Chapter 1

2589 Words
Suasana makan malam keluarga besar Basri berjalan damai.  Randra Adilan Basri – penguasa Basri yang kini telah berusia sembilan puluh dua tahun itu duduk di kursi kepala keluarga. "Aini, makan banyak sekali," ujar Finisa sambil tersenyum ke arah sang keponakan. Aini – gadis delapan belas tahun itu mendongak ke arah istri dari sang paman, "Iya dong Mama Nisa. Aini kan suka makan, nah, video ASMR Aini kan makanan semua," ujar Aini, gadis itu terkekeh. Finisa ikut terkekeh. Benar apa yang dikatakan oleh sang keponakan yang sudah seperti anak perempuannya. Keponakan dari suaminya itu memang punya channel YouTube sendiri, sudah lima juta subscriber yang dikumpulkan oleh Aini tiga tahun terakhir. "Pantas saja, badanmu besar seperti badak," celetuk Dimas, pria tiga puluh delapan tahun yang merupakan sepupu dari Aini itu melirik ke arah Aini. Aini terkekeh, "Cuma lima puluh lima kilogram, apa yang seperti badak?" Aini menyuapkan nasi ke dalam mulut lalu berkata setelah nasi itu masuk, "Kak Dimas menyindir Mbak Lilis, yah?" "Pfft!" Naufal yang merupakan kakak kedua dari Aini itu menahan tawa, hampir saja dia menyemburkan tawa di depan meja makan, namun karena ada sang kakek dan tetua Basri lainnya, dia berusaha menahan tawa. Pria yang kini telah berusia tiga puluh lima tahun itu melirik ke arah kakak ipar perempuannya – istri dari Dimas–Lilis Geulis–wanita yang kini berusia tiga puluh enam tahun. Wajah Lilis tersenyum geli, dia melirik ke arah suaminya, perempuan asli Sunda itu sudah biasa dengan candaan dari keluarga sang suami. Berat badannya kini mencapai 77 kg, namun dia tak masalah dengan berat badan yang dia miliki. Dimas melotot ke arah adik sepupunya. Dulu cita - citanya memiliki istri yang ideal, tinggi yang ideal yang cocok menjadi pendamping hidupnya. Yang diinginkan Dimas adalah wanita bak model yang dia lihat di peragaan busana. Namun sayang, dia jatuh cinta pada seorang gadis Sunda 65 kg. Yah, cinta memang buta. Sebuta cintanya pada Lilis. "Jangan mengusik cinta orang, Aini. Nanti malam Dimas tak diberi rejeki di kamar. Kau menghalangi ibadah mereka," celetuk Naufal. "Hush!" bola mata Dimas melotot ke arah Naufal. Sepupu bau ini masih saja suka mengejek dari kecil sampai besar. Sifat jahilnya tak pernah berubah. Tukang melapor. Randra tersenyum geli, cucu - cucunya sangat menghibur dia. Cucu - cucunya dengan sang istri. Mending istrinya–Moti Akila Baqi. Delapan belas tahun yang lalu sang istri telah lebih dulu menghadap sang Ilahi dengan damai setelah dia menyaksikan pernikahan dari Chana dan Aqlam, sang istri juga pergi dengan senyum manis ketika tahu bahwa dia akan ada cucu lagi, dan cucu itu adalah Aini Anggita Basri. Cucu yang dia beri nama sendiri sebelum dia pergi untuk selamanya. Cucu perempuan bungsu mereka yang sedang makan sambil tersenyum ke arah sepupu dan saudaranya. Wajah Aini 70% mirip dengan mendiang sang ibu, sisanya donor gen dari Ben. Randra hidup sudah terlalu lama, teman - teman sejawatnya telah lama pergi lebih dulu menghadap Tuhan. Busran pergi di umur yang ke-87 tahun, Aran di umur ke-83 tahun, sedangkan teman - temannya yang lain rata - rata pergi di usia 76-80 tahun. Tidak ada istri yang menemani hari - harinya lagi, tidak pula ada teman yang menemaninya lagi. Mereka semua telah pergi meninggalkan dia di dunia ini menikmati masa tua dengan cucu dan cicitnya. "Kakek Ran," panggil Chana lembut ke arah sang kakek. Meskipun sang kakek sudah tua, namun pendengarannya masih berfungsi dengan baik. Randra menoleh ke arah cucu bungsunya, "Hum?" Aini tersenyum, "Makanlah ayam kecap itu, jangan dianggurin, kan sayang." Randra tersenyum, dia mengangguk. Cucu perempuannya itu benar - benar imut. Mereka makan bersama untuk kelulusan Aini dari SMA. wajah buntal nan cantik itu sungguh ceria setiap hari mirip sifat sang istri. Randra menusuk daging ayam lembut itu dengan garpu, lalu dia memasukan daging ayam kecap ke dalam mulutnya. Ayam kecap, makanan kesukaan dari sang istri. Ayam kecap mengingatkannya pada sang istri. Masa - masa ketika mereka masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Rambutnya yang telah memutih seluruhnya, tongkat yang dia pakai, kesehariannya selama sang istri telah pergi hanya menikmati taman bunga, kebun herbal dan kebun bunga dari sang istri sambil membawa foto dari Moti. Setidaknya hal itu dapat meringankan rasa rindunya yang amat mendalam pada mendiang istrinya. "Tante Chana," panggil seorang remaja laki - laki berusia 11 tahun. "Hum? Kenapa Run?" Aini melirik ke arah keponakan laki - lakinya. Bahrun–putra pertama dari pasangan Dimas dan Lilis itu berkata, "Tante Aini kan sudah lulus SMA, nanti mau kuliah ambil jurusan apa?" tanya remaja itu. "Em, aku pikir, aku belum bisa kuliah tahun ini," jawab Aini setelah beberapa lama. "...." Situasi terlihat hening. "Kenapa Tante Aini belum bisa kuliah?" tanya Bahrun, "kan Tante Aini sudah lulus SMA," ujar remaja itu penasaran. Aini mengigit bibir bawahnya, dia agak gugup untuk menjawab pertanyaan dari sang keponakan. Matanya melirik ke arah sang kakek dan sang ayah. Untuk beberapa detik, suara lembut Aini terdengar, "Kakek Ran." Randra menoleh ke arah Aini, "Ya?" sahut kakek 92 tahun itu. Tangan Aini mencengkram erat sendok makan, dia memberanikan diri untuk mengatakan maksudnya, "Aini belum mau untuk kuliah dalam beberapa tahun ke depan, apakah boleh?" permintaan gadis itu. Randra terlihat berpikir lalu melirik ke arah Ben dan Popy. Pasangan suami - istri itu saling melirik untuk beberapa lama. Popy mengangguk, sedangkan Ben mengikuti apa mau istrinya saja. Mungkin sang putri bungsu ingin mengistirahatkan otaknya selama 12 tahun belajar tanpa henti. "Boleh, kenapa tidak?" jawab Randra. "Dulu Mama Poko dulu nganggur kuliah selama enam sampai tujuh tahun," ujar Popy, wanita yang kini telah menjadi nenek dari lima orang cucu itu menimpali ucapan sang ayah. Senyum merekah di bibir gadis 18 itu, ternyata sang ibu juga menganggur setelah lulus dari sekolah, berarti dia punya kesempatan, "Aini ingin menjadi relawan korban bencana dan korban perang," ujar Aini. "...." Tiba - tiba meja makan itu hening. Tiga detik kemudian terdengar suara. "Tidak."  Randra, Ben dan Alan berkata serentak dengan nada tegas. Aini terdiam, dia sudah menduga ini. Tidak mungkin kakek dan ayahnya memberi dia ijin untuk pergi jauh dari rumah. Seharusnya tadi dia tidak terlalu senang. Dimas dan anggota keluarga Basri yang lainnya terdiam, termasuk Chana dan sang suami - Aqlam. "Kakek Ran, Aini ingin membantu korban perang dan bencana–" "Tidak akan pernah kakek Ran ijinkan," ujar Randra tegas. "Basri juga merupakan donatur untuk para korban perang dan bencana alam, kirim berapapun milyar, kakek Ran tidak akan marah," ujar pria itu. Wajah Aini berubah cemberut. Susah sekali membujuk sang kakek. Aini melirik ke arah sang ibu, Popy menggelengkan kepalanya, tanda bahwa dengarkan ucapan kakek sebelum kakek marah. Lalu dia melirik ke arah sang ayah, Ben menunduk melanjutkan makannya, dia memilih mengabaikan permintaan putrinya untuk pertama kali selama dia hidup. Menjadi relawan untuk korban bencana alam dan korban perang itu tidak mudah, bisa saja sang putri terjebak dalam situasi peran atau bencana. Ayah manapun tidak akan mengijinkan, apalagi sang putri baru berusia 18 tahun dan baru saja lulus SMA, biar potong lehernya, Ben tidak akan mau. "Hum," Aini cemberut. Harapannya untuk menjadi relawan pupus ketika kakek dan ayahnya mengabaikan permintaannya. Naufal sendiri garuk - garuk kepalanya, dua melirik ke arah sang adik – Adelio yang kini telah berusia 23 tahun, penguasa Ruiz satu - satunya. Adelio menggelengkan kepalanya, dia juga tidak mau jika sang adik terjun dalam dunia internasional dengan menjadi relawan untuk korban bencana alam dan korban perang. "Kenapa tidak fokus saja kembangkan channel YouTubemu?" usul Adelio, aksen Spanyol sangat jelas dalam bahasa Indonesianya, "mungkin setelah satu atau dua tahun kamu istirahat dari sekolah, kamu bisa rileks, atau pergi berlibur mengelilingi Eropa saja, kakak Adelio akan menemanimu," lanjut Adelio. Aini melihat penuh tatapan sedih pada sang kakak, matanya memerah. Tatapan sedih Aini sangat melukai hati Naufal–sang kakak. Naufal sangat mencintai adik perempuannya itu, dia tak bisa melihat mata merah berair dari sang adik. Namun, dia tak dapat membantu untuk kali ini, Naufal memilih mengeraskan hatinya, pria 35 tahun itu memilih membuang pandangannya ke tempat lain. Aini melihat ke arah sang paman sekaligus ayah nomor dua–Alan, namun sebelum mata berairnya bertubrukan dengan mata Alan, lelaki yang merupakan saudara kandung dari sang ibu itu cepat - cepat menunduk pura - pura makan. Hati Aini sedih, dia mengigit bibir bawahnya, dia menahan agar suara tangis tak keluar. "Aku sudah selesai makan," ujar Randa, dia berdiri dari kursi kepala lalu berjalan memegang tongkat, pria tua itu berjalan menjauh dari ruang makan meninggalkan anak - cucunya di meja makan. Suasana meriah berubah menjadi sunyi. Cucu - cucu Basri tak bersuara, mereka hanya fokus pada makanan mereka. "Mama Poko ....," suara lirih Aini. Popy menggaruk dahinya bingung. Wanita 64 itu melirik ke arah sang suami. Ben berdiri dari meja makan, "Lanjutkan makan lalu bisa ke mana saja, aku kembali ke kamar," ujar pria 71 tahun itu. °°° "Aini suka pergi membantu orang," ujar Chana di dalam mobil, perempuan beranak dua itu menatap lurus ke jalan raya, "dia dari kecil melihat berita korban bencana yang ditayangkan di televisi, dia menonton televisi itu tanpa niat berpaling ke arah lain." Aqlam memeluk sang istri, "Jika aku menjadi kakek Ran, aku juga akan memutuskan hal yang sama seperti yang kakek Ran lakukan," balas pria 38 tahun itu. Chana menoleh ke arah kiri – tempat di mana suaminya berada, "Ya, aku juga," ujar Chana menimpali.  Sebagai kakak dia tak mungkin mengijinkan sang adik pergi ke tempat jauh, umur dari sang adik juga masih sangat muda. Hal itu mustahil bagi Aini. "Mungkin hati kakek Ran akan goyah dalam beberapa hari lagi," ujar Aqlam. Chana mengerutkan keningnya, dia melirik minta penjelasan dari pria yang telah dia nikahi 18 tahun silam. "Kakek Ran tak bisa melihat cucu yang beliau sayang menangis di depan matanya, apalagi cucu itu merupakan peninggalan nama yang dititipkan oleh istri tercinta beliau," ujar Aqlam. Chana mengangguk membenarkan. Apa yang dikatakan oleh suaminya ini benar. Sang kakek tak mungkin berlama - lama mengeraskan hatinya. Mungkin sang adik butuh usaha berupa rayuan pada sang kakek sambil meneteskan air mata. "Ah, air maya rayuan, mungkin mempan pada kakek Ran," ujar Chana sambil terkekeh. Aqlam tertawa geli sambil memeluk sang istri. Di dalam mobil itu, hanya mereka berdua, mobil yang berada di belakang mobil mereka, itu merupakan mobil yang dinaiki oleh kedua anak laki - laki mereka. Setelah menikah dengan Chana, tak butuh waktu lama, sepuluh bulan kemudian putra pertama mereka lahir. Usianya hanya berbeda empat bulan dari Aini. Mereka juga masuk sekolah sama - sama dan lulus juga bersamaan. Putra kedua mereka sebenarnya lahir tanpa rencana, setelah melihat sendiri yang istri berjuang melahirkan menahan sakit, Aqlam tak lagi menginginkan anak. Dia lebih mencintai istrinya daripada anak. Namun, manusia hanya bisa merancang, Tuhan yang memutuskan. Putra kedua mereka lahir delapan tahun lalu. °°° Aini berdiri di depan pintu kamar milik sang kakek, tangannya dia kepalkan, tanda bahwa dia sedang menahan gugup. Sudah dua hari ini sang kakek menghindarinya, mungkin kakeknya tahu bahwa Aini mendekati dia hanya ingin merayunya untuk memberikan ijin. Randra tak semudah itu dirayu.  Aini menarik dan mengembuskan napas, dia memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar sang kakek. Diketukan ketiga, suara sang kakek terdengar dari dalam kamar. "Masuk." Aini menyentuh gagang pintu lalu membuka pintu, dia melirik ke dalam kamar. Terlihat sang kakek sedang duduk di depan meja rias memandangi foto dari mendiang neneknya. Aini berjalan masuk ke dalam kamar kakeknya, dia memanggil sang kakek, "Kakek Ran." Randra mengalihkan pandangan dari foto sang istri ke cermin di depannya, dia dapat melihat pantulan sang cucu di dalam cermin rias milik sang istri. "Jika kamu datang ke kamar kakek Ran untuk membujuk kakek Ran memberimu ijin, maka silakan keluar dan tutup kembali pintu kamarnya, kakek Ran ingin istirahat." Hati Aini menciut, belum mengatakan bujukannya, sang kakek telah lebih dulu menebak dan menyuruhnya keluar dari kamar. "Kakek Ran." "Kakek Ran lelah," ujar pria 92 tahun itu. Aini berdiri beberapa detik, dia tak mau keluar dari kamar sang kakek. "Aini, menjadi relawan di dunia luar itu lebih sulit dari yang kamu nonton di televisi sejak kamu kecil," ujar Randra. Mata Aini seketika memerah, ternyata sang kakek tahu bahwa dari kecil dia suka menonton tayangan yang menyiarkan berita korban bencana alam dan korban perang.  "Alasan kedua, kamu adalah cucu perempuanyang umurmu masih sangat mudah, kamu belum punya cukup pengalaman keluar rumah," ujar Randra. "Alasan ketiga, kamu dititipkan oleh nenek Momok untuk kakek Ran jaga, tidak mungkin kakek Ran mengabaikan amanat dari nenekmu, tidak mungkin," lanjut Randra. Mata Aini berkaca - kaca. "Alasan ke empat, kamu terlalu berharga bagi kakek, setidaknya kakek dapat mengingat suara senang nenekmu untuk terkahir kali ketika pergi menghadap Allah." Hap Aini memeluk sang kakek sambil terisak. Air mata gadis yang beberapa bulan lagi akan 18 tahun itu turun bak air terjun. "Alasan kelima, kakek sangat menyayangimu." "Aini juga sayang kakek Ran, Aini sayang kakek Ran," ujar Aini sambil terisak. Randa menggenggam dua tangan Aini yang memeluknya dari belakang. Dia yang mengurus cucu bungsunya ini. Aini besar di telapak tangan Randra. Basri yang dia besarkan di telapak tangannya adalah Popy dan Aini. Dia tidak mungkin membiarkan cucunya pergi jauh. Namun, sejak sang cucu berusia empat tahun, dia sering menonton berita di tv dibandingkan bermain bersama teman sebayanya. Cucunya lebih senang membantu korban banjir daripada berlindung di dalam selimut, dia lebih senang menghitung berapa karung beras yang Basri sumbangkan untuk korban bencana alam daripada duduk melihat, cucunya lebih senang mengikut tim Basri untuk menghitung berapa jumlah milyar dan ton besar yang Basri sumbangkan daripada memilih berbelanja ke mal. "Aini sayang kakek Ran ...," ujar Aini lirih. "Aini dengarkan kakek Ran saja, yang penting kakek Ran sehat dan bisa rawat Aini terus ...." °°° "Ayah," ujar Ben kaget. Pria 71 tahun itu tak mempercayai pendengarannya. "Aku mencintai cucuku Aini," ujar Randra, dia melihat serius ke arah Ben dan Popy, "namun, aku tak bisa membunuh cita - citanya." "Dia lebih suka bersusah dan merasakan rasa sakit orang lain dalam korban bencana alam dan korban perang, dia lebih suka menghitung uang untuk membeli beras kepada para korban bencana alam, dia lebih suka mengeluarkan uangnya untuk membantu orang lain daripada pergi berbelanja ke mal," ujar Randra. "Dari kecil, aku tidak pernah melupakan apa yang disukai oleh cucu - cucuku meskipun sampai sekarang umurku sudah sembilan puluh dua tahun." Popy melirik ke arah suaminya yang duduk di samping kiri, wajah sang suami terlihat kurang bagus. "Ben, setiap orang punya cita - cita mereka masing - masing," ujar Randra menatap Ben serius, "setiap orang punya tujuan hidup masing - masing, kamu, aku, Poko bahkan anak - anakku yang lainnya." "Namun, masa kita telah selesai, biarkan yang muda memutuskan meraih tujuan hidup mereka," Randra memandang ke arah lain, "mungkin kamu sudah mendengar kisah istriku ketika dia kecil hingga remaja," suara Randra terdengar serak. Wajah Popy terlihat sedih, matanya memerah. Jangan membahasa masa kecil sang ibu, dia tak ingin terisak pilu lagi. Popy menggenggam tangan suaminya erat. "Mungkin kita mengharapkan anak - anak kita menjadi pintar dan mampu dalam segala bidang, tapi kita tak memberi mereka kesempatan untuk meraihnya," mata Randra memerah, genangan air terlihat menggenang, "dan istriku adalah salah satu dari anak yang diharapkan namun tak dapat diberikan kesempatan untuk menanyakan apa yang mereka inginkan." Setetes air mata jatuh dari pelupuk mata tua pria itu. Ben menutup matanya, "Baik, aku mengijinkan Aini untuk pergi menjadi relawan untuk korban perang dan korban bencana alam dengan catatan Basri dan Ruiz yang menjadi donatur utama." °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD