Bab 1

1153 Words
Kinar terperanjat, wajahnya pucat, dan langsung gemetaran saat membuka pintu. Empat mobil berhenti di depan rumah secara bersamaan. Beberapa orang keluar dari sana dan tersenyum manis. Wanita itu buru-buru merapikan penampilan dan menyiapkan senyuman terbaiknya. “Ante!” Kahlil, anak berusia dua tahun yang belum fasih memanggil 'tante' itu berlari dan langsung memeluk kaki Kinar. Kinar memeluk Kahlil, mencium pipi gembulnya dengan gemas.”Kok...Kahlil enggak bilang-bilang mau ke sini.” Sebenarnya pertanyaan itu ditujukan pada empat orang dewasa yang kini tengah berjalan ke arahnya. Sungguh ia sangat tidak siap menerima kedatangan mereka yang mendadak ini. “Kalau kami bilang mau ke sini, kamu pasti kabur!” Bima mengacak-acak rambut Kinar. Kinar memanyunkan bibir. Diraihnya tangan Bima dan menempelkan punggung tangan kakak sulungnya itu di kening. Di susul oleh Qiana, kakak kedua. Lalu Citra,kakak ketiga dan Leon, kakak keempat. Kinar sendiri anak bungsu dari lima bersaudara. Mereka semua masuk ke dalam. Sekarang, rumah menjadi ramai sekali karena masing-masing bersama suami atau isteri mereka dan juga anak-anak. Anaya, Ibunda Kinar dan juga keempat kakak Kinar tampak senang menyambut kedatangan mereka. Momen seperti ini sangat jarang terjadi, harus direncanakan dengan matang untuk menemukan waktu yang pas. Maksudnya, selama ini mereka jarang bisa datang bersamaan seperti ini. Sementara itu, Kinar terlihat menghela napas dengan berat. Sesekali meraih Kahlil, Lana, atau Irham. Berusaha terlihat sibuk. “Kin, di kulkas ada bahan makanan?”tanya Diana, isteri dari Bima. “Kayaknya udah mau habis, Kak. Soalnya kan...pada enggak bilang mau ke sini, jadi...Kinar enggak belanja,”jawab Kinar, masih belum ikhlas dengan kedatangan kakak-kakaknya. “Ya udah, biar Kakak sama Citra dan Rani deh yang belanja,”kata Diana. “Iya, Kak.” Kinar mengangguk saja. Tak lama kemudian ketiga wanita itu pamitan pergi untuk belanja untuk makan malam mereka. “Kin, ayo bantu bikin minum,”panggil Qiana. “Iya, kak.” Kinar mengikuti Qiana ke dapur. Gadis itu menyiapkan cangkir dan juga teko. Tak lupa cemilan yang memang selalu tersedia di rumah. Qiana memanaskan air, kemudian menyeduh teh.”Pacar kamu...enggak ke sini, Kin?” Kinar tersentak, sungguh ia tidak nyaman dengan pertanyaan itu. Mana mungkin pacarannya datang, sedangkan ia tidak memilikinya.”Enggak, Kak.” Qiana mengangguk saja, kemudian memberi kode agar segera membawa teh dan cemilan ke ruang keluarga. Suasana menjadi hening, tampak Bima sedang menggenggam tangan Anaya, wanita yang semakin hari terlihat semakin lemah terbawa usia. “Jadi, kalian...kenapa tiba-tiba datang ke sini bersamaan seperti ini? Bukannya kalian harus kerja?”tanya Anaya. “Kita cuti untuk lihat Mama dan...adik bungsu kami ini,”kata Bima seraya melirik ke arah Kinar. Kinar hanya bisa berpura-pura sibuk, seperti menggaruk anggota tubuhnya yang gatal, atau mencari sumber suara yang tiba-tiba muncul walau hanya bunyi nyamuk sekali pun. “Memangnya kenapa dengan Kinara?” Wanita paruh baya itu tertawa pelan. Ia pura-pura tidak tahu saja, daripada anak bungsunya itu tiba-tiba ngambek. “Apa Mama tidak tahu kalau anak bungsu Mama itu, sudah punya pacar sekarang,”sambung Leon dengan lirikan ke arah kinar. Anaya menatap Kinar.”Kamu...punya pacar? Kenapa Mama enggak diberi tahu. Mama pengen ketemu sama laki-laki itu.” Kinar menggaruk kepalanya yang tak gatal.”Itu, Ma...Kinar malu,”kata Kinar berbohong. “Kenapa harus malu? Mama enggak mau nanyain macem-macem sama dia. Mama cuma mau titip pesan aja supaya menjaga kamu. Karena...Mama kan sudah semakin tua dan enggak bisa lagi awasi kamu.” Kinar tertunduk sedih.”Iya, Ma. Kapan-kapan Kinar kenalin.” Qiana mengangguk.”Kalau begitu...berarti bisa bawa pasangan pas weekend nanti kan? Kita sampai weekend loh di sini.” Kinar tergagap.”Kenapa harus bawa pasangan?” “Kamu bilang udah punya pasangan. Masih ingat, kan? Jadi, kita semua mau kenalan,”sahut Bima. “Iya...tapi, kan...ini hari kerja. Pasti dia capek dan...nggak bisa datang, kak.” Kinar mulai panik. Sekarang ia merutuk dirinya sendiri karena sudah berbohong. Ia pikir kebohongannya tidak akan bersambung dalam pembicaraan rumit seperti ini. Sekarang semuanya menajdi serba rumit atas kebodohannya sendiri. “Kinar, kami semua sudah ambil cuti, untuk membicarakan perihal kamu dan pasangan kamu...yang entah siapa itu. Semoga kamu enggak bohong ya, Kin. Kalau kamu bohong...kayaknya kita bakalan jodohkan kamu deh,”kata Bima dengan nada mengancam. Kinar tidak mau hal itu terjadi. Kemudian ia menatap Leon. Pria itu tertawa kecil melihat adiknya itu seperti sedang tertekan. “Ya sudah, aku yakin kok, Kak. Weekend nanti, Kinar pasti mau bawa pacarnya ke rumah. Iya kan, Kin?”tatap Leon. “Iya, kak.” Kinar sedikit lega mendapatkan pembelaan dari Leon. “Oke. Kita tunggu.” Bima menatap Kinar dengan serius. “Perihal perjodohan itu, kami enggak main-main.” Qiana memperingatkan. “Iya, kak.” Raut wajah Kinar berubah menjadi murung. Inilah sebabnya kenapa ia sedikit tidak suka dengan kedatangan kakak-kakaknya. Bukan benci, hanya saja menghindari pembicaraan sejenis ini. Leon memeluk pundak Kinar.”Udah jangan terlalu dipikirkan. Pria yang mau kita jodohkan ke kamu kualitas premium kok.” “Kakak mendukung Kinar dijodohin?” Kinar melotot pada Leon yang biasa berpihak padanya itu. Tapi, tidak untuk kali ini. “Kin, kamu tahu kan...sejak Papa meninggal, tanggung jawab kamu sepenuhnya berada di tangan kami, kakak laki-laki. Tugas kami mengantarkan kamu pada pernikahan. Usia kamu berapa?” “Tujuh belas,”jawab Kinar. “Korupsi umur!” Leon mengeratkan pelukannya.”Tiga puluh kan?” Kinar mengangguk.”Menikah di usia tiga puluh bukan sesuatu yang buruk kan, Kak? Namanya juga belum jodoh. Banyak kok perempuan-perempuan yang menikah bahkan umurnya di atas tiga puluh lima.” Kinar berusaha memberikan pendapatnya. Ia memang tidak masalah dengan statusnya sebagai seorang single di usia tiga puluh. Itu bukan suatu aib. Ia bahkan baik-baik saja. Yang membuat ia menjadi resah justru orang-orang di sekelilingnya. “Tapi, Kin...kita maunya kamu punya pasangan.” Anaya menatap Kinara dengan penuh harap. “Iya, Ma.” Kalau sudah Mama yang bicara demikian, Kinara tidak bisa melontarkan alasan apa pun lagi. “Jadi, kita tunggu ya, Kinar. Bawa laki-laki itu. Kan kamu yang bilang sudah punya pacar kan? Bawa ke sini,”kata Bima dengan tegas. “Jangan stres gitu, Kin, menikah itu enak kok,”bisik Billy, suami Citra. “Bukan masalah enak atau enggaknya, kak. Kalau belum jodoh mau bagaimana,”balas Kinar dengan berbisik pula. Seandainya mencari jodoh itu semudah membeli konderjoy di Mini market, tentu ia sudah mendapatkannya dengan cepat. Pria itu terkekeh.”Ya udah, nurut aja sama Kakak-kakak kamu ya. Kita semua menginginkan yang terbaik untuk kamu.” “Iya, Kak.” “Iya, apa?”tanya Bima memastikan. “iya, nanti Kinar bawa pacar ke sini dan segera menikah.” Nah, gitu dong!” Kinar menarik napas panjang. Kemudian mereka pun membicarakan hal lain. Sementara Kinar terlihat banyak diam dan terlihat tidak fokus memikirkan nasibnya hingga makan malam tiba. Kinar mengangguk.”Iya. Jadi, aku bohong sama semua keluargaku...kalau aku udah punya pacar. Sekarang, mereka ambil cuti supaya punya waktu untuk ketemu pacar aku itu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD