#1

865 Words
CHAPTER 1   Pagi awal bulan Januari terlihat sedikit gelap dengan gumpalan awan yang menyebar bagai karpet hitam di langit sana. Menghalangi jatuhnya sinar mentari ke tempat manusia berpijak di tanah Bogor ini. 06.35 WIB. "Ahhh, mana sih angkotnya! Pas gak mau naik banyak, giliran dicari ga ada satu pun!" rutuk Hana dalam hati sambil bolak balik melihat ujung jalan dan jam tangannya. Hana Widyasari. Keliatannya sih anak orang kaya. Seorang gadis yang sedang berdiri di pinggir jalan saat 25 menit lagi gerbang sekolahnya akan dikunci. Siswi SMAN Pelita 1 itu begitu gelisah berdiri menunggu. Sesekali angin dingin menyapu kulit putihnya yang terbalut dengan seragam putih abu-abu dan cardigan biru. Tatanan rambut ikalnya yang rapi mulai terlihat berantakan dengan beberapa helai rambut yang keluar dari kunciran. Simpul dasi yang tadinya kencang mulai melonggar. Rok abu-abu panjangnya berkibar mengikuti arah angin. Untung saja roknya panjang. Kaki rampingnya yang terbungkus sepatu hitam ber-merk itu pun tak berhenti bergerak menendang-nendang kerikil di depannya. Sudah lebih dari 30 menit ia berdiri menunggu angkot yang tak kunjung datang, hingga saat ini arlojinya menunjukkan pukul 06.45. Pasti telat. Tau kayak gini mending tadi bareng kakaknya aja naik mobil. Tin..tin.. Oh...Tuhan baru mengabulkan doanya saat ini, angkot 93 lewat. Ups, tapi dengan keadaan penuh. Tanpa rela menunggu, Hana pun naik. Walau hanya bisa duduk dengan p****t setengah. *** "Sudah jam 7. Kamu kunci saja gerbangnya!" titah seorang guru laki-laki kepada siswa di hadapannya. Dan setelah mendapat anggukan, guru itu pun pergi. Hingga tak lama, bel masuk pun berbunyi. Teng nong neng nong... Sekarang saatnya masuk kelas. Jam pelajaran akan segera dimulai. Baru saja sang pengunci gerbang berbalik, namun suara gaduh menghentikan langkahnya. "Yah..yah..yah...udah dikunci. Yaelah telat 1 menit doang! Ishh.." rutuk Hana. "Makannya jangan telat." ucap pemuda itu sudah di hadapan Hana. Hanya dibatasi dengan gerbang hijau yang menjulang tinggi. "Eh-hh Abra. Lo ga masuk kelas?" "Hari ini gue piket OSIS." ucap Abra sambil mencatat sesuatu. Daftar nama yang telat sepertinya. "Oh.. Eh, bukain dong gerbangnya. Gue kan cuma telat 1 menit. Itu pun gara-gara ga ada angkot tadi. Bukain ya.." ucap Hana mulai merayu. "Sekali telat tetep aja telat." Abra masih dengan wajah datarnya dan mulai duduk di kursi dekat gerbang. Senyum kek b*a. Gue kan kangen senyum lo... Batin Hana berteriak. "Lo bakal disini?" tanya Hana berbasa-basi. "Hm." jawab Abra sekenanya sambil terus membaca buku yang ada di genggamannya. Kumpulan Rumus Fisika. Yess, Abra disini. Kalo sama dia mah gue rela... "Nak Abra, sudah ke kelas saja. Untuk yang telat biar saya yang urus. Lagi pula tadi pak Andi sudah menyuruh anak-anak siap-siap untuk pelajaran olahraga." ucap Pak Saeb, satpam sekolah. Abra mendongak dari buku bacaannya. "Oh, iya pak. Yaudah saya permisi." ucap Abra sambil berlalu. Byaarrr. Hilang sudah harapan Hana untuk menatap wajah Abra lebih lama. Andai saja pak Saeb datang lebih lama lagi. Oh andaikan... Muhammad Abra. Ketua OSIS SMAN Pelita 1 sekaligus anggota tim basket sekolah. Tidak, jika yang kalian banyangkan Abra adalah sesosok yang sempurna, punya segalanya, anak orang kaya, ohh..kalian salah besar. Ia adalah anak laki-laki biasa. Tingginya 178cm. Putra pertama dari kalangan menengah. Ayahnya seorang PNS dan ibunya adalah ibu rumah tangga yang biasanya berjualan tuperware. Tinggal di sebuah rumah sederhana dengan pagar warna hitam dan cat tembok warna putih. Hanya terdiri dari teras, ruang tamu yang digabung dengan ruang keluarga, 2 kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. 1 kamar orangtuanya dan satu lagi kamar ia dan adiknya,Bayu. Kamar mandinya pun cuma satu. Di teras hanya di singgahi dengan mobil dinas merk Avanza untuk ayahnya pergi bekerja dan sebuat motor Mio milik ibunya untuk ke pasar. Tidak seperti siswa lain yang memutuskan untuk membawa kendaraan pribadi ke sekolah, Abra lebih memilih untuk naik angkutan umum. Selain karna memang tak punya motor, menurutnya naik angkot lebih aman dan hemat. Lagi pula, sebagai ketua OSIS, ia menjadi contoh teman-teman yang lain. Ia memang tak seganteng dan sekaya Dafa sang primadona sekolah, namun daya tariknya mampu menarik perhatian Hana. Sikapnya yang tegas, berwibawa, pintar, mandiri, dan sederhana mampu menghancurkan ego Hana hingga bukan rahasia umum lagi bahwa gadis itu menaruh hati pada Abra. "Non, saya mau ke dalem dulu. Jangan kabur ya.." ucap Pak Saeb. "Heem.." jawan Hana sambil bersender ke pagar. Tes...tes...tes... "Yah..yah..yah..kok gerimis sih.. Aduh jangan dong jangan... Please jangan ujan..." ucap Hana menatap langit. Namun kehendak Tuhan berbeda... Byuuuurrrrr.... Hujan deras mengguyur tanah Bogor tanpa ampun. Dalam sekejap, tubuh Hana basah kuyup. Tembus sampai ke dalam-dalam. Rambutnya sudah lepek. Oh tidak, tas masih tersampir di punggungnya. Buku-bukunya...ya Allah... Derita... Hana hanya bisa menatap kosong jalanan yang ada di depannya. Diam. Membatu. Terlalu kaget untuk serangan mendadak. "Woy, lo ngapain ujan-ujannan?!" suara berat di belakangnya terdengar. Ia kenal suara itu. "Nunggu pager dibuka." Hana berbalik dan mengangkat bahu. Tangan Abra berkelit dengan kunci dan gembok di depannya sambil mempertahankan letak payung, dan klek.. Gerbang terbuka. "Cepet masuk. b**o banget si lu ampe kuyup gini.." ucap Abra menatap Hana. Dag dig dug, Hana gemeteran di tempat. *** A/N Hai guyzzzzz... Gue balik lagi nih bawa cerita baru, cerita ke dua gue setelah with out voice. Semoga aja cerita ini lebih bagus ya.. Ga kayak yang dulu, alurnya ga jelas.. Happy Reading.. {Buat yg mau baca aja sih..}
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD