prolog

1044 Words
"Senyum bukan bagian dari kebahagianku, ini hanya sebuah persembunyian agar semesta tidak punya bahan untuk mengejek kesedihanku." Kata orang masa sekolah adalah masa paling menyenangkan, bagi Magani tidak. Satu-satunya masa sekolah yang menurut ia menyenangkan adalah TK—saat itu Magani masih terlalu kecil untuk memahami aturan apa saja yang boleh dan tidak saat bersosialisasi dengan teman. Dan sialnya Magani punya kebiasaan buruk meminta perhatian dengan cara salah Waktu SD, Magani dipanggil si tukang bohong karena sering pura-pura sakit. Waktu SMP, Dia si gadis biang onar dan bodoh. Dan sekarang saat SMA, dia berubah menjadi si gadis nakal. Definisi gadis nakal yang mereka—teman-temannya sematkan pada Magani berdasarkan fakta bahwa Magani sering bermesraan dengan banyak pria seperti dia mengganti permen. Mereka tidak pernah tahu, semua yang Magani lakukan karena dia haus perhatian. Magani selalu merasa kesepian, terutama saat di rumah. Orang tua-nya lengkap, tapi keduanya punya dunia berbeda. Bertengkar satu-satunya komunikasi yang sering mereka lakukan. Di umur tujuh belas ini, Magani jadi sering bertanya-tanya; kenapa mereka masih bersama? Mungkin akan lebih menyenangkan kalau mereka berpisah. "Gani... Magani," panggil seorang pria dari balik punggung Magani, kekesalan terdengar jelas karena Magani tidak kunjung menoleh. Pria itu menyerah, lalu berdiri di samping Magani sedikit membungkuk dan melipat kedua tangan di atas pembatas besi tangga, tempat Magani berdiri sedari tadi. Tempat favorit Magani untuk menyepi dengan pemandangan full lapangan basket. "Apa sih, Cakra?" tanya Magani tanpa minat. Cakra satu-satunya orang yang betah dengannya sejak pertemuan mereka di ruang musik SMP. Entah Magani harus menyebut Cakra apa, mungkin teman-paling-lama. "Lagi ngelihatin dia lagi?" Cakra balik bertanya. "Nggak." Lalu terdengar dengusan dari laki-laki itu. "Bohong." Dia menegakkan posisi berdirinya, lalu menghadap ke Magani. Sorot mata tajam Cakra mulai menyelidik, seperti biasa. "Jelas-jelas tuh mata cuman ngikuti arah pergerakkan si Renier." "Nggak kok... gue ngeliatin orang main basket, kebetulan aja dia ada di sana main sama yang lain." "Oh yah? Kalau emang niat nonton mah di bawah, tuh duduk di pinggir lapangan kayak yang lain atau di kantin kalau cuma mau liat permainan basket." "Tujuan lo ke sini mau apa sih? Ganggu tahu," keluh Magani asal. "Mau ngajak lo balik, terus makan dulu di warung si Babe. Ini udah jam empat alias udah dua jam dari jam pulang sekolah, gue kelaperan! Ah elah! Kenapa sih lo mesti putus dari si Ardi? Jadinya kan nyusahin gue lagi, anter jemput lagi, nungguin lo lagi!" oceh Cakra. "Jadi lo mau ngeliatin si Renieer sampai kapan? Sampai kiamat? Mau sekalian nginep di sekolah?" Cakra terdengar benar-benar emosi dengan Magani. "Yang diliatin aja nggak nyadar, Maganiiii!" Cakra mengembuskan napas berkali-kali, membuat Magani sedikit jengkel . "Gila! Gue tuh tadi ke sini dengan kondisi lapar, dan setelah gue ngeliat lo yang memperhatikan cowok yang noleh ke lo aja kagak, laper gue ilang cuyy!" Tepat saat omelan Cakra mencampai titik, permainan basket di bawah sana berhenti. Para pemain basket bergerombol menjadi satu saling adu tos, menggoda dengan menempelkan keringat masing-masing, tertawa sangat keras hingga mengisi lapangan dan sekitarnya. Seperti ikut tersedot pada euforia di bawah sana, Magani tersenyum tipis. "Lo itu cewek baik Gani... lo stop bertindak ceroboh, gue yakin 100% si Renier bakal nengok ke lo!" "Pulang yuk!" ajak Magani tanpa menggubris kalimat Cakra. Magani merapikan posisi tas punggungnya dan berbalik berhadapan dengan Cakra, mengulurkan tangan sampai puncak kepala, lalu mulai mengacak-acak rambut ikal milik Cakra. Kegiatan Magani tidak berlangsung lama, karena Cakra sigap menepis tangan Magani dari rambutnya. "Nggak usah sok manis gitu! Bagi gue, tingkah lo tetap menyebalkan!" Magani tertawa, sambal mengalungkan tangan pada lengan Cakra. Kemudian mereka beriringan menuruni tangga. "Mau sampai kapan sih lo kayak gini, Gan? Nama lo itu artinya menyenangkan, pasti orang tua lo punya banyak doa saat kasih nama itu. Ya—berharap lo punya kehidupan yang menyenangkan." Senyum Magani perlahan memudar. "Apa sih yang lo harapin dari keadaan lo yang sekarang? Pelajaran lo sekarang udah bagus, terus udah nggak pernah masuk ruang BP kayak SMP dulu... tapi, lo bersikap kayak cewek—" Pandangan Magani menghentikan kalimat Cakra. "Gani, lo bukan cewek nakal seperti mereka bilang. Gue tahu pasti tujuan lo gonta-ganti laki kayak ganti kutang bukan untuk kesenengan syahwat, gue nggak sengaja dengar Ardi lagi cerita sama temannya alasan kalian pisah karena lo gampar dia saat tuh cowok minta begituan!" Saat kaki keduanya berhasil menampak tanah, rangkulan tangan Magani perlahan terlepas dari lengan Cakra. Dan sebuah kebetulan terjadi, begitu keduanya bersiap menuju parkiran motor mereka berpapasan dengan beberapa pria yang bermain basket di lapangan tadi, termasuk Renier. Sontak, Magani membeku. "Eh... ada Magani. Sore amat pulangnya, Gan." Magani melemparkan pandangannya pada pria jangkung di samping kiri Renier. "Dengar-dengar baru putus nih dari Ardi... bisa kali jalan sama gue, siapa tahu kita cocok." "Buset si Gilang demen lo sama yang begini," sahut pria botak di sisi kanan Reiner. "Diam lo, Ben!" Magani masih tidak bersuara hanya memperhatikan Gilang memukul Ben dan cara Renier memandangi dirinya. "Namanya juga usaha, iya nggak Ren? Sekali-kali gitu sama cewek cantik." Tanpa Magani sadari bulu-bulu halusnya berdiri, bukan karena pujian cantik dari Gilang tapi karena pandangan Renier yang terasa semakin tajam. Seolah sedang mengatakan bahwa Magani tidak cocok dipuji cantik, lebih cocok dipanggil bodoh atau gadis murahan. "Terserah lo," ucap Renier dengan nada dingin lalu menyingkirkan kedua tangan temannya dari bahu kokohnya. Setelah mengatakan itu Renier meninggalkan mereka semua, dan Magani tanpa ekspresi memperhatikan punggung Renier menjauh. Sikap Renier menyeret Magani pada kenyataan bahwa—bagi seluruh penghuni sekolah ini—dia hanya gadis nakal. Tidak peduli dia tidak pernah bertingkah kelewatan melebihi ciuman, intinya Magani si gadis nakal. Renier telah benar-benar menghilang. Ben dan Gilang masih berdebat tentang sesuatu yang tidak penting. Cakra memberikan pandangan iba pada Magani. Magani memutar bola mata dan mundur menjauhi situasi menyebalkan itu, lalu melewati Cakra menuju gerbang sekolah. Ketika Magani hampir melangkah keluar dari gerbang, tiba-tiba ada sebuah motor berkecepatan tinggi hendak memasuki gerbang. Magani bisa menghindar, tapi bisikan gila di dalam dirinya meminta untuk tetap berada di tempatnya. Magani menoleh ke lain arah, seolah tidak melihat motor itu. Lalu, kebetulan nomor dua terjadi. Saat matanya bertubrukan dengan mata Renier yang kebetulan sedang membeli minuman di warung depan sekolah, motor yang kemungkinan besar dikendarai oleh salah satu siswi sekolah menabrak Magani dengan sangat kencang, memaksa Magani menghantam tembok gerbang dan semua mendadak gelap bagi Magani. Yang tersisa hanya teriakan Cakra memanggil namanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD