BAB 1

2348 Words
BAB 1 Pagi ini masih sama dengan pagi - pagi sebelumnya, ritual pagi yang sama dengan kondisi kehidupan yang tak jauh berbeda dari hari sebelumnya. Setelah lulus kuliah pun tidak ada yang spesial sama sekali, isinya pun masih seputar tentang mencari pekerjaan yang sesuai dan terlihat menjanjikan untuk pandangan beberapa orang tua diluar sana. “Pagi ma…. Pagi pa…” sapa olivia yang baru saja sampai di meja makan. “Jam berapa ini ? Baru juga turun !!” terdengar omelan yang juga masih sama seperti hari - hari sebelumnya dari sang mama. “Ya…. biasalah, ma.” jawab olivia santai sambil mengisi piringnya dengan nasi goreng yang sudah tersedia di meja. “Hari ini kamu rencananya mau kemana ? Hmm ? Jangan kebanyakan di rumah terus, nanti kelihatan jelas banget sama tetangga kalo ternyata masih jadi pengangguran.” sindir april, mama olivia. ‘Waw, pujian pagi ini masih saja berhasil meruntuhkan semangat gue.’ batin olivia miris. Sebenarnya hal ini bukanlah hal yang baru untuk olivia. Hampir setiap hari dia melakukan ritme kegiatan yang sama diiringi dengan sindiran - sindiran yang sama pula. Dan sindiran itu juga hanya dia dengar dari sang mama, siapa lagi. Setelah itu, kegiatan sarapan sambil mendengarkan wejangan yang sama pun berakhir. Olivia memilih untuk segera naik ke kamarnya yang berada di lantai atas dan memilih merebahkan tubuhnya di ranjang empuk posesif miliknya itu. Dan kegiatan yang cocok dan nyaman untuk menemani kegiatannya ini tentu saja adalah menscroll akun sosial media miliknya. Lalu, olivia teringat janjinya dan menghubungi sahabatnya. ‘Halo, dee.’ ‘Hmm….’ ‘Lo dimana ? Jadi nggak nih kita ? Udah siang, kalo lo nggak jadi gue berangkat sendiri aja daripada ribet nungguin lo.’ ‘Kayaknya gue nggak bisa deh, liv. Gue ada tugas negara nganterin bunda, nih.’ ‘Yaudah, gini dong jelas. Gue tungguin juga dari tadi.’ ‘Nggak perlu ngambek juga kali, liv.’ ‘Enggak, dee. Ngapain juga gue ngambek gak jelas. Yaudah gue siap - siap dulu deh sebelum negara api menyerang kayak pagi tadi.’ ‘Masih aja lo pagi - pagi di serang negara api.’ ‘Mau berharap apa lo ?’ ‘Saran gue sih, mendingan lo buruan pergi dari negara api. Daripada hidup lo nggak berkembang dan di isi drama yang sama aja tiap hari.’ ‘Makan apa gue pergi dari sini ? Kerjaan aja gue nggak punya. Yaudah nanti gue pikirin caranya deh. Gue tutup dulu, bye!’ Setelah panggilannya dengan dee terputus, olivia menghempaskan ponselnya ke sebelahnya. Lalu, terdengar suara hembusan nafas berat darinya. Ingin rasanya dia mengikuti saran dee. Dia mulai memikirkan kata - kata sahabatnya. Umurnya pun sudah menginjak dua puluh dua tahun, tapi dia masih saja menyandang gelar pengangguran, memiliki seorang kekasih tapi rasanya seperti jomblo karena usahanya yang selalu disia - siakan, dan di rumah pun dia harus hidup dengan berisikan perbandingan - perbandingan antara dirinya dengan adiknya yang tentu saja diberikan oleh sang mama. Sungguh miris memang hidup seorang olivia jasmine ini. Semesta seakan tak pernah mendukung hidupnya. Rasanya tak pernah ada hal baik yang ada padanya. Lamunannya itu lalu mengingatkan dia dengan sang kekasih yang rasanya semakin menjauh darinya semenjak dirinya lulus kuliah. Hubungan mereka juga kian merenggang. “Coba gue telpon dia.” olivia berbicara sendiri sambil mencoba menghubungi kekasihnya, ditya. Tapi lagi - lagi hanya sebuah suara operator yang didengar olivia. Hal ini tentu saja menyulut emosinya. Kekasihnya itu selalu saja seperti ini, padahal panggilan olivia tak hanya sekali. Berulang kali mungkin sampai rasanya dia ingin langsung datang saja kerumah ditya. Tapi dia tidak bisa. Saat ini yang olivia bisa adalah terus berusaha menghubungi pria yang sudah mengisi hatinya selama kurang lebih dua tahun. Karena masih tak mendapatkan balasan, olivia melakukan investigasi ala agen FBI dengan membuka akun sosial media milik ditya. Seharusnya ini adalah hal yang melanggar privasi seseorang, hanya saja instingnya mengatakan bahwa dia harus membukanya. “Oke, kita buka satu per satu.” kata olivia sendiri sambil melihat satu per satu postingan yang ada di akun sosial ditya. BRAKK!!! Terdengar suara ponsel yang jatuh dari atas ranjang. “SIALAN!!! JADI SELAMA INI DIA NGGAK ADA KABAR KARENA INI!!!” teriak olivia yang langsung tersulut emosi saat melihat hal yang tidak seharusnya ada di sosial media milik kekasihnya. Memang ini adalah resiko yang harus ditanggung jika melanggar privasi seseorang. Tapi lebih baik menelan pil kenyataan yang pahit ini sekarang daripada saat semuanya terlambambat nanti. Olivia langsung mengambil bantal dan menutup mulutnya, dia teriak dengan sekuat tenaga untuk menyalurkan emosinya. Hal ini harus dia lakukan agar teriakannya tak terdengar sampai keluar kamar. Karena di rumahnya ini dinding pun punya telinga. “Ternyata selama ini dia sama aja kayak cowok pada umumnya, bukannya berubah. Kali ini justru makin parah aja, nyesel gue selalu ngasih kesempatan buat dia berubah.” maki olivia dengan diiringi isakan karena merasa dadanya sesak. “Nggak!!! Ini nggak bisa dibiarin!! Harus bener - bener diakhiri sekarang!!! Gue bisa gila kalo gini terus caranya. Semuanya ini udah cukup!! Dua tahun ini udah cukup gue melatih kesabaran.” lagi - lagi olivia berbicara sendiri dan menyakinkan dirinya bahwa kali ini tak akan ada lagi kesempatan yang selalu disia - siakan ditya. Dia harus segera mengakhiri hubungan tak sehat ini. *Halo kak. Lama banget ya nggak ada kabar berita ? Gue denger - denger lo lagi sakit. Tapi udah ada yang jengukin dong ya, pasti sekarang udah sembuh. Gue cuma mau sampein kalo mendingan hubungan ini sampai disini aja ya, jadi suatu saat nanti kalo lo lagi sakit nggak perlu sungkan buat kasih kabar ke yang lain. Dan nggak bakal sakit hati juga gue liat lo cuma ngakuin gue sebagai “ADEK”. Oke, thanks buat dua tahun rasa rumah duka ini. BYE!* Akhirnya sebuah pesan dikirim olivia pada ditya setelah dia mengetiknya dengan penuh emosi membara. *** Sore ini, entah bagaimana bisa olivia sudah sampai di sebuah mall dengan selamat. Untung saja tadi dia masih sempat berdandan cukup cantik untuk seorang gadis yang sedang putus cinta. “Gila, ini rame banget. Ada acara apaan sih ?” kata olivia sambil celingukan melihat kerumunan orang yang ada di hall depan cafe yang akan menjadi tujuannya. Saat sudah duduk di cafe, ternyata kerumunan orang itu sedang datang dalam acara meet and greet seorang penyanyi muda yang sedang naik daun. ‘Lah, ini kan penyanyi yang suaranya adem banget. Rejeki gue nih langsung liat tampang cakepnya.’ batin olivia. Tanpa sadar sebuah senyuman simpul menghiasi wajahnya. “Nggak salah nih kaki gue hari ini.” puji olivia pada kakinya. Juna archer, pria berusia 23 tahun. Seorang pria dengan wajah yang sangat tampan, rambut hitam pekat, tulang hidung yang tinggi, dan rahang tegas yang menjadi ciri khasnya. Lalu didukung sikap cool yang menjadikan ketampanannya semakin meningkat. Walaupun wajahnya terlihat datar dan cuek, tapi itu tak menjadikan celah pada ketampanannya. Juna adalah sebuah kesempurnaan seorang pria yang selalu ingin digapai oleh banyak wanita. Tiba - tiba olivia mendekat ke acara itu. Semua orang yang datang saling mendorong dengan brutal untuk bisa maju dan mendekati juna. Sungguh penggemar juna ini sudah seperti ibu - ibu yang sedang berebut menukarkan kupon jalan sehat. Hingga akhirnya olivia memilih untuk berdiri di samping stage sedikit ke belakang agar tak perlu berdesakan dengan yang lain. Bagi olivia cukup dengan melihat wajah juna untuk menyegarkan pandangannya ini. Dan ternyata bonusnya, dia justru dapat melihat wajah tampan itu dengan sangat jelas dan terpampang sangat nyata. Sangking nyatanya hingga olivia merasa bisa menggapai pria terkenal itu. ‘Kalo ini sih nggak suaranya aja yang menenangkan. Tapi wajahnya juga berperan sangat penting. Ya…. walaupun mukanya datar kek aspal. Tapi kenapa justru bikin menarik, ya ?’ batin olivia yang diam - diam memuji ciptaan Tuhan satu ini. Saat sadar, olivia menggelengkan kepalanya karena mulai terlena dengan ketampanan juna. Bertepatan dengan itu juna juga menolehkan kepalanya ke arahnya. “Ish, nggak boleh geer… nggak boleh geer…. Dia liat siapa ya ? Gue bukan, ya ?’ batin olivia. Sepertinya dia mulai gila karena otaknya ini sempat terbesit pikiran seperti ini. Tapi, saat olivia mengedarkan pandangannya ke sekitarnya ternyata tak ada orang lain disana selain dirinya. Hanya dirinya. “Lo darimana aja ?” tiba - tiba terdengar suara seseorang sambil menepuk bahu olivia. Olivia refleks langsung menolehkan kepalanya ke samping dan menemukan seseorang dengan wajah cukup cantik dengan rambut panjang. “Haa ? Darimana apanya ?” tanya olivia dengan wajah polosnya. “Keperluan yang juna minta tadi. Masa baru bentar aja udah lupa sih.” “Keperluan ? Keperluan apa ya maksudnya ?” Tanya olivia lagi. “Lo gimana sih, kinerja lo jelek banget!” kata perempuan dengan rambut panjang itu. “Oke, gue ulangi lagi. Minuman yang tadi juna minta udah lo siapin ?” olivia langsung menggelengkan kepalanya. Bukan karena belum menyediakannya, tapi lebih karena dia tidak tahu tentang maksud pembicaraan ini. “Lo gimana sih ? Lo panitia yang ngurusin keperluan juna selama acara ini, kan ?” “Panitia ?” ulang olivia. “LO….” wanita itu sudah menunjuk jari telunjuknya ke arah olivia dengan wajah marah. “Dis, ada apa ?” tanya juna ke wanita berambut panjang ini. “Lo minta kopi, kan ?” juna menganggukan kepalanya. “Terus ?” “Dia belum nyediain, padahal acaranya udah mau beres.” gerutu wanita bernama gadis ini sambil melipat kedua tangannya didepan. Olivia hanya diam dan mengamati pembicaraan si penyanyi tampan dengan wanita berambut panjang di depannya ini dengan wajah tenangnya. ‘Ini siapanya juna, ya ? Apa kekasihnya ?’ batin olivia saat melihat interaksi di depannya itu. Tiba - tiba tangan olivia ditarik oleh seseorang. Dia melihat bahwa sekarang ini tangannya sedang berada dalam genggaman tangan juna. Dan sepertinya pria itu membawanya ke cafe terdekat dari tempat acara. “Jun… Juna…. Lo mau kemana ? Kenapa main tarik tangan dia sih ?” semakin murka saja gadis melihat juna menarik tangan panitia itu. Dia yang sudah menjadi temannya sejak lama bahkan sudah menemaninya dengan menjadi manajernya saja tak pernah digenggam seperti itu. Bagaimana bisa seorang wanita asing bisa mendapatkan perlakuan seperti itu ? Sebelum menyusul juna, gadis memanggil bodyguard yang disiapkan untuk melindungi juna selama acara ini. Lalu gadis terlihat akan segera menyusul mereka. Sesampainya di cafe, juna memilih duduk di salah satu kursi yang terletak di pojok cafe agar tak banyak yang menyadari kehadiran dirinya disana. “Pesanin americano sana.” kata juna penuh perintah. “Lo nyuruh gue ?” tanya olivia sambil menunjuk dirinya sendiri dengan wajah bingung. “Emang ada orang lain disini selain kita ? Buruan deh, tadi manajer gue kan udah nanya masalah kopi itu. Sekarang sekalian aja lo pesenin.” olivia hanya diam sambil menatap wajah juna. Sepertinya dia salah menilai pria itu. Olivia harus membatalkan penilaian baiknya tentang juna. “Nih kartunya buat bayar, gue nggak suka minum yang gratisan.” kata juna sambil menyodorkan sebuah kartu ke arah olivia. Akhirnya mau tak mau olivia menerima kartu itu dan pergi memesankan minuman yang diminta oleh juna. Setelah beberapa saat dia kembali sambil membawa nampan berisi kan segelas americano dan sepotong kue. Bertepatan dengan itu gadis juga datang bersama beberapa bodyguard dibelakangnya. “Kayaknya gue nggak nyuruh beli ini.” kata juna sambil menunjuk ke arah sepotong kue di sebelah gelas americano miliknya. “Tapi ini kue kesukaan gue.” lanjut juna lagi. Belum sempat olivia menjawab semua yang juna katakan, tiba - tiba saja dipotong oleh gadis. “Paling kue itu sebagai permintaan maafnya aja, jun. Lagian siapa juga yang nggak tau lo suka sama kue ini ?” sindir gadis sambil melirik tajam olivia. “Oke. Sebelumnya gue kasih tau dulu, kalo gue bukan panitia di acara meet and greet lo. Dan soal kue ini juga bukan buat lo, kue ini gue beli buat diri gue sendiri, dan tentu saja menggunakan uang pribadi.” jelas olivia panjang lebar sebelum gadis dan juna mulai menuduhnya lagi. Sungguh kesalahpahaman ini tidak menguntungkan posisi olivia sama sekali. Bisa - bisanya dia menjadi orang paling rugi disini, bahkan menjadi yang tertuduh. Senyuman langsung menghiasi wajah juna bersamaan dengan penjelasan olivia yang baru selesai. “Ini bukan buat permintaan maaf gue, tapi kalo lo suka ya… makan aja.” lanjut olivia kali ini dia mengatakan sambil mengambil piring kue itu dan meletakkannya di hadapan juna. Setelah itu dia berbalik untuk bersiap pergi meninggalkan juna bersama dengan dayang - dayangnya. “Tunggu!!” panggil juna. Olivia pun langsung menghentikan langkahnya. “Kartu debit gue juga mau dibawa ?” Tanya juna lagi sambil terlihat menahan senyumannya. Olivia pun hanya bisa memejamkan mata karena kecerobohannya itu, lalu dia berbalik untuk memberikan kartu itu kembali pada juna. “Nih!!! Gue kembaliin. Gue juga nggak mau bawa barang milik orang lain, nggak usah salah paham.” Olivia meletakkan kartu milik juna di atas meja sambil menunduk, dia takut ketahuan bahwa sekarang ini wajahnya sudah memerah karena malu. “Nah, gitu dong. Sebagai gantinya, lo bawa kartu yang ini aja.” juna menyodorkan kartu lain yang tak lain adalah kartu nama miliknya. Olivia memandangi juna dengan wajah bingung, tapi akhirnya dia terima saja agar mempercepat urusannya dan bisa segera pergi. “Untuk kompensasi karena kesalahpahaman tadi, lo bisa hubungin gue dan protes langsung ke gue masalah kopi tadi.” penjelasan juna membuat olivia semakin tercengang saat mendengarnya. Dia takut salah dengar tentang yang baru saja juna sampaikan. ‘Maksudnya apa nih cowok ?’ batin olivia. “Nanti lo bisa minta ganti rugi ke gue. Dan inget, nggak semua orang bisa dapetin kartu nama gue dengan mudah. Disitu ada nomor telfon gue, jadi jangan bocorin nomor itu.” kata juna dengan nada perintah seperti sebelumnya. “Gue nggak ada niatan mau telfon lo. Dan nggak minat juga mau nyebarin informasi ini. Emang apa untungnya buat gue ? Lo udah dapet kopinya kan ? Dayang - dayang lo juga udah dateng , jadi lo udah nggak perlu orang buat layanin lo kan ? Sampe salah suruh orang lagi. Dasar ! Gue pamit!” omel olivia yang langsung pergi meninggalkan juna. Dan semenjak kepergian olivia, juna tak melepaskan pandangannya dari punggung itu. Bahkan wajahnya juga dipenuhi senyuman yang berbeda. ‘Sampai jumpa lagi cewek jutek.’ **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD