Prologue

475 Words
"Menikahlah dengan suamiku." Seakan-akan waktu berhenti berputar, Almira diam terpaku bak patung. Jantungnya seakan berhenti, tatapannya sedikit terbelalak. Sungguh, tidak disangkanya kalimat itu meluncur bebas dari mulut seseorang yang berarti. "Rayya butuh sosok ibu. Dan itu kamu, Almira. Aku akan pergi tak lama lagi. Kamu adalah pengganti yang tepat untukku. Kumohon Almira, turuti permintaanku ini." Almira rasanya ingin tertawa, marah, dan mencaci saat ini juga. Hanya saja tidak ada kekuatan untuk itu. Segalanya menjadi sangat tidak masuk akal. "Jadilah ibu untuk Rayya dan istri untuk suamiku, Almira. Ini pinta terakhirku padamu." "Y-ya Rabb," lirih Almira setelah lama terbungkam oleh ketidakpercayaannya atas permintaan itu. Air matanya mengalir dan ia tidak mengerti kenapa semua ini terjadi. Segalanya menjadi sangat membingungkan. "Almira, kumohon. Ini demi kebaikan semua." "K-kebaikan apanya?" tanya Almira serak. Bibirnya bergetar tak tertahankan. "Semua ini tidak dapat aku terima, Fatima. A-aku ... tidak bisa." Mendengar kalimat itu, Fatima mulai menangis. Hal tersebut membuat Almira merasa teriris hatinya. Tak tega. "Almira, kumohon. Jadilah penggantiku. Rayya sangat membutuhkan sosok ibu dan Zharif sangat membutuhkan sosok penggantiku untuk selalu mendukungnya. Ku-kumohon Almira, kumohon," ucap Fatima serak dengan isak tangis. Almira mulai terisak. Tangannya balas menggenggam kedua tangan Fatima yang sangat lemah. "A-aku ... aku tidak sanggup, Fatima. Aku yakin semuanya tidak dapat diterima. A-aku ... aku tidak bisa." "Aku tahu kamu mencintai suamiku." Almira menggeleng dengan cepat, isak tangisnya semakin menguat. "T-tidak! Itu dulu. Dulu sekali. Perasaan ini tak lagi sama Fatima. T-tidak lagi sama. Kumohon, berhentilah beromong kosong. Kumohon." "Bohong. Aku yakin perasaan itu masih ada dan masih sama layaknya dulu." Di balik tangis, Fatima tersenyum penuh arti. Matanya yang teduh menatap Almira penuh harap. "A-aku tidak bisa, Fatima." "Almira, kumohon. Biar aku bisa pergi dengan tenang sekarang." "Tidak! Kubilang tidak ya tidak! Aku tidak akan menuruti ini semua biar kamu tidak bisa pergi sekarang!" Almira berteriak. Hal tersebut memancing atensi dua orang lelaki yang berdiri di luar ruangan. Merasa ada yang tidak beres, bergegas dua lelaki itu—yakni Zharif dan Fikar—memasuki ruangan dengan perasaan yang terselimuti khawatir serta tanda tanya. "Ada apa ini?" tanya Zharif khawatir. Apalagi dilihatnya sang istri dan Almira yang menangis sembari mulut tak hentinya menggumam kata "tidak" berkali-kali. "Itu pintaku, Almira. Kumohon, turuti permintaanku. Kumohon." "Pinta dan cinta suatu hal yang berbeda, Fatima. Yang tidak dapat disangkutpautkan. A-aku ... aku tidak-" Almira tidak dapat melanjutkan kalimatnya. Gadis itu terisak dalam sesak yang begitu hebat di dalam sana. "Kamu mencintainya, sementara dia tidak. Tapi ketahuilah Almira, cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu." "T-tidak semudah itu, Fatima. Tidak mudah. Itu ... menyakitkan." Zharif dan Fikar sama-sama dilanda kebingungan. Segala hal yang diucapkan dua perempuan itu membuat mereka rasanya tidak tahan dan terdorong untuk bertanya.  "Apa yang kalian bicarakan?" tanya Zharif pada akhirnya. Fikar masih diam, sebab apa yang diucapkan Zharif sudah mewakili. Fatima tersenyum menatap suaminya. "Mas, kamu masih ingat ucapanmu sendiri, 'kan? Bahwa Mas akan menuruti apa pun yang aku pinta?" Zharif mengangguk dengan sedikit kebingungan. "Ya. Lalu?" "Ini pinta terakhirku, Mas. Aku ingin kamu menikah dengan Almira. Dihadapanku, kamu mengucapkan akad suci itu." Zharif hanya bisa terdiam seribu bahasa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD