Prolog

1296 Words
Yoona pov* Kini aku bisa bersanding dengan pangeran pujaan hatiku, cinta pertamaku, setelah perjalanan panjang yang begitu rumit. Mimpiku telah terwujud ketika aku dan pangeran pujaan hatiku, Lee Donghwa mengikat janji suci di musim semi yang indah itu. Sebuah kehudupan pernikahan yang indah, yang sering kubayangkan ketika aku beranjak remaja sudah ada di depan mata. Sekarang aku paham, menjalani kehidupan pernikahan bukanlah hal yang mudah. Tidak semua hal bisa berjalan mulus sesuai harapan dan rencana. Kebahagiaan begitu menghangatkan, tapi juga tak jarang masalah datang menghampiri, membuat rasa hangat itu seolah memudar perlahan. Hadirnya seorang buah hati adalah salah satu impian pasangan yang sudah menikah, tak terkecuali aku dan suamiku yang begitu berharap. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Tuhan tak kunjung mengabulkan harapan itu. Aku mencoba berpikir positif, rencana Tuhan pasti lebih baik. "Yoona-ya!" "Ne, eommonim!" Aku sedikit berlari untuk keluar dari ruang pakaian. Ibu mertuaku datang. Beliau membawa tas belanja seperti biasanya. "Eommonim, kau datang bersama Donghwa oppa?" "Iya, tadi aku ke kafenya sebentar. Dan kebetulan Donghwa sedang disana" "kenapa kau selalu repot-repot? Kau bahkan tak bilang jika akan datang?" "Aku tidak repot. Memangnya apa yang akan kau siapkan jika aku bilang akan datang?" Dan kami tertawa bersama. Lalu aku melihatnya yang mulai mengeluarkan isi tas belanja. Ibu mertuaku selalu membawa berbagai kimchi yang dibuatnya sendiri. "Eommonim, apa isi kotak itu? Apa itu obatmu?" Aku mengambil satu bungkus obat bergambar ginseng. Dan satu bungkus lagi entah bergambar tumbuhan apa. "Itu bukan untukku. Tapi untuk kalian berdua. Aku meminta temanku membelikannya di pasar Yangnyeong." "Pasar Yangnyeong? Pasar yang terkenal dengan obat-obat tradisional itu?", Tanyaku memastikan. "Iya" "Apa itu?", Tanya Donghwa oppa, dia mengambil satu bungkus obat dan sama penasarannya seperti aku. "Ini, masing-masing dua bungkus untuk satu bulan kedepan." Ucapnya sambil membagi obat itu untukku dan Donghwa oppa. "Minum satu sachet setiap hari. Seduh dengan air mendidih" "Apa ini agar aku tetap bugar?" "Bukan, itu untuk kesuburan kalian" "Ne?", Donghwa oppa begitu terkejut, berbanding terbalik denganku yang menerimanya dengan senang hati. "Gamsahamnida, eommonim", Aku memeluknya karena begitu senang. "Jangan lupa minum teratur. Satu bungkus berisi lima belas sachet." "Aku coba dulu. Jika rasanya tidak buruk, maka akan ku lanjutkan", Ucap suamiku sambil membuka bungkus obat. "Jangan pilih-pilih. Jadilah anak yang penurut seperti istrimu." "Ya, ya…" Aku bersyukur karena ibu mertuaku sangat baik dan begitu perhatian. Meski terkadang cerewet, tapi aku tahu jika itu dilakukan untuk kebaikan. Tapi seiring berjalannya waktu, harapanku yang begitu besar untuk memiliki buah hati dan juga ibu mertua yang seolah terus menekanku membuatku merasa menyedihkan. "Hah…", Aku terduduk lesu di closet. "Ada apa?", Tanya suamiku saat masuk ke kamar mandi. "Aku datang bulan", Ucapku sedih sambil memegang perutku. "Mau kubuatkan teh jahe?" "Benarkah kau bisa membuatnya?" "Tunggu sambil berbaring, akan ku buatkan setelah mandi" "Gomawo" (Terimakasih) Aku berbaring di tempat tidur karena perutku terasa sakit akibat datang bulan. Baru juga aku memejamkan mata, suara dering ponsel mengusikku. Itu ponsel suamiku, awalnya aku mengabaikannya. Tapi akhirnya ku ambil juga, dan segera ku angkat tanpa melihat siapa yang menelpon. "Yeoboseyo?", Sapaku pada seseorang di seberang telepon. "Oppa kau dimana? Kenapa lama sekali?" Suara seorang wanita di seberang telepon membuatku sedikit terkejut. Tapi aku berpikir positif, mungkin dia menghubungi suamiku untuk urusan pekerjaan. "Maaf, suamiku sedang di kamar mandi. Kau bisa menghubungi lagi nanti. Atau ada pesan yang ingin kau sampaikan?" "Oh, tidak usah. Katakan saja padanya untuk segera menghubungi" "Baiklah" Dan telfon itu terputus. Aku melihat ke layar ponsel, ternyata suamiku tidak menyimpan nomornya. Tapi kupikir-pikir, suara wanita itu sedikit tidak asing bagiku. Mungkin saja dia seseorang yang aku kenal. Tidak ada manusia sempurna, tak ada pernikahan yang sempurna. Ketika aku sedang berusaha keras untuk mengalihkan rasa sedihku, badai itu datang menguji pernikahan kami. Ujian itu membuatku putus asa dan bahkan ingin menyerah. Yoona pov*End. ~***~ Donghwa pov* "Eomma! Paman nakal! Hua…!" Aku kembali tertawa karena lagi-lagi berhasil mengerjai Lee Jiwon. Dia berlari ke tempat ibunya yang sedang memberi asi pada adik bayinya di kamar. "Kau keterlaluan!" Istriku datang sambil menggendong Jiwon yang masih menangis. Dia mencoba menenangkan anak perempuan yang berusia hampir enam tahun itu dengan menawarinya kue yang dibelinya tadi. "Jiwon-ah, ayo turun. Kasihan bibi Yoona, kau sudah besar" "Shireo!" (Tidak mau!) "Iya, iya. Ayo kita makan es krim saja. Kau mau?" "Asik!" Melihat bagaimana interaksinya dengan Jiwon terkadang membuatku iri. Bukan iri pada Jiwon yang bergelayut manja dan selalu mendapat pembelaan dari Yoona, tapi aku iri pada kakakku sendiri. Kakakku sudah memiliki dua putri cantik yang menggemaskan seperti Jiwon dan Jisoo. Seringkali aku melihat kekecewaan di wajah Yoona ketika melihat hasil negatif pada alat tes kehamilan. Aku selalu mencoba menghiburnya meskipun sebenarnya memiliki kekecewaan yang sama. Aku tidak pernah mempermasalahkan jika Yoona belum juga mengandung buah cinta kami. Tapi aku sedih melihat bagaimana istriku itu berusaha terlalu keras, hingga mungkin membuatnya terluka. "Sayang, sudah minum obatmu?" "Aku tak akan meminumnya lagi" "Wae?!" ( Kenapa?! ) "Aku tidak suka. Rasanya tidak enak" "Ck, pantas saja jika eommonim lebih menyayangiku dari pada putranya sendiri." "Apa kau bilang?" "Itu benar, kan?" "Ya, baiklah. Akan ku minum" "Bagus!" Ibuku begitu menginginkan seorang cucu laki-laki. Dia sering bilang bahwa teman-temannya memiliki cucu yang lengkap. Itu selalu membuatnya iri. Ibu sangat memperhatikan apa yang aku dan istriku makan, sampai ia sering menelpon dan begitu cerewet. Ibu juga membawa bahan makanan setiap kali berkunjung ke tempat tinggal kami, itu membuatku tak enak hati karena merepotkan ibu. Tapi aku paham, ibu bersikap demikian karena begitu menyayangi kami, hanya saja terkadang dia juga bersikap sedikit egois. "Oppa, hasilnya negatif lagi", Ucapnya sedih sambil menunduk menatap test pack. "Tidak apa-apa" "Apa yang harus ku lakukan?", Tanyanya sambil menatapku, suaranya bergetar, dan matanya tampak berkaca-kaca. "Hei, kemarilah" Yoona berjalan mendekat. kemudian menghambur ke pelukanku. Aku mendengarnya menyusut ingus. Lalu aku mengusap punggungnya, mencoba menenangkannya. "Jangan sedih begini. Kita masih muda dan sehat. Kita masih punya kesempatan yang besar." Dia merenggangkan pelukan, lalu menatapku dengan mata basahnya. "Kau tidak kecewa padaku?" Aku tersenyum. "Kenapa aku harus kecewa padamu, hm?", Aku balik bertanya sambil mencubit pipinya gemas. "Aw! Sakit!" "Hahahaha…." Yoona menatapku dengan kesal sambil mengusap pipi kirinya yang telah ku cubit. Kemudian aku kembali memeluknya. "Tidak ada alasan bagiku untuk kecewa padamu. Kenapa kau berpikir demikian?" "Maafkan aku" "Jangan minta maaf" "Maafkan aku belum bisa menjadi istri dan menantu yang sempurna untuk kalian" Aku merenggangkan pelukan lalu menatapnya sebentar sebelum kukecup bibirnya, "Jangan katakan itu lagi. Aku tidak suka. Hilangkan pikiran burukmu, itu tidak baik" "Apa Tuhan sedang menghukumku?" "Tidak! Tentu saja tidak." "Tapi aku merasa seperti itu", Ucapnya lirih sambil menunduk. Sempat aku berpikir, apa mungkin ini hukuman yang Tuhan berikan padaku karena tindakan bodohku di masa lalu. Mungkin aku sedang menerima balasan atas apa yang kulakukan pada Yoona dulu. Jika benar, aku akan menerima hukumannya. Tapi jika aku boleh memohon, aku harap aku saja yang mendapatkan balasannya, jangan dia. Suatu ketika ujian lain pun datang. Keteguhan hati kami diuji. Rasa saling percaya seolah kian sirna begitu badai itu datang menerpa rumah tangga kami, sampai Yoona ingin menyerah dan tentu saja aku tak akan menyerah dengan begitu mudah. "Sayang, siapa yang mengirimmu pesan seperti ini?" Aku menghampiri istriku yang berdiri di dekat tempat tidur sambil menunjukkan pesan masuk di ponselku. "Tidak tahu. Biarkan saja, itu hanya seorang yang sedang iseng" "Kenapa pesannya begitu mesra, dia merayumu" Aku tersenyum. "Apa kau cemburu?" "Tidak", jawabnya cepat tanpa menatapku. "Bukankah kau sudah tahu, jika sejak dulu aku sering menerima pesan semacam itu?" "Awas saja jika kau bermain di belakangku" "Tidak akan" "Jinja?" ( Sungguh? ) "A…, jadi benar kau cemburu?", Tanyaku lagi sambil menahan tawa. "Ish!" Jika ku ingat lagi bagaimana lika-liku perjalan cinta kami sampai kami disatukan dalam ikatan suci pernikahan, aku tak akan membiarkan hal buruk menghancurkan impian kami begitu saja. Donghwa pov*End. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD