Prolog

1285 Words
Telapak tangannya meraba-raba kolong tempat tidur yang gelap, kian merendahkan tubuh hingga telungkup di atas lantai yang dingin, tapi belum juga berhasil mendapatkan apa yang dicari. Astaga, jangan-jangan terdorong ke tengah saat menyapu kolong tempat tidur. Berdecak kesal, Ranu bangkit dari posisi telungkup. Wanita itu menggaruk kepala hingga surai hitamnya yang tercepol asal kian semrawut. Kaki telanjangnya berderap menuju pintu, berniat keluar kamar untuk mencari sapu yang akan digunakan agar benda yang dicarinya bisa terdorong keluar dari kolong tempat tidur. Melewati ruang tv, Ranu memelankan langkah, ia berjinjit agar tak mengusik Ibunya yang tengah mendengkur di atas sofa, mengabaikan tv yang masih menyala dan menayangkan sinetron yang menjadi kegemaran wanita paruh baya tersebut. Wajah Ibunya terlapisi masker berwarna hitam dengan dua timun yang menutupi mata kanan dan kirinya. Sementara beberapa roll rambut tampak bergelantungan di atas kepala.  Setelah sapu ijuk yang nyaris botak itu ia dapat. Ranu kembali menuju kamar. Dilihatnya sang Ibu yang masih lelap dengan dengkuran yang kian mengeras. Seolah saling sahut menyahut dengan suara tv yang volumenya cukup besar hingga membuat pendengaran terasa pengang.  Tak ingin ambil pusing, Ranu bergegas masuk ke dalam kamar, kembali telungkup di atas lantai, dengan tangan kanan yang memegang sapu terulur ke dalam kolong. Kembali mencari-cari benda yang sedari tadi belum juga berhasil ditemukan. Setelah beberapa saat, kepala sapu di dalam kolong seperti menyenggol sesuatu, terdengar juga bunyi yang membuat Ranu yakin itu benda yang dicarinya. Wanita itu sumringah, dengan semangat, ia mendorong benda itu keluar kolong. Tak berapa lama, sebuah kaleng biskuit berhasil muncul dari kegelapan kolong tempat tidurnya.  Ranu menelan teriakan senangnya. Tak ingin ambil risiko sang Ibu terjaga dan memakinya. Melepas genggaman pada sapu, ia segera meraih kaleng biskuit dan tergesa-gesa membukanya. Alih-alih mendapati biskuit, di dalamnya justru terdapat beberapa lembaran uang dengan berbagai macam nominal. Dari lima ribu, sepuluh ribu, dua puluh ribu, lima puluh ribu, hingga seratus ribuan. Semua uang itu adalah tabungan dari hasil bekerja di salah satu rumah makan.  Menumpahkan seluruh isinya ke atas lantai, Ranu mulai menghitung. Uang ini ingin ia gunakan untuk membeli hadiah kekasihnya yang akan berulang tahun. Bicara soal ulang tahun, sebenarnya hari ini adalah ulang tahunnya. Tapi seperti tahun-tahun sebelumnya, tak ada perayaan apa pun. Ucapan selamat dari kekasihnya meski hanya lewat pesan w******p, itu sudah lebih dari cukup. Pria itu biasanya mengajak Ranu makan berdua sebagai perayaan kecil-kecilan, tapi kali ini tidak bisa karena ada pekerjaan di luar kota dan baru bisa kembali besok. "Jadi disitu, tempat persembunyian semua uang lo?" Gerakan tangan Ranu yang tengah menghitung uang terhenti, tubuhnya mematung dengan keringat dingin yang tiba-tiba mengaliri. Jantungnya seolah meluruh ke dasar perut saat suara yang sangat ia hafal tertangkap pendengaran. Menolehkan kepala dengan gerakan kaku, Ranu meneguk ludah kelu, saat netra hitamnya mendapati wajah bengis pria paruh baya yang tengah menyandarkan tubuh tambunnya sembari bersedekap tangan di ambang pintu kamar, yang entah sejak kapan sudah terbuka. Rasanya, Ranu ingin merutuki diri sendiri karena lalai mengunci pintu. Tapi, kenapa sosok yang tak lain adalah Ayahnya itu sudah pulang? Melarikan pandangan pada jam dinding, Ranu melihat pukul sebelas malam. Masih terbilang sore bagi Ayahnya yang biasa pulang nyaris subuh dengan keadaan mabuk. Tersentak, Ranu buru-buru memasukan semua uangnya kembali ke dalam kaleng. Meski ia tau ini sia-sia. Tak lama lagi, tabungan hasil kerja kerasnya akan berpindah tangan secara paksa. "Lo mau ngasih sendiri dan bebas dari pukulan, atau gue ambil secara paksa dan nggak segan bikin lo babak belur kaya waktu itu?" "Ja—Jangan Yah, ini uang Ranu." Indra berderap cepat kearah Ranu yang sudah berdiri sembari memeluk kaleng biskuit berisi uang dengan erat. Plak! Prang! Bruk! Tamparan keras yang dilayangkan Indra membuat Ranu tersungkur jatuh hingga kaleng biskuit yang dipeluknya terlepas. Semua uang di dalamnya berhamburan dan segera pria itu raup. "Yah, jangan! Ini uang Ranu!" "Tidak tau diri ya lo! Gue kasih makan sampai besar, tapi gue minta sedikit uang lo aja nggak boleh!" Seru Indra sembari menoyor kepala Ranu. "Yah, jangan! Kembalikan uang—akh!" Ranu yang memeluk kaki kanan Indra yang hendak beranjak, kembali tersungkur saat pria itu mengibas kakinya dengan kasar, "akh! Sakit, Yah, ampun!" Ranu berteriak kesakitan saat telapak tangan kanannya diinjak oleh Indra. "Nggak usah banyak bacot makanya! Baru diminta recehan aja belagu lo!" Indra bergegas keluar dari kamar Ranu. Senyumnya tersungging lebar karena malam ini ia bisa berjudi. Tidak sia-sia dia pulang cepat karena ingin makan, mengingat tak ada lagi uang yang tersisa disakunya. "Aduh ... Berisik banget sih! Gara-gara lo masker gue rusak sialan!" Murka Mira sebelum membanting pintu kamar Ranu.  Susah payah Ranu bangkit berdiri, berjalan tertatih sebelum kemudian mendudukkan diri di sisi tempat tidur. Tangisnya mulai lebih terkendali, tersisa isakan memilukan. Netranya menangkap lilin dan korek gas di atas nakas samping tempat tidur. Sempat digunakan ketika mati lampu malam kemarin. Dengan tangan kiri, karena tangan kanannya masih berdenyut sakit, Ranu memantik korek gas untuk menyalakan lilin. Setelah lilin berhasil dinyalakan, ia meraihnya dan didekatkan kearahnya, "selamat ulang tahun, Ranu Adila Putri," bisiknya parau, sebelum meniup lilin ditangannya hingga padam. ***  "HAPPY BIRTHDAY RHEA ANINDITA HARTANTO!" Suara teriakan, dentingan gelas, dan hentakkan musik membahana di sebuah Club malam yang sengaja disewa untuk merayakan ualng tahun seorang gadis yang malam ini tampil sexy dengan gaun merah ketat yang membungkus tubuhnya. Bibirnya yang terpoles lipstik merah tak henti mengumbar senyuman bahagia melihat teman-temannya yang sangat menikmati pesta yang ia adakan besar-besaran. Ia juga tak lupa mendatangkan beberapa DJ ternama dari dalam dan luar negeri. Sayangnya, di tengah hiruk pikuk kebahagiaan pesta ualng tahunnya, Rhea merasa terganggu dengan rengekan kekasihnya yang sedari tadi minta pulang. "Astaga Sayang, ini masih sore!" Kesal Rhea yang sedang asyik bergoyang di dance floor bersama teman-temannya, tiba-tiba ditarik paksa oleh Dewa, kekasihnya yang sedari tadi berwajah resah karena diteror sang Mama untuk segera pulang. "Ini sudah sangat malam Sayang, aku harus pulang. Mama—" Rhea mengulurkan tangan dan segera membekap mulut Dewa yang hendak bilang 'Kata Mama aku harus pulang sekarang', wanita itu bahkan menelan dongkol karena malu saat beberapa teman-temannya yang kebetulan didekat mereka, mendengar perkataan Dewa hingga menimbulkan gelak tawa. Meski sudah sering dikatai dirinya berpacaran dengan anak Mama, dia mencoba tak peduli, walaupun sesekali tak bisa menutupi rasa kesal dan malunya. "Sayang, please, untuk kali ini aja. Hargai aku dong, yang lagi ulangtahun. Masa kamu pulang diacara pacar kamu sendiri?" Dewa mengela napas, dia benar-benar pusing setiap kali dihadapkan dengan dua wanita keras kepala seperti sang Mama dan Kekasihnya. "Baiklah, pesta kamu selesai jam berapa?" Tanya Dewa sembari mengabaikan saku celananya yang berisi ponsel kembali bergetar. Tanpa melihat, dia sudah tau jika Mamanya yang menghubungi. Karena setiap lima belas menit sekali wanita paruh baya itu menelpon dan memintanya pulang. "Paling sampai jam empat pagi, Sayang." "Apa?!" Dewa terbelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja Rhea katakan. Jam empat pagi? Astaga, bisa-bisa dipenggal sang Mama dia pulang jam segitu, "Sayang aku—" "Oke, kamu boleh pulang sekarang. Tapi ada syaratnya," bersedekap tangan, Rhea menaikan satu alis dengan wajah menantang. "Apa? Akan aku lakukan." Jawab Dewa cepat. Dia bisa bernapas lega karena akhirnya bisa diperbolehkan pulang. "Nanti aku beri tahu, tapi kamu nggak boleh nolak apa pun permintaan aku itu. Bagaimana?" "Baiklah, aku setuju," jawab Dewa cepat, "kalau begitu, aku pulang ya Sayang?" Rhea hanya menganggukkan kepala dengan wajah masam, dia bahkan bergeming saat Dewa berpamitan, tak lupa memberi kecupan sayang dikeningnya. Tak berapa lama setelah Dewa benar-benar pergi, hingga tak lagi tertangkap penglihatannya. Rhea dikejutkan dengan kehadiran seseorang. "Happy birthday, Rhea Anindita Hartanto," Bisiknya ditelinga Rhea, dengan sepasang lengan kekar memeluk pinggang wanita itu dengan erat.  Bibir merah Rhea tersenyum, dia menolehkan kepala, mengecup bibir pria yang memeluknya, "thanks, George." "Kasian sekali, wanita secantik kamu ditinggal. Bagaimana jika aku menggantikan posisi kekasihmu yang cupu itu?" Mendengkus, Rhea melepas pelukan pria bernama George. Tangannya memegang tangan besar pria itu dan menuntunnya menuju dance floor, "dengan senang hati." Balas Rhea sembari mengedipkan satu matanya dengan gerakan s*****l. Dia tak akan melewati pesta ulang tahunnya dengan perasaan dongkol. Tak apa kekasihnya pulang. Karena masih ada banyak pria yang mengantri menemaninya malam ini hingga pagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD