Chapter 1

1802 Words
Hujan mulai reda ketika Mitsuri sampai di depan kuil tua itu. Ia menghentikan langkah sejenak, menjulurkan sebelah tangan lalu mendongak, seakan memastikan hujan tak akan bertahan lebih lama lagi. Awan gelap bergerak pelan menjauhi bulan. Jalanan yang gelap dalam hitungan lambat berubah kian terang. Mitsuri melipat payungnya kembali dan menyandarkannya pada dinding di sebelah pintu utama. Dengan lembut ia mendorong pelan pegangan pintu kayu yang rapuh. Ruangan gelap menyambutnya. Ia bergeming sesaat, memandang berkeliling memastikan dan menutup pintu kembali dengan perlahan. Tepat saat derit pintu terakhir, sebuah lilin di meja tengah ruangan menyala. Diikuti seluruh lilin yang melayang secara misterius di langit-langit. Ruangan itu tak terlalu luas, juga tak terlalu sempit. Namun cukup lengang untuk ia, dua orang berpakaian resmi -jika mereka bisa disebut orang- yang nampak ganjil dalam ruangan sederhana itu. Dan lima orang -yang jelas tak bisa disebut orang- mengelilingi meja bundar di tengah ruangan. la memiringkan kepala ke satu sisi. Senyumnya mengembang namun tak satu pun sosok dalam gelap itu membalasnya. Ia melangkah pelan menuju meja dan berhenti untuk memberikan salam. "Selamat malam semuanya, cuaca tak cukup baik malam ini," selesai membungkukkan badan ia menarik satu kursi yang tersisa di meja dan mendudukkan diri. Pandangan mereka tertuju padanya. Seolah heran gerakannya bisa tidak menimbulkan suara. Mengingat betapa rapuhnya lantai kayu yang ia pijak. Seorang gadis berambut pendek yang tak melebihi bahu, memerhatikan Mitsuri dengan kerutan dalam pada keningnya. Jelas bingung bercampur heran. Shin tersenyum menenangkan tapi nampaknya ia tidak terhibur sama sekali. "Pertama-tama," Mitsuri memulai. "Aku akan memperkenalkan diriku," ucapnya, masih tersenyum. "Bukankah jelas kau seorang shinigami, dewa kematian." Mitsuri menoleh pada seorang gadis yang duduk di seberang meja. Ia bertopang dagu dan memandang ke luar jendela kecil di seberang ruangan. Dari raut wajahnya terlihat tak tertarik pada apa pun yang ada di sini. Mitsuri melemparkan senyum padanya meski tak ia lihat. "Benar." Denting piano terdengar memecah kesunyian. Kini Mitsuri berpaling pada laki-laki bersetelan jas resmi yang duduk di balik piano hitam mengkilat. Begitu kontras pada keadaan seluruh ruangan. Bisa dirasakannya juga laki-laki beraura dingin yang duduk di sofa bersandaran punggung tinggi di belakangnya menoleh memandang tajam ke arah suara. "Hanya memastikan ini berfungsi," seorang laki-laki yang rambutnya dicat pirang melongokan kepala sambil tersenyum lebar. Mitsuri memutuskan untuk tidak menegurnya dan melanjutkan. "Aku, tentu saja, memang benar seperti yang telah disebutkan adalah seorang dewa kematian. Begitu juga dengan dia yang di sana," Mitsuri menunjuk dengan sebelah tangan pada laki-laki di balik punggungnya tanpa menoleh. "Adalah Shinazugawa-san," Mitsuri menambahkan san dalam panggilannya untuk Ishigami karena ia lebih senior darinya sekaligus untuk menjaga sopan santun di antara mereka. Kepala-kepala di meja menoleh pada Ishigami, yang menundukan kepalanya sedikit. Tapi kesan mengintimidasi yang kuat membuat tak seorang pun mau berlama-lama menatapnya. "Lalu yang di sana," Mitsuri menunjuk laki-laki di balik piano. "Adalah Katayama-kun," semata-mata menambahkan kun untuk Katayama agar ia berhenti merengek padanya. Katayama yang sadar namanya baru disebut melangkah dari balik piano. Berdiri dengan sikap resmi di sisi benda itu dan menunduk sopan memberi salam. Senyumnya yang menawan dan warna rambutnya yang mencolok, menarik seluruh perhatian kepala-kepala di meja tanpa terkecuali. Bahkan gadis yang sejak awal nampak tak tertarik pada apa pun juga berbalik untuk melihat Katayama. Meski dengan jas resminya yang pas sekali pada ukuran tubuhnya yang tak terbilang kecil. Namun jelas dari wajahnya menunjukkan bahwa umur Katayama tak lebih dari lima belas tahun. Dan memang benar kenyataannya begitu. Ia telah berumur lima belas tahun selama sekurangnya sepuluh tahun terakhir ini. "Dan aku, Mitsuri." Ada sesuatu yang aneh saat Mitsuri menyebut namanya sendiri. Seakan ada angin dingin yang mendadak menyapu mereka yang berada di meja. Gadis yang berambut pendek kini menunduk takut memeluk dirinya sendiri dan sedikit menggigil. Mitsuri tersenyum. Senyuman yang tak hilang dari wajah mungilnya yang cantik. Senyuman yang tak pernah menyentuh kedua mata gelapnya yang misterius. "Kukira kalian bersaudara," kata seorang laki-laki yang berjarak dua kursi darinya. Mitsuri menoleh padanya. Diam sejenak seolah sedang membacanya. Kemudian menggeleng pelan. Tetapi Mitsuri tidak menjelaskan apa pun padanya. Ia kembali menyapu pandangan pada semua orang. Dari sebelah kiri, seorang gadis yang usianya sekitar tujuh belas tahun. Ia menunduk memandang jari-jarinya yang saling bertaut di meja di hadapannya. Di sebelahnya, gadis dingin yang tak tertarik pada apa pun dan lagaknya ingin sekali segera pergi dari sini. Yang tak sedetik pun mengalihkan perhatian dari jendela setelah menoleh sebentar pada Katayama. Di sebelahnya lagi, gadis berambut pendek yang kebingungan. Dilihat dari wajahnya, ia seumuran dengan si gadis pertama. Kemudian laki-laki yang barusan bicara. Ia memiliki tipe wajah yang menenangkan dan senyum hangat yang menyenangkan jika saja ia mau tersenyum. Tapi tentu tidak, tidak di hari kematiannya. Terakhir, tepat duduk di sebelah kanan Mitsuri. Seorang gadis berambut lebih pendek dari si gadis yang duduk tepat berhadapan dengan Mitsuri, rambutnya dicat merah di beberapa bagian. Yang jika ia tidak salah ingat, disebut manusia sebagai highlight rambut. "Seperti yang kita tahu," Mitsuri memulai setelah keheningan panjang yang mencekam. "Tugasku adalah memfasilitasi kalian yang mati tidak tenang. Mencakup beberapa sebab seperti bunuh diri," Mitsuri memandang si gadis yang tak memiliki minat, gadis di sebelah kirinya dan gadis di hadapannya sekilas. Ketiganya tersentak mendengar ucapan terakhir Mitsuri, tapi tidak satu pun dari mereka ada yang membuka suara. "Atau pun tragedi," Mitsuri memandang sekilas pada dua orang yang tersisa yang langsung membuang muka darinya. "Karenanya penting campur tangan kalian untuk mewujudkan hal ini. Bahkan seorang dewa kematian sepertiku, tidak akan bisa menolong mereka yang tidak menginginkan pertolongan." Si gadis tanpa minat melempar pandang sekilas pada Mitsuri, seolah semua yang ia katakan hanyalah omong kosong. "Dan sejauh yang aku lihat, tidak seorang pun tidak membutuhkan bantuanku," Mitsuri menyatukan kedua tangannya di meja. Gadis dihadapannya langsung menarik tangannya dan menunduk ketakutan. "Alasan kenapa kalian berada di sini, tak lepas dari cerita semasa hidup kalian. Atau kita bisa menyebutnya sebagai masa lalu," jeda sejenak. Mitsuri menyapu pandangan kembali pada semua orang. Lalu pada Katayama yang melongokan kepalanya lagi dari balik piano dan memberi isyarat dengan sebelah tangan. Kemudian dengan ujung matanya melirik pada Shinazugawa yang mengangguk samar. "Jadi, tanpa basa-basi lagi, mari kita mulai menyusuri kembali kisah-kisah kalian. Apa yang telah kalian lewati, apa yang telah kalian tinggalkan dan apa yang menanti kalian setelah semua ini berakhir." Api pada lilin meliuk tersapu angin. Tak satu pun di antara semua orang di meja nampaknya mau memberi Mitsuri tanggapan. "Aku berperan sebagai pembawa acara malam ini, Shinazugawa-san memiliki peran sebagai pengawas sekaligus penanggung jawab acara ini dan tentu," ia mengerling pada Katayama yang tak sabar namanya disebut lagi. "Katayama-kun sebagai koordinator hiburan. Ia dengan senang hati memainkan piano barunya untuk kalian." Sebelum ini, Katayama yang masih menjalani masa training di bawah bimbingan langsung Shinazugawa, memiliki beberapa alat musik yang ia yakini berguna untuk menghibur para arwah setelah kematian mereka yang tragis. Dua bulan lalu ia memilki drum dan hanya bertahan sehari karena Shinazugawa marah, drum terlalu berisik baginya. Sebelum-sebelumnya Katayama pernah memiliki gitar, biola, harmonika dan terakhir piano dan berjanji tidak akan menggantinya lagi. Shinazugawa sudah mengancam tak akan membiarkan Katayama terlibat jika masih bersikap aneh. Beberapa kepala menoleh pada Katayama tepat saat ia menghilang lagi di balik piano. Baik Shinazugawa maupun Mitsuri telah memastikan Katayama hanya memainkan instrumen yang menenangkan saja. "Dan kalian," Mitsuri memulai pada gadis di sebelah kirinya. "Rachel Watanabe, Akemi Haru, Hinata Akabane, Rui Inoue dan Kirin Oota," Mitsuri memandang mereka satu persatu. Empat perempuan dan satu laki-laki. Semuanya balik memandang Mitsuri heran. Jelas bingung dari mana ia tahu nama masing-masing dari mereka. Sesaat melupakan kenyataan siapa Mitsuri yang sebenarnya. "Kurasa tak perlu menjelaskan alasan kematian kalian," Mitsuri memandang lurus pada api lilin yang meliuk-liuk, meski begitu ia masih tersenyum. Untuk malam ini saja mungkin, bukan tanpa alasan tentunya. Hanya dengan melihat sekilas pada mereka saja Mitsuri sudah mengetahui segalanya. Tiga orang pertama yang mati bunuh diri. Dua orang sisanya yang mengalami kecelakaan. Seperti hari-hari yang telah berlalu. Semua kisahnya berbalut tragis. Mengetahui cerita mereka seperti yang telah Mitsuri sampaikan bukanlah tujuan utama. Semata-mata, masing-masing dari mereka menceritakan ulang kisah hidup mereka dengan tujuan untuk dilupakan. Para arwah itu harus pergi tanpa ingatan. Dan begitulah cara Mitsuri mengeluarkan ingatan mereka. Terutama kenangan-kenangan membahagiakan yang tak akan bisa mereka ingat dengan sama bahagianya saat mereka masih hidup. "Jadi," Mitsuri mengangkat wajahnya lagi. "Siapa yang mau menjadi yang pertama?" Kepala-kepala di meja saling toleh bertukar pandang. "Itu," gadis di seberang Mitsuri berkata lirih, ragu antara menatap langsung Mitsuri atau tidak. "Untuk apa kita perlu menceritakan kisah hidup kita? Mengingat, tak ada yang menyenangkan dari itu," ia menjatuhkan pandangan sedih. "Bahkan aku berharap bisa melupakan semuanya setelah aku mati, tapi... Tapi... Aku masih mengingat semua itu." Mitsuri tersenyum menenangkan yang tak satu kali pun berhasil menghibur salah satu di antara mereka. "Karena itulah, dengan menceritakannya pada kami," yang ia maksud adalah ia, Shinazugawa dan Katayama. "Kau akan bisa melupakan semuanya." Gadis itu, Rachel Watanabe, tersentak mendengarnya. Ada keraguan dalam di balik sorot matanya. Perasaan bertentangan antara ingin melupakan kenangan masa hidupnya atau tidak. Perasaan yang ia sembunyikan begitu dalam. Tetapi Mitsuri tersenyum. Rachel membeku dibuatnya. "Seburuk apa pun kenangan masa hidupmu, kau tetap memiliki keinginan untuk tidak melupakannya." Rachel membuang muka. Berharap tak seorang pun memerhatikan dirinya. "Sebelumnya kau mengatakan, bahwa kau bertugas memfasilitasi kami, apa itu termasuk menyelesaikan hal-hal yang belum sempat kami selesaikan semasa hidup?" Tanya Kirin Oota, yang duduk persis di sebelah kanan Mitsuri. "Benar, tapi tentu kami memiliki batasan dan aturan tertentu." "Apa contohnya?" Rui Inoue memajukan diri penuh harap. "Menyampaikan pesanmu pada orang yang kau tinggalkan," suara Mitsuri yang lembut nampaknya tidak membawa pengaruh apa pun bagi mereka. Rui terhenyak lagi di kursinya, berpikir keras. "Kau sudah tahu, kan?" Suara dingin Akemi Akabane terdengar. "Benar," Mitsuri mengangguk anggun. Akemi berpikir sejenak. "Tidak," kata Mitsuri. "Tidak termasuk membalas dendam pada manusia. Dewa kematian tidak ikut campur pada urusan manusia. Kami hanya menjalankan tugas yang diberikan pada kami." Akemi berpaling lagi memandang keluar jendela, dan dilihat dari gelagatnya, sepertinya ia akan tetap begitu untuk selamanya. Setelah memastikan tak ada lagi yang akan bertanya. Mitsuri kembali membuka suara. "Sudah memutuskan siapa yang akan memulai?" Ia memandang lurus pada Rachel yang kini bergerak-gerak gelisah. "Aku," kata Rachel akhirnya setelah keheningan panjang. Katayama menekan tekan tuts pianonya menimbulkan suara singkat menenangkan. Tapi hal itu membuat Rachel terlonjak keras. Shinazugawa yang kini sibuk dengan buku ditangannya, memandang Katayama sekilas dan menutupi wajahnya kembali dengan buku itu. "Bagus, salah satu hal paling berani yang bisa kita lakukan adalah merelakan orang-orang yang kita cintai." Rachel menaruh kedua tangannya di meja, menautkan jari-jarinya dan bersiap-siap. Mitsuri tersenyum. Semua orang memerhatikan kecuali Akemi Haru yang enggan berpaling dari jendela. Kilas balik kehidupan seorang Rachel Watanabe atau yang lebih dikenal sebagai Im Rachel pun dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD