di balkon kamarnya sambil termenung. Pikirannya menerawang jauh saat itu. “Apa sebegitu gak berartinya ya, hidup gue di mata mami dan papi?” ucap Nadia dengan nada lirih. Ya, kedua orang tua Nadia hari itu, pergi ke London. Keduanya pergi tanpa pamit, ataupun menunggu dirinya pulang dari sekolah. Entah, kenapa ia dilahirkan di tengah keluarga yang rumit seperti ini. Sejak kecil, ia tak pernah merasakan kasih sayang yang penuh dari kedua orang tuanya. Saat SD dulu, ia tak pernah dibuatkan sarapan oleh maminya, apa lagi diantar jemput seperti anak seumurnya. Segala prestasi yang diraihnya, tak ada artinya di mata kedua orang tuanya. Hanya Bi Suryah yang selalu melontarkan pujian kebanggaan untuknya. Kedua orang tuanya memilih menetap lebih lama di London sejak dulu. Mereka akan kembali ke Indonesia hanya beberapa hari saja, jika ada pertemuan bisnis di sini. Namun, ada satu hal yang ganjal di hati Nadia. Sejak dirinya kecil, hingga kini ia telah beranjak dewasa. Tak pernah sekali pun, kedua orang tuanya mengajak dirinya ke London. Memikirkan soal itu, tak dirasa air mata Nadia jatuh begitu saja membasahi wajah cantiknya. Hari demi hari dilalui Nadia seperti biasa. Hari ini adalah hari kepulangan kedua orang tuanya ke Indonesia setelah hampir beberapa minggu menetap di London. Namun, tak ada raut bahagia terpancar di wajah cantik Nadia hari itu. Layaknya seorang anak yang menanti kedatangan orang tuanya. Hari itu Nadia tidak masuk sekolah dikarenakan dia sedang sakit. Seharian gadis itu hanya berdiam diri di dalam kamarnya. Tepat pukul 4 sore, kedua orang tua Nadia sudah tiba di halaman rumah keluarga Wijaya. Evita Wijaya bergegas menaiki anak tangga menuju ke kamar anak semata wayangnya–Nadia. Setelah ia mendapat kabar dari Bi Surya tentang keadaan Nadia yang tengah sakit. "Nadia ini mami. Boleh mami masuk?" tanya Mami Evi. Setelah mengetuk pintu kamar Nadia. "Masuk aja, Mi!” sahut Nadia. Mendengar jawaban Nadia, Mami Evi melangkah masuk ke dalam kamar putrinya. "Nadia kata bibi kamu sakit ya, kok bisa sakit, sih?" tanya Mami Evi. Tangan wanita tersebut terangkat mengusap pucuk rambut Nadia. "Nadia gak apa-apa kok, udah biasa. Lagian ada bibi yang merawat aku di sini,” sahut Nadia dengan nada datar. "Ya, sudah. Sekarang ayo kita turun! Bibi sudah menyiapkan makanan untuk kita,” jelas Mami Evi, lalu menggandeng tangan putrinya menuruni anak tangga. "Selamat sore Pih,” sapa Nadia, lalu mencium tangan papinya–Bramasta Wijaya. "Hem," balas singkat Papi Bram. Setelah makan sore itu selesai, mereka berbincang-bincang di ruang keluarga. Saat tengah asyik berbincang, dering ponsel Mami Evi menghentikan pembicaraan mereka. Segera Mami Evi mengangkat telepon tersebut. "Halo, selamat sore?” ucap Mami Evi saat panggilan telepon sudah tersambung. "Ya, dengan saya sendiri," jawab Mami Evi masih berbicara dengan orang di sambungan telepon tersebut. Namun, tiba-tiba raut wajah Mami Evi berubah murung. "Baik Pak. Terima kasih dan maaf sebelumnya,” ucap Mami Evi. Kemudian langsung memutuskan sambungan teleponnya. "Ada apa?" tanya Papi Bram kepada Istrinya. Ya, saat itu Mami Evi sengaja tidak mengeraskan suara panggilan teleponnya. Sehingga, Papi Bram dan Nadia tak dapat mendengarnya. Sebelum menjawab pertanyaan sang suami, Mami Evi sempat melirik dan memandang sendu wajah putrinya. "Pihak sekolah Pih. Katanya Nadia berbuat masalah lagi saat di sekolah kemarin," jelas Mami Evi lirih. Sedangkan Papi Bram, sudah terdiam tanpa ekspresi, setelah mendengar penjelasan sang Istri. "Nak, kenapa kamu melakukan itu terus?” tanya Mami Evi lembut kepada Nadia. Pasalnya, semua itu bukanlah kali pertama untuk Nadia. "Mi, Nadia gak akan lakukan itu, kalau bukan mereka yang mulai duluan! Ini semua juga karena kalian, yang gak pernah punya waktu buat Nadia. Mereka selalu menghina aku!” jelas Nadia sambil terisak. "NADIA!” ucap Papi Bram penuh penekanan. "Pih, tenang!" ujar Mami Evi menenangkan suaminya. “Dengar Nadia! Kami bekerja bukan untuk orang lain, tapi semua untuk kamu!” ucap Papi Bram lagi. “TAPI NADIA GAK BUTUH SEMUA ITU PIH!” teriak Nadia penuh penekanan. PLAK! Suasana ruang keluarga yang tadinya hangat, kini berubah menjadi sangat mencekam. Setelah Papi Bram menampar wajah Nadia. “Bicara yang sopan Nadia. Harus berapa kali kami peringatkan, ha? Seharusnya kamu bersyukur Nadia. Banyak di luar sana, yang ingin hidup dengan bergelimang harta seperti ini dan kamu memilikinya!” jelas Papi Bram setelah menampar pipi sang putri. Nadia tak lagi menjawab ucapan sang papi. Ia hanya diam dengan tatapan yang kosong. Bahkan air matanya pun tak ada lagi yang menetes di kedua matanya. “Mi, cepat! Papi akan pergi menemui rekan bisnis beberapa menit lagi.” Papi Bram menitah sang istri untuk segera berbicara. Mami Evi mengangguk menanggapi ucapan suaminya. "Nadia, sebenarnya kepulangan mami dan papi hari ini, ada yang ingin kami bicarakan dengan kamu.” Mami Evi memegang pundak Nadia dengan lembut. "Langsung ke intinya saja, Mi. Gak usah bertele-tele!" sahut Nadia dengan nada sedikit kesal. Pasalnya ia tahu, ada sesuatu yang diinginkan oleh orang tuanya. Karena tak seperti biasanya, kedua orang tuanya mengajaknya berbincang. "Begini Nak, dua hari lagi kami harus pergi lagi ke belanda, karena urusan kami belum selesai," jelas Mami Evi. Benar dugaannya, kedua orang tuanya kembali hanya karena sesuatu yang menguntungkan untuk mereka, bukan karena sengaja mengunjungi dirinya. Sebegitu pentingkah bisnis di mata mereka, bahkan dirinya sedang sakit pun, orang tuanya tega akan meninggalkannya lagi. Pikir Nadia. Sungguh, gadis itu tidak butuh apa pun, yang dia butuh saat ini hannyalah waktu serta kasih sayang dari kedua orang tuanya. Dia bahkan rela, jika harus hidup sederhana, asalkan mami dan papi tidak selalu sibuk kerja. "Iya," sahut Nadia singkat. "Kami juga ingin membicarakan hal penting lainnya. Kami—" Ucapan Mami Evi terpotong oleh Nadia. "Cepat Mi! Nadia mau istirahat.” Nadia sedikit ketus menyahuti ucapan maminya. "NADIA! Sopanlah sedikit, dia itu mami kamu. Orang yang melahirkan kamu!" bentak Papi Bram. "Pih, sudah! Nadia kami ingin mengajakmu makan malam di luar nanti malam. Kami berencana ingin—“ Ucapan Mami Evi lagi-lagi terpotong. "Gak bisa. Aku mau menemani Kiki dan Caca menonton nanti malam. Lain kali aja, Nadia ikut kalian.” Nadia menolak ajakan kedua orang tuanya. "Kami juga berencana akan menjodohkan kamu, dengan anak teman papa. Dengar! Bisa ataupun tidak bisa, kamu harus tetap ikut, paham!" ujar papi Bram lantang. Ia melanjutkan perkataan istrinya yang terpotong tadi. "Nadia gak mau! Kalian gak berhak mengatur hidup aku lagi, setelah bertahun-tahun aku hidup tanpa kasih sayang dari kalian!" ujar Nadia membantah ucapan sang papi. "Tidak Nadia! Kami adalah orang tua kamu, jadi kami berhak mengatur hidup kamu." Papi Bram melangkah pergi meninggalkan ruang keluarga, setelah mengucapkan itu. "Mami, Nadia gak mau.” Nadia memohon kepada maminya. "Sayang, maafkan mami ya. Mami gak bisa berbuat apa-apa." Mami Evi menatap sendu wajah Nadia. Tepat pukul 7 malam, Nadia sudah bersiap untuk pergi dengan kedua orang tuanya. Walaupun dengan keadaan terpaksa, ia harus tetap ikut. Karena menolak pun, tidak ada gunanya. Nadia tidak bisa berbuat apa-apa, selain menuruti perkataan papinya. Di restoran tempat di mana makan malam antara keluarga Wijaya dan keluarga calon suami Nadia diadakan. "Halo Jeng, gimana kabarnya? Lama gak ketemu ya," sapa seorang wanita berhijab yang hampir seumur dengan Mami Evi. "Seperti yang kamu lihat Num, aku baik. Kamu gimana?” sahut Mami Evi. "Wah, ini putri kamu yang waktu dulu masih kecil itu ‘kan, cantik banget persis kaya kamu," ucap Hanum yang tak lain adalah ibu dari lelaki yang akan dijodohkan dengan Nadia. "Ah, bisa saja kamu Num," sahut Mami Evi. “Malam, Tan, Om?” sapa Nadia. Nadia mencium tangan wanita tersebut, kemudian beralih mencium tangan pria yang diperkirakan adalah suami dari wanita bernama Hanum tadi. “Malam juga Nak,” sahut pasangan suami istri tersebut. “Jangan panggil tante dong. Panggil aja bunda, dan ini ayah!” pinta Bunda Hanum sambil menunjuk sang suami–Andra Gravandra. Nadia tersenyum seraya mengangguk menanggapi ucapan Bunda Hanum. “Oh, iya ... di mana putramu Andra, apa dia tidak ikut?" tanya Papi Bram kepada Andra Gravandra. "Anakku sepertinya masih ada urusan Bram, biasa anak muda. Mungkin sebentar lagi sampai,” jelas Ayah Andra, yang dibalas anggukkan oleh kedua orang tua Nadia. Tak lama kemudian, terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah meja kedua keluarga itu berada. "Assalamualaikum, maaf saya telat." Seorang pemuda dengan perawakan tinggi dan wajah yang datar, baru saja tiba di sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD