Satu

1058 Words
"Misha!" teriak seorang gadis berambut pirang menghentikan langkahnya. Gadis itu melangkah sedikit cepat. "Kamu ke mana saja! Aku sebal tidak ada teman!" Gerutunya sembari mencebikkan bibir kecilnya. Misha tersenyum kemudian terkekeh pelan mendengar gerutuan gadis di sebelahnya itu. "Maaf, aku kemarin pergi ke rumah Nenek, menemaninya. Kamu tahulah, jadi cucu satu-satunya sedikit menyusahkan," sahut Misha sambil mengedikan bahunya tanpa acuh. "Kamu 'kan banyak teman Lusi, kenapa harus selalu bergantung padaku?" Tanya Misha kemudian melangkah pelan. Gadis rambut pirang bernama Lusi itu semakin mencebikkan bibirnya. "Kamu juga tahu sendiri, tidak ada yang mau berteman denganku selain dirimu," sahutnya sembari meringis. "Ya sudah, kan aku sudah di sini. Jangan sedih," hibur Misha sembari tersenyum lebar. Misha gadis cantik belasteran bernetra biru laut, dengan rambut coklat gelapnya. Misha tidak terlihat seperti gadis yang sudah terpilih 20 tahun, dia terlihat seperti gadis terpilih enam belas tahun. Wajah dan bentuk sangat mendukung. Dan Lusi adalah sahabatnya sejak mereka sekolah menengah pertama. Misha sangat dekat dengan Lusi, begitu pun dengan Lusi. "Sekarang ada kelas?" Tanya Lusi menatap Misha. Misha menganggukan setuju. "Ada, tapi itu hanya kelas tambahan sih. Kalau tidak salah kamu tidak ikut kelas itu," sahut Misha sambil terus berjalan memasuki kampus. "Berarti sia-sia Aku datang ke Kampus," keluh Lusi sangat rugi datang ke Kampus. "Tapi diundang juga, malam tiba kan pesta ulang tahunku. Sekalian bagikan undangan saja ya?" Lusi kembali berbicara sendiri. "Terserah dirimu sajalah, aku sudah terlambat. Nanti kabari saja kalau perlu aku bantu, oke?" Misha segera melangkah kembali Lusi yang belum berhasil menjawab pamitnya. Sebenarnya, Misha tidak suka dengan yang namanya pesta. Dia lebih senang menghabiskannya dengan membaca atau mengerjakan hal yang berguna. Dan dia yakin, Lusi akan memaksanya untuk datang, terus seperti tahun-tahun yang lalu. Misha berjalan pelan, mengacak buku yang ia bawa, pindah mengambil buku catatan yang ia pinjam dari teman kelasnya. Huft ... Menyebalkan sekali. Bruk "Eh ... Maaf, aku tidak sengaja," ucap Misha sambil mengusap keningnya pelan. Apa yang sebenarnya dia tabrak? Tihang listrik kah? Atau manusia? Keras sekali. Bak berjalan, orang itu sama sekali tidak mau meminta maaf Misha. Dia malah berpindah begitu saja dari Misha. Misha ingin mengumpat, tetapi kembali ia tahan kembali lagi adalah anak yang baik di Kampus ini. Akan sangat tidak menyenangkan jika orang-orang yang mendengarkannya mengumpat. Dengan hati yang dongkol, Misha kembali berjalan menuju kelas tambahan yang ia ikuti. Misha masuk ke ruang kelas. Dia tersenyum pada setiap orang yang menyapanya di dalam kelas. Misha duduk di bangkunya, dia mengambil buku catatan yang dia cari tadi. "Misha, buku-ku mana?" Tanya seorang wanita berambut hitam dengan perut buncitnya. Misha tersenyum dia sudah menemukan bukunya kemudian menyodorkan pada wanita di dibuka. "Ini Nina, terimakasih. Bagaimana kabar bayimu? Sehat?" Misha tersenyum sambil bertopang dagu melihat si wanita itu. Wanita bernama Nina itu menghela napas panjang sebelum duduk di kursi sebelah Misha. "Begitulah Mish, Bayi selalu sehat. Hanya saja_" ucapnya tersendat, mata Nina berkaca-kaca seolah tak sanggup menerima hal lain. Misha bergerak mendekat, dia mengusap bahu Nina. Mata bulatnya memandang sendu pada Nina yang tampak rapuh itu. "Maaf, Nina. Bukan maksudku_" "Tidak masalah, Misha. Hanya saja, hamil saja tanpa suami yang sangat berat. Rasanya aku ingin lolos saja," ucapnya sambil menumpahkan air mata. Misha meringis, dia juga seorang perempuan. Kalau dia ada di posisi Nina, apa dia bisa kuat atau tidak. Rasanya dia juga ingin menangis melihat kondisi Nina yang sangat memprihatinkan. "Aku yakin kamu wanita yang kuat. Kamu akan menjadi ibu yang tegar. Aku selalu mendukungmu." Misha memberi semangat pada Nina. Misha mendekat kemudian mengusap mata Nina. "Sudah, jangan menangis. Kasihan bayi yang ada dalam kandunganmu." Misha memberi semangat pada Nina. Misha memang tipekal orang seperti itu. Dia perasa, penyayang, dan sangat mudah bergaul. Misha punya banyak teman. Namun yang paling dekat hanya Lusi saja. Nina berhenti air mata dia mengusap mata kemudian menarik napas panjang. Dia tersenyum lebar pada Misha dan dibalas senyuman yang tak kalah lebar darinya. Entahlah, Misha memang terlahir dari keluarga berada. Namun, dia besar dengan pengasuh dan pelayannya. Orangtuanya tak cukup peduli, tapi tak mau berubah menjadi anak nakal. Baginya, masih banyak cara lain untuk mengusir sepi. Bukan berarti harus dia jalankan pada jurang nista. Misha cukup pandai diizinkan sendiri dan Misha hanya akan berkeluh kesah pada Nenek satu-satunya. Waktu terasa berlalu begitu cepat. Kelas selesai, senyuman Misha pun tak pernah luntur. "Nina, Kamu ingin aku antar pulang? Sekalian aku juga lewat jalur sana." Misha berjalan beriringan dengan Nina yang berjalan pelan karena perut buncitnya. "Misha, jangan terlalu dekat denganku. Lihat, mereka terus menatapmu penuh mengejek. Aku tidak mau reputasimu jelek." Tidak enak, karena dia anak nakal yang kebablasan, sedangkan Misha anak aktif dengan segala kecerdasannya. Misha mengedikan bahunya tak acuh. "Aku tidak perduli, toh kalau aku ada diposisimu, mereka akan lebih dari itu. Jangan perdulikan ucapan orang lain, karena mereka hanya bisa mencibir tanpa bisa merasakan. Ayo," ajak Misha menggandeng lengan Nina. Sampai di tempat parkir, Lusi sudah menunggui Misha di depan mobil Misha. "Kamu lama sekali!" Lusi berhenti berbicara menatap pada Nina dari atas sampai bawah. Kemudian dia beralih sambil melihat Misha dengan tanda tanya penuh. Misha menggelengkankan perlahan, memberi isyarat agar Lusi diam. "Ayo Nina, Kamu duduk di belakang, ya." Misha kembali menuntun Nina untuk masuk ke mobil. Nina masuk lebih dulu, Misha lalu menghampiri Lusi. "Kamu kenapa mengajak gadis nakal itu?" Bisik Lusi dekat Misha. Misha menghela napas panjang. "Dia bukan gadis nakal, Lusi. Dia hanya pernah melakukan kesalahan dan dia sudah menyadarinya. Dia bertanggung jawab atas kesalahannya. Jangan memandangnya sebelah mata. Mengerti?" Misha menatap sengit Lusi. Lusi diam tidak menjawab ucapan Misha. "Jika nanti aku ada di posisi Nina, apa kamu juga akan memandangku sebelah mata?" Pancing Misha menatap Lusi penuh selidik. Lusi menggeleng keras. "Tentu saja tidak, Misha! Kamu tetap sahabatku, apa pun yang terjadi. Lagipula, bagaimana bisa kamu hamil, sedangkan Kamu tidak punya kekasih," balas Misha menggerutu. Misha geleng-geleng kepala. "Ya sudah, itu bukan masalah kalau dia ikut bersama kita. Dia juga teman kita." Setelah itu Misha berlalu menuju kursi kemudi, disusul Lusi masuk di kursi sebelahnya. "Maaf ya, Lusi sedikit kepala batu," ujar Misha tersenyum menyesal. Nina hanya tersenyum sambil menjawab permintaan maaf Misha. Misha memasang seftbelt, begitu pun dengan Lusi. Lalu mobil Misha pun mulai keluar dari halaman parkir Kampus. Mereka mulai berbincang ringan untuk mencairkan suasana canggung mereka. Misha tampak seperti itu, karena Misha membayangkan jika itu menimpa dirinya. Sudah pasti Misha juga membutuhkan teman, sama seperti Nina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD