Love Akasia: 1. Tukang Paksa

3021 Words
"Ayah nggak mau tahu, kamu harus tetap menjalankan perjodohan dengan anak teman Ayah!" Arjuna memijat pelipisnya yang seketika pening begitu kalimat menyebalkan itu terucap, untuk kesekian kali. "Arjuna masih 25 tahun, Yah," jawabnya malas. Tentu saja Arjuna kesal. Pemintaan semacam ini sudah didengarnya lebih dari dua puluh kali dalam seminggu ini. Hah … benar-benar. Apa ia terlihat setua itu? Dua puluh lima tahun, bukankah masih tergolong muda untuk ukuran laki-laki? Di luar sana masih banyak laki-laki yang menunda pernikahannya. Tidak terlalu buru-buru dalam mengambil keputusan. Bagaimanapun ini perihal pernikahan, kehidupan baru yang akan dijalani dengan seseorang seumur hidup. Arjuna sebagai laki-laki, yang nantinya akan menjadi kepala keluarga, tentu saja menginginkan pernikahan yang bahagia. Dengan perempuan yang dicintai dan mencintainya. Bukan asal memilih calon apalagi dipersatukan karena perjodohan. "Mau sampai kapan kamu seperti ini?" Ayah kembali bersuara dengan nada yang lebih lembut dibanding sebelumnya. Merasa tidak tega dengan wajah keberatan itu, mungkin. Tapi jika bukan Ayah yang bertindak, Arjuna akan santai-santai saja dengan kehidupannya. Bukan malah memperjuangkan perempuan yang sudah dicintainya sejak lama. "Yah tolong, Arjuna sudah dewasa.” Suaranya lebih lirih. Benar-benar lelah dengan tuntutan semacam ini. Ya, Arjuna sudah dewasa, sudah waktunya menentukan hidupnya sendiri. Tidak terus-terusan disetir seperti sekarang. "Terserah kamu, pilihannya hanya kamu yang bergerak terlebih dahulu atau menunggu Ayah turun tangan. Ayah nggak menerima penolakan seandainya kamu gagal lagi." Menatap sebentar ke arah sang putra yang sudah mengacak rambutnya. Setelahnya beranjak, meninggalkan ruangan Arjuna. Menyisakan Arjuna dengan beragam hal menyebalkan itu. Arjuna duduk bersandar, meraih bingkai foto perempuan pujaannya. Mengusap foto itu perlahan, seolah perempuan yang terbingkai apik di sana akan tahu bagaimana perasaan Arjuna saat ini. "Aku akan berjuang lagi untuk kamu," ucapnya pelan. Masih menatap foto itu penuh perasaan. Arjuna menghela napasnya sekali lagi, dadanya sesak, pikirannya kalut. Pekerjaan sedang banyak-banyaknya dan sang ayah tidak hentinya memaksa untuk segera menikah. Ini bukan permintaan yang pertama. Ayah sudah sering kali memaksa Arjuna untuk segera menikah. Padahal saat ini Arjuna masih memperjuangkan Aluna, dan entah sampai kapan akan mendapat balasan. Arjuna sudah berjuang lama, sejak usianya masih terlalu muda. Mengagumi perempuan itu dari jauh, hanya bisa tersenyum saat melihatnya, tanpa memiliki kesempatan untuk berjalan mendekat. Bukan karena Arjuna tidak memiliki keberanian. Hanya saja Arjuna sedang berusaha melindungi Aluna. Terdengar aneh memang, melindungi dari jarak jauh. Tapi memang begitu kenyataannya. Aluna akan aman jika Arjuna menjauh. Karena keberadaan Arjuna di sisi si perempuan dianggap sebagai sebuah kesalahan. Benar-benar tidak masuk akal, bukan? Sampai waktu membuat keduanya dekat. Tapi Aluna tidak menyadari keberadaannya. Membiarkan Arjuna larut dalam perasaannya yang terus bertambah setiap harinya. Menjadi sebuah perasaan ingin memiliki, untuk dirinya sendiri. Arjuna yang terlampau posesif itu nyatanya membuat Aluna tidak nyaman dan selalu berusaha menghindarinya. Berimbas pada Arjuna yang harus berjuang lebih keras lagi. Arjuna melemaskan otot-otot tubuhnya, sembari menatap wajah cantik yang terbingkai apik. Tidak bisa dipungkiri jika efek Aluna begitu kuat untuk hidupnya. Hanya dengan menatap fotonya saja mampu mengangkat pening di kepala. Berharap Aluna mau diperjuangkan saat ini, tidak seperti hari-hari kemarin yang selalu mengabaikannya. Arjuna sudah sangat mencintai Aluna. Enggan menerima perempuan lain dalam hidupnya dan selalu tidak terima melihat Aluna dengan laki-laki lain. Karena bagi Arjuna, Aluna hanya miliknya seorang. *** "Kamu yakin mau tinggal di apartemen sendirian, Nak?" Bunda mengusap helaian rambut Aluna. Memberi tatapan tidak rela. Sudah menjadi naluri seorang ibu yang akan ditinggalkan oleh anaknya. Tapi bagaimanapun juga, Aluna sudah dewasa. Sudah waktunya berlatih mandiri. Aluna hanya tersenyum. Bunda memang sudah menahannya untuk tetap di rumah selama beberapa hari ke belakang. Sampai hari ini, yang sudah disepakati sebagai hari kepindahannya, Bunda masih belum rela juga. "Iya, Bunda. Aluna sudah besar. Bunda nggak perlu khawatir.” Jawaban yang terlampau halus. Mencoba meyakinkan sang bunda agar rela melepasnya sore ini. "Tapi nanti Aluna harus sering-sering ke sini ya," pesan Bunda. Aluna mengangguk sembari tersenyum. Memeluk Bunda sebelum berjalan menuju mobil keluarga yang akan mengantarkannya ke rumah barunya. Neshaluna Mikayla Qaleey, seorang perempuan berusia 22 tahun yang baru saja selesai dari pendidikannya. Ia adalah seorang desainer yang bekerja secara langsung di bawah Chava Rieena, desainer muda dari salah satu brand fashion ternama, Vieena. Bersyukur karena setelah lulus Rieena langsung menghubunginya dan menawarkan pekerjaan. Keduanya saling mengenal karena Aluna melaksanakan magangnya di kantor Vieena, bersama dua sahabatnya yang lain, Yuna dan Mina. Kemampuan yang memadai, kerja tim yang baik dan selalu tepat waktu membuat Rieena merekrut Aluna untuk menjadi bagian dari Vieena. "Aluna berangkat sekarang ya, Bunda. Sampaikan salam Aluna untuk Ayah dan Arjuna." Bunda mengangguk, menepuk bahu Aluna lembut sebelum si perempuan memasuki mobil yang sudah menunggunya sejak tadi. Masih ada nada tidak rela di sana. Aluna tidak pernah jauh dari Bunda sejak hari itu. Walaupun Aluna sudah tumbuh dewasa dan hidup dengan baik selama ini, sebagai ibu tentu Bunda memiliki kekhawatirannya sendiri. Tersenyum lembut saat si perempuan melambaikan tangannya dari dalam mobil. Senyuman Aluna yang mengembang membuat Bunda menghela napas lega. Aluna tumbuh dengan baik, bahagia, dan disayangi. Tiga tahun terakhir, Aluna memang selalu menunjukkan dirinya yang baik-baik saja, tersenyum begitu lepas sebagai pelampiasan rasa bahagia. Tidak hentinya bersyukur karena bisa melihat Aluna kembali bangkit dari keterpurukannya. Bunda tidak bisa membayangkan jika sampai detik ini Aluna masih sibuk dengan keterpurukannya. Walaupun ada satu kebiasaan Aluna sejak kejadian itu yang terus berlanjut sampai saat ini. Aluna selalu menulis surat untuk ayahnya dan mengirimkannya ke alamat sang ayah. Tidak pernah ada balasan, tapi Aluna tetap melakukan hal itu. Setiap kali Aluna mengalami hal-hal baru di hidupnya, ia akan menyampaikan perasaannya melalui surat. Dan memang hanya dengan cara itu Aluna merasa selalu dekat dengan sang ayah. Seperti sore ini, Aluna kembali menuliskan surat singkat untuk ayahnya. Hanya berisi beberapa kalimat tentang kepindahannya dari rumah Bunda. Senyuman itu terbentuk perlahan seiring sebelah tangannya yang menggoreskan tinta di atas kertas. Aluna menghela napas lelah setelah selesai dengan kegiatannya. Melipat kertas itu dan memasukkannya ke dalam amplop kecil. Selanjutnya melemaskan punggungnya pada sandaran kursi sembari menikmati pemandangan perkotaan di sore hari. Hidupnya akan berubah mulai sore ini. Aluna sudah memutuskan untuk keluar dari rumah Arkharega. Dan ia pikir ini adalah keputusan yang paling baik. Walau ungkapan tidak rela sang bunda masih terngiang di kepalanya. Wanita paruh baya yang sangat menyayanginya lebih dari sayangnya pada Arjuna. Tapi Aluna tidak bisa hidup di sana terus. Aluna ingin menjalani pendewasaan diri dengan kehidupannya sendiri. Mungkin akan terasa sulit di hari-hari awal, tapi karena ini sudah menjadi keputusannya, Aluna pasti bisa. Lagi pula sudah terlalu lama Aluna hidup dengan keluarga Arkharega. Merasa tidak enak hati, walaupun Bunda dan Ayah di sana tidak merasa direpotkan sama sekali dengan kehadiran Aluna. Mungkin ini yang dinamakan proses pendewasaan diri, Aluna yang sudah mengalami perasaan untuk tidak merepotkan orang lain. Aluna yang ingin berpijak pada kakinya sendiri. Aluna bahagia tinggal bersama Ayah dan Bunda di rumah besar itu. Tapi jika ia terus-terusan tinggal bersama mereka, ia akan selalu mengandalkan orang lain. Padahal sudah lama ia ingin hidup mandiri. Ponsel dalam genggaman Aluna bergetar. Membuatnya mengalihkan pandangan. Mengembuskan napas malas saat nama Arjuna tertera di layar ponselnya. Sedikit menimang sebelum memutuskan untuk mengangkat panggilan itu. "Kamu pergi dan nggak minta izin ke aku. Luna kamu masih menganggap aku atau nggak?" Aluna menghela napasnya sebelum membalas kalimat protes dari laki-laki di seberang sana. "Kamu masih di kantor sewaktu aku pergi," jawab Aluna dengan nada sebal. Desisan dari balik ponsel menandakan Arjuna yang semakin marah. "Tapi seenggaknya kamu hubungi aku!" "Iya, iya maaf Arjuna. Dari kantor aku langsung pulang untuk packing sampai lupa nggak ngabarin." "Kamu lupa? Lupain aku? Astaga Aluna!” Aluna menjauhkan ponsel dari telinganya saat mendengar suara menyebalkan di seberang sana. Ini yang membuat Aluna malas dengan laki-laki bernama lengkap Arjuna Arkharega Ibrahim. Ribut, cerewet, selalu ingin tahu, dan posesif. Aluna seperti terjerat ikatan yang sangat sulit dilepaskan saat berhubungan dengan laki-laki itu. "Aku benar-benar nggak bisa toleransi sama sikap kamu saat ini, Aluna." Belum sampai Aluna membalas ucapannya, Arjuna sudah memutuskan obrolan. Aluna hanya menggelengkan kepalanya, heran dengan sikap kekanak-kanakan Arjuna yang tidak pernah berubah. Laki-laki itu bahkan tiga tahun lebih tua darinya, tapi sikapnya seperti remaja yang baru saja memasuki masa pubertas. Aluna tidak memikirkan itu. Membiarkan Arjuna sibuk dengan kemarahannya sendiri. Toh nanti laki-laki itu akan kembali baik seperti biasanya. "Non sudah sampai." Suara Pak Rudi menginterupsi setelah keduanya sampai di parkiran gedung apartemen yang akan Aluna tinggali. Perempuan itu mengangguk. Keduanya keluar dari mobil. Pak Rudi selaku supir keluarga Arkharega membantu Aluna membawa barang-barang bawaannya. Mengantarkan Aluna sampai lantai 9, letak apartemen Aluna. "Terima kasih banyak, Pak," ucap Aluna, setelah keduanya sampai di depan apartemen Aluna. "Sama-sama, Non. Saya langsung pamit pulang, Non," jawab Pak Rudi sembari mengangguk hormat. Aluna mengiyakan. Perempuan berambut panjang sepunggung itu membuka password apartemennya. Bersiap-siap untuk menata barang bawaannya. Aluna tidak membawa banyak barang, hanya baju-bajunya saja. Karena memang, ia sudah pindahan sejak seminggu yang lalu. Sesekali membawa beberapa tasnya dan mampir ke apartemen saat pulang kerja. Begitu setiap hari. Sehingga Aluna tidak terlalu repot saat ini. Aluna merebahkan tubuhnya di ranjang. Melemaskan otot-ototnya yang terasa lelah. Tidak sempat istirahat sepulangnya dari kantor. Aluna memang sengaja ingin cepat-cepat sampai di apartemen. Tidak ingin meladeni drama gratisan yang Arjuna buat karena kepindahannya. Walaupun laki-laki itu sempat mengomel di telepon tadi, yang terpenting Arjuna tidak membuntutinya sampai apartemen. Baru saja Aluna memejamkan matanya, bel berbunyi. Aluna tidak hentinya mengumpati seseorang yang menekan tombol bel apartemennya di saat ia kelelahan. Lihat saja, Aluna tidak akan mengizinkan orang itu masuk jika tidak penting. Aluna berjalan malas-malasan ke pintu depan. Belum sempat membenarkan rambutnya yang kusut. Memasang wajah yang kelelahan. Aluna benar-benar tidak berniat menyambut tamu sore ini. Lagi pula siapa sih yang bertamu sore-sore begini? Aluna juga baru pindah, ‘kan? Sudah ada saja yang tahu alamatnya. Sosok Arjuna sudah terpampang di depan pintu, dengan raut wajah meremehkan. Menerobos masuk begitu saja tanpa persetujuan Aluna. Perempuan ini menghentakkan kakinya kesal saat Arjuna dengan seenak jidat duduk di sofa ruang tamu. Menumpu kaki kanan pada kaki kirinya. Aluna masih diam di depan pintu. Menatap nyalang ke arah laki-laki itu sembari melipat tangannya di depan d**a. Arjuna yang ditatap seperti itu hanya mengerutkan alis, sok menantang. "Kenapa ke sini Arjuna?" tanya Aluna dengan nada malas. Hari sudah sore dan Aluna benar-benar kelelahan mengurusi pekerjaan seharian ini. Dan sore ini ia harus meladeni laki-laki menyebalkan ini. Ya Tuhan. Aluna mengharapkan kedamaian di rumah barunya. Tapi laki-laki bernama Arjuna itu memang tidak pernah bisa ditentang. "Kenapa? Jelas untuk menemuimu." Jawaban yang terlampau santai. Arjuna masih mengenakan setelah kerjanya, lengkap dengan jas hitam yang masih membalut tubuh kekar itu. Aluna tahu kalau Arjuna baru saja pulang dari kantor, tidak sempat pulang ke rumah, dan justru langsung menemuinya. "Aku malas beradu mulut. Sekarang lebih baik kamu pulang!" ucap Aluna dengan nada kesal, yang justru membuat senyuman Arjuna timbul begitu saja. "Bukankah seharusnya kamu minta maaf?" Arjuna menaikkan sebelah alisnya saat Aluna menatapnya dengan sorot tajam. Melotot, membuat bola matanya yang memang bulat semakin membulat. "Aku sudah melakukannya tadi Arjuna. Ayolah aku lelah seharian bekerja," ucap Aluna mengeluh, mencoba memberi pengertian pada laki-laki itu. Tapi Arjuna justru bergeming, memainkan ponselnya tanpa menanggapi kalimat Aluna. Bolehkah Aluna memberi sedikit pelajaran seperti menariknya secara paksa … ehm, tidak! Itu terdengar tidak masuk akal. Tubuh Arjuna jelas sekali lebih besar darinya. Percuma saja, karena Aluna akan kelimpungan. Oke mari coba cara yang lain. "Kamu baru dari kantor, ‘kan? Belum sempat mandi dan istirahat, sekarang pulanglah!" Aluna berujar lembut. Arjuna yang sedang memainkan ponselnya menatap perempuan di hadapannya dengan tatapan heran. "Ada apa ini? Kamu mengkhawatirkanku?" tanyanya dengan raut wajah bingung yang terlihat sangat menyebalkan di mata Aluna. Perempuan itu melotot horor. "Nggak! Nggak usah kepedean," jawab Aluna kesal. Arjuna terkekeh, melihat bagaimana si perempuan mungil itu menampilkan wajah horornya yang justru terlihat menggemaskan di mata Arjuna. "Mandilah, aku akan memesan makanan," ucap Arjuna santai, melirik sejenak ke arah Aluna dan kembali memainkan ponselnya. "Untuk apa?" Arjuna kembali menatap Aluna dengan tatapan sebal. "Jelas untuk kamu makan." "Aku bisa memesannya sendiri. Sekarang kamu pulang!" Aluna menarik sebelah tangan Arjuna. Tapi laki-laki itu tidak bergeser sedikit pun, masih tetap berada di posisinya. "Aluna pergi mandi sekarang!" perintah Arjuna tanpa bantahan. Aluna masih belum menyerah untuk mengusir laki-laki ini dari apartemennya. "Kamu yang pulang sana!" "Luna cepat!" Aluna mengembuskan napas, memilih menuruti perintah laki-laki itu daripada tensi darahnya kembali naik. Arjuna tersenyum penuh kemenangan. Menatap punggung Aluna yang memasuki kamarnya. Terkekeh gemas dengan tingkah perempuan itu, kemudian kembali sibuk memainkan ponselnya. *** Arjuna sedang menata makanan di meja makan sewaktu Aluna baru saja mandi. Perempuan itu terlihat lebih segar dengan pakaian rumahnya, celana training panjang dengan sweater sebagai atasan. Rambutnya digerai, sepertinya Aluna baru saja keramas karena rambut panjangnya belum mengering. Arjuna berdecak sebal mengetahui perempuan itu keramas di sore hari menjelang malam. Kebiasaan Aluna yang malas mengeringkan rambutnya dengan hair dryer. "Apa lagi Arjuna? Aku lapar," protes Aluna sewaktu laki-laki itu menyeretnya menuju kamar. Mendudukkannya secara paksa di depan meja rias. Arjuna meraih hair dryer dan sisir. Mengeringkan rambut Aluna dengan telaten. Arjuna sudah hapal di luar kepala kebiasaan perempuan ini. Aluna memang sering kali keramas di sore hari tapi tidak langsung mengeringkannya, justru langsung pergi tidur membuat kepalanya pening di pagi hari. Aluna menatap bayangan Arjuna yang sedang mengeringkan rambutnya dari kaca rias. Melihat bagaimana seriusnya Arjuna dengan kegiatannya. Aluna sama seperti perempuan lain yang mengakui bahwa laki-laki yang sedang mengeringkan rambutnya ini memiliki ketampanan yang luar biasa. Di usianya yang masih 25 tahun, Arjuna sudah memimpin perusahaan milik keluarga, menggantikan posisi Ayah. Arjuna juga sosok laki-laki yang sangat perhatian walau terkadang menyebalkan. Bukankah Arjuna sangat sempurna? Tampan, mapan, dan penuh perhatian. Arjuna tersenyum tipis saat mengetahui Aluna sedang memperhatikannya. Tapi Arjuna berpura-pura tidak peduli. Membiarkan perempuan itu dengan kegiatannya. Arjuna ingin tahu sampai batas mana Aluna akan terfokus padanya. Arjuna semakin bersorak dalam hati saat mengetahui Aluna terus memperhatikannya bahkan sampai kegiatannya mengeringkan rambut selesai. "Kamu nggak akan kenyang kalau cuma ngeliatin aku, Aluna." Sindiran dari Arjuna berhasil membuat kesadaran Aluna kembali. Perempuan mungil itu tersentak. Membuang pandangannya dari Arjuna yang sedang menatapnya dengan senyuman meledek. Menyebalkan! Sangat menyebalkan seperti Arjuna yang biasanya. "Tentu saja karena kamu bukan makanan!" ujar Aluna ketus. Arjuna tersenyum jahil, siap menggoda Aluna yang sepertinya sedang menahan kesal. "Kamu ingin memakanku?" tanyanya dengan wajah sok polos. Aluna langsung menatap Arjuna dengan tatapan tajam. Menghentakkan kakinya kesal, kemudian keluar menuju dapur. Menyisakan Arjuna yang masih terkekeh geli di kamar Aluna. "Pelan-pelan, kamu bisa tersedak nanti." Arjuna berjalan ke arah Aluna. Duduk tepat di depan si perempuan yang sedang sibuk menikmati makan malamnya. Aluna cuek, tidak menanggapi dan tidak mengindahkan nasihat Arjuna. Aluna memang kelaparan. Ia tidak sempat makan siang karena harus mengurus beberapa desain untuk mendapat persetujuan Rieena. Arjuna tersenyum lembut, memperhatikan cara makan Aluna yang seperti anak kecil, pipinya menggembung lucu karena mulutnya penuh makanan. Aluna memang tipe perempuan cuek yang tidak canggung makan di depan laki-laki. Tidak seperti perempuan kebanyakan yang akan langsung menjaga imagenya, apalagi makan di hadapan laki-laki setampan Arjuna. "Kamu nggak makan?" tanya Aluna, melirik Arjuna yang hanya memperhatikannya. Arjuna menggeleng. "Nggak, aku udah makan sama rekan bisnis Ayah tadi." Aluna mengangguk paham. "Kamu nggak tanya rekan bisnis yang mana?" Aluna menghentikan kegiatannya. Menatap laki-laki di depannya yang terus memperhatikannya sedari tadi. "Kenapa? Bukan urusanku juga," jawab Aluna masih dengan sikap cueknya. Arjuna terkekeh sejenak. Memperhatikan Aluna yang kembali sibuk dengan makanannya. "Tapi ini menyangkut masa depan kita, Sayang." Arjuna menyeringai saat Aluna melotot tajam ke arahnya. "Oh rekan bisnis yang memiliki anak perempuan itu, yang akan dijodohkan denganmu? Haha, itu bukan urusanku sama sekali," ucap Aluna ketus, yang justru membuat Arjuna tersenyum lebar. Dasar Arjuna aneh. "Kamu nggak merasa kehilangan kalau Arjuna yang tampan ini menikah dengan perempuan lain?" Aluna menggeleng mantap, tanpa melirik Arjuna. "Kamu nggak akan kesepian aku tinggal?" Pertanyaan kedua yang lagi-lagi hanya disambut gelengan kepala oleh Aluna. "Kamu belum mencintaiku juga, Aluna?" Pertanyaan ketiga yang berhasil membuat Aluna menghentikan kegiatannya. Menatap Arjuna sebal. "Aku udah bilang berapa kali sama kamu, cari perempuan lain Arjuna! Kamu emang susah dibilangin ya!" Perempuan itu sudah selesai dengan kegiatan makan malamnya. Beralih membawa piring kotor ke wastafel. Arjuna memperhatikan itu semua dari tempat duduknya. Laki-laki itu belum beranjak sama sekali dari kursinya. "Kamu mau nyari yang kaya apa? Anak konglomerat? Perempuan secantik dewi? Atau mencari yang kaya raya tujuh turunan? Semuanya bisa kamu dapetin." Omelan Aluna yang selalu membuat Arjuna tersenyum. Padahal perempuan itu benar-benar emosi, tapi Arjuna menanggapinya dengan senyuman geli. "Belajar buka hati kamu untuk perempuan lain. Banyak yang ngantre buat dapetin kamu. Kamu nggak kasian sama Ayah yang terus-terusan minta kamu menikah? Kamu juga butuh penerus untuk melanjutkan bisnis keluarga." Aluna masih sibuk mengomel tanpa memperhatikan Arjuna yang sudah berdiri di belakangnya. Perempuan itu mengelap piringnya, menatanya kembali dan berbalik. Aluna kaget bukan main mendapati Arjuna sudah berdiri di hadapannya dengan sorot mata yang tidak bisa dijelaskan. Aluna sedikit ketakutan. Apakah Arjuna marah karena ia terlalu mengurusi kehidupannya? Tapi biasanya Aluna cerewet pun, Arjuna tidak akan marah. Tapi kali ini laki-laki itu menatapnya dengan tatapan tajam yang menyorot langsung ke bola mata Aluna yang sudah bergerak gelisah. Sebelah tangan Arjuna merambat naik, mengusap lembut pipi Aluna. Dengan sorot mata yang masih menatap tepat di mata kecoklatan Aluna. Napas Aluna semakin memburu saat Arjuna mendekatkan wajahnya. Ada bisikan dari hatinya untuk mendorong Arjuna menjauh, tapi tubuhnya seakan kebas, untuk menggerakkan tangannya saja Aluna kesulitan. Aluna memejamkan mata, merasakan material halus itu menciumnya lembut, tepat di keningnya. Arjuna menahannya cukup lama, kemudian menjauhkan wajahnya, dengan tangan yang masih sibuk mengusap pipi Aluna. "Jangan paksa aku untuk berhenti mencintaimu," bisiknya lembut. Aluna merinding, tidak mampu menolak pesona laki-laki tampan yang selalu berhasil membuat jantungnya menggedor hebat. Arjuna kembali mendekatkan wajahnya, mencium kening Aluna lagi, lebih lama dari ciuman sebelumnya. Sedikit merapikan anak rambut Aluna dan menyelipkan ke belakang telinga. Menatap tepat di manik kecoklatan Aluna. Menimbulkan getaran aneh yang terasa semakin jelas. "Aku pulang." Bisikan lembut menyapu telinga kanan Aluna. Aluna benar-benar mengalami syok ringan, bahkan setelah punggung Arjuna semakin menjauh dan meninggalkan apartemennya. Aluna mengembuskan napasnya kasar, berusaha menetralkan kembali pernapasannya, memukul dadanya yang menggedor hebat. "Arjuna benar-benar sialan!" Aluna hanya mampu mengumpati laki-laki itu dalam hati. Tangan Aluna terulur, menangkup pipinya sendiri yang terasa hangat sampai ke telinga. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD