01

1555 Words
Indria melangkahkan kakinya menuju kamar. Lalu , memutar knop pintu dengan hati-hati. Dia berjalan ke arah jendela lalu membuka gorden. Setelah itu, Indria naik ke atas tempat tidur dan menyibakkan selimut secara perlahan. Tampak seorang pria seumuran dengannya tengah tertidur begitu lelap. Indria berniat membangunkan pria yang merupakan suaminya itu, tetapi dia tak tega. "Kenapa aku enggak dibangunin?" Pria itu membuka kedua matanya kemudian menatap Indria, sang istri. "Kamu kelihatan sangat lelah," jawab Indria pelan seraya balas memandang pria itu dengan keteduhan di matanya. "Benarkah? Aku kemarin lembur sampai jam dua pagi." "Kamu baru pulang, ehm?" tanya pria itu sambil menyunggingkan senyum hangat. Dia membelai rambut istrinya penuh kasih. Indria menganggukkan kepala dan tersenyum. "Iya. Aku baru saja sampai Raka," jawabnya dengan suara lembut. "Kenapa kamu tidak meneleponku? Aku akan menjemputmu di bandara." tanya pria bernama Raka pada Indria. Dia mengambil posisi duduk bersila di hadapan sang istri. "Aku tahu kamu lelah jadi aku malas meneleponmu. Lagipula, Nadya bersedia mengantarku pulang tadi," jelas wanita itu tak ingin merepotkan. "Kalau begitu tidurlah lagi. Kamu tampaknya benar-benar kelelahan," ucap Indria seraya hendak beranjak turun dari tempat tidur. Namun, Raka menarik tangannya. "Kenapa kamu menarik tanganku?" tanya Indria dengan tatapan heran. Kini posisinya tengah berhadapan dengan Raka dalam posisi cukup dekat. Pria itu menyunggingkan senyum menawannya. "Aku merindukanmu tahu. Kamu meninggalkanku hampir dua minggu." Raka menarik Indria ke dalam pelukannya. Dia sungguh merindukan sahabat sekaligus wanita yang telah resmi menjadi istrinya itu. Indria harus pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan kantor dan baru kembali hari ini. Rasa rindu karena hampir dua minggu tak bertemu menyeruak begitu saja. "Aish, kamu manja sekali Raka. Aku jadi ingin muntah," ejek Indria tak berperasaan. Namun,ntetap membalas pelukan pria itu. Sedetik kemudian, Raka melepas dekapannya. "Nanti saja kamu muntah-muntah saat mengandung anak kedua kita," goda pria itu sambil mengedipkan sebelah matanya. "Aishh...," dengus Indria pelan. "Anak Ayah apa kabar? Sehat selalu ya, Nak." Raka mengajak anak dalam kandungan Indria. Kini kehamilan Indria berusia tujuh bulan. Bayi dalam kandungan sang istri bukanlah anak biologisnya, namun Raka menyayangi anak tersebut seperti buah hatinya sendiri. "Ibumu galak sekali pada Ayah, Nak." Raka berbicara seolah mengadu pada anak dalam rahim Indria. Jujur, dia merasa sangat beruntung serta bersyukur memiliki Raka sebagai suami dan juga sahabatnya. Pernikahan antara Indria dan Raka bukalah suatu pernikahan yang berdasarkan 'cinta'. Pernikahan ini terjadi karena hanya 'rasa kasihan' mungkin, menurut Indria. Karena sebuah insiden, Indria harus mengandung sebelum waktunya yakni pranikah. Dia sempat frustrasi dan berniat menggugurkan kandungannya. Namun, Raka menawarkan diri untuk menikahi Indria. Tentu wanita itu menolak. Tapi bukan Raka namanya jika ia tak berhasil meyakinkan Indria untuk bersedia menikah dengannya. "Aish, cepat tidurlah! Wajahmu pucat Raka," suruh wanita itu. Tanpa diduga Raka menarik tangan Indria kembali hingga posisi mereka berbaring di atas kasur. "Temani aku tidur. Anggap saja ini hukuman akibat kamu membuatku terbangun." Raka memeluk Indria untuk kedua kalinya. Dia juga bingung akan makna pelukan yang dilakukannya ini. Cinta ataukah persahabatan? "Aku bahkan belum membangunkanmu tadi." Indria membela diri. Dia berusaha melepaskan pelukan dari pria itu. Sebetulnya dia kurang nyaman dipeluk seperti ini. Indria menganggap Raka hanya sebatas sahabat, tidak lebih. "Aish, lepaskan pelukanmu," pinta Indria memohon. Tapi sia-sia. Raka masih memeluknya. "Memangnya salah jika aku ingin memeluk istriku sendiri?" tanya pria itu dengan nada menggoda sambil menatap sang istri. "Tapi, aku harus memasak," ujar Indria mengelak. "Urusan memasak bisa dilakukan nanti. Sekarang kamu hanya perlu menemaniku," ucap Raka enteng. "Apa kamu enggak lapar?" tanya Indria dengan ekspresi wajah polosnya. "Tentu saja. Aku ingin memakanmu malah," goda Raka sekali lagi. "Aish, mesum." Indria memukul bahu pria itu cukup keras. "Aku serius, Indria. Aku ingin memakanmu lalu memberikan adik untuk anak kita. Bagaimana, Sayang?" tawar Raka dengan ekspresi nakal yang dibuat-buat. "Aish, kamu memang perayu yang hebat, Sayang," ucap Indria tak mau kalah. Selama berstatus sebagai suami-istri, mereka berdua belum pernah melakukan kontak fisik yang melewati batas. Raka hanya akan memeluk dan mencium kening Indria. Dia menerapkan batasan untuk dirinya sendiri agar tidak melakukan hal yang lebih dari itu pada Indria. "Kamu benar-benar sedang berusaha menggodaku ya, ehm?" Raka suka sekali menggoda Indria. Dia mendekatkan wajahnya ke arah wajah wanita itu. "Lupakan saja." Indria mendorong tubuh Raka secara refleks ketika jarak wajah mereka telah terlalu dekat. Lalu ia bangun. Mungkin aku tidak bisa sering menggodamu lagi jika rencana itu benar-benar terlaksana, Indria. "Hahaha, maaf kalau tindakanku membuatmu tak nyaman." Raka mengacak rambut Indria pelan. "Aish, kamu ini suka sekali melakukan tindakan secara spontan," kesal wanita itu. "Kamu tahu? Wanita hamil dilarang marah-marah loh." Raka berusaha merayu Indria. "Terserah apa kata kamu, Raka." "Haha maafkan aku, Indria. Aku tidak akan mengulanginya lagi," ucap Raka dengan wajah memelas. "Ya baiklah," kata Indria akhirnya sambil tersenyum dipaksakan. "Karena kamu sudah memaafkanku. Aku akan memasakkan sesuatu untukmu Indria," kata pria itu lalu meraih dan menggenggam tangan Indria, membimbingnya turun dari tempat tidur kemudian berjalan ke arah dapur bersama-sama. ....................... "Bagaimana?" tanyanya saat Indria mencicipi nasi goreng buatannya. "Enak," balas Indria berbohong. Rasa nasi goreng ini sebenarnya agak asin. "Kamu berbohong, Indria. Sini biar aku coba." Raka merebut piring berisi nasi goreng lalu menyuapnya. "Asin," gumamnya kemudian. "Tidak terlalu kok," bela Indria. Dia mengambil piring itu lagi, menyendok nasi goreng dan membawanya ke dalam mulut. "Seharusnya kamu tak perlu berbohong. Bilang enak segala," keluh Raka. "Aku tidak berbohong," balas Indria cuek. Toh, nasi gorengnya masih bisa dimakan. "Kita telah lama bersahabat, Indria. Aku sungguh hafal ekspresimu ketika berbohong." "Aku akan tetap menghabiskan nasi goreng ini. Lagipula kalau dibuang juga tidak baik," balas wanita itu. Orang tuanya sering mengingatkan Indria untuk tak membuang makanan. "Ini malah tidak baik untuk kandunganmu Indria." Raka terlalu khawatir akan efek makanan ini untuk kandungan Indria. "Tidak kok." "Kalau begitu aku akan ikut menghabiskan nasi goreng ini," kata Raka tegas, tak menerima tolakan. "Baiklah jika itu maumu. Percuma aku tak mengizinkan, kamu tetap memaksa," cibir Indria Sedangkan Raka tersenyum lebar. "Ayo buka mulutmu," perintah wanita itu hendak menyuapkan sesendok nasi goreng. "Andai kamu terus bersikap romantis seperti ini. Pasti menyenangkan." Goda Raka untuk kesekian kalinya. "Aish, bersikap romantis itu bukan diriku," tolak Indria tak peduli. Dia terbiasa bersikap cuek entah itu di depan siapapun. Walau demikian, dia masih menyimpan rasa peduli, tapi terkadang Indria agak sulit mengungkapkannya. "Aku menyayangimu Indria," kata Raka serius. Ia menggenggam tangan kiri Indria. "Aku juga sangat menyayangimu. Terima kasih," ucap wanita itu tak kalah serius. "Untuk?" tanyanya. "Terima kasih kamu telah bersedia menolong dan menikahiku. Mungkin saat itu jika kamu tak ada, aku sudah jad—" Perkataan Indria terpotong karena Raka menjulurkan telunjuk lalu menempelkan di depan bibirnya. "Sudahlah itu hanya masa lalu, Indria. Kita tidak perlu membahasnya," Raka berucap. Tampak jelas Indria mulai meneteskan air matanya. Luka lama itu kembali menjalar di pikirannya. "Tapi, rasa trauma dan luka itu masih tersimpan sampai sekarang, Raka. Aku tak bisa melupakannya." Air mata Indria kian mengalir deras. Dia terbawa emosi. "Semua akan baik-baik saja. Percaya padaku." Raka merengkuh Indria ke dalam pelukannya. Hatinya juga terasa perih jika melihat keadaan istrinya yang kacau seperti ini. "Tidak, Raka. Aku masih tidak bisa melupakannya. Padahal, aku sudah berusaha untuk tak mengingat kejadian itu," kata wanita itu sambil terisak. "Berhenti menangis, Indria. Aku mohon." "Kenapa laki-laki berengsek itu tega menghancurkanku?! Padahal aku merasa tak mempunyai salah apa pun padanya." Indria meratapi nasibnya yang begitu malang. "Tenanglah, Indria." Raka semakin mengeratkan pelukannya. Dia ingin wanita itu berhenti menangis. "Dan bodohnya lagi. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku tak mampu memungkiri bahwa aku memiliki perasaan pada laki-laki berengsek itu. Aku tersiksa, Raka!" seru Indria marah bercampur kecewa. "Indria, aku mohon jangan menangis lagi. Aku tak tahan melihatmu seperti ini," ujar Raka dengan lembut. Perasaanmulah yang membuatku harus tetap menjalankan rencana itu. Indria sedikit demi sedikit berhasil mengendalikan emosinya. Dia melepas pelukan pria itu perlahan. "Maaf jika sepagi ini aku menangis tak karuan." Indria merasa bersalah. "Tidak apa. Apa perasaanmu sudah baikan?" tanya Raka sambil tersenyum penuh arti. "Lumayan," jawabnya singkat dan menyunggingkan senyum tipis. "Jangan menangis seperti tadi lagi. Kalau kamu mengingkarinya, maka aku tak akan segan-segan menciummu." Raka mencoba untuk mencairkan suasana dengan candaannya. "Aish, kamu tetap saja m***m," tanggap Indria disertai senyuman tipis. "Aku serius. Kamu tidak boleh menangis seperti tadi, apalagi di hadapan orang lain tanpa diriku." "Baiklah. Aku janji." Dia berjanji. "Bagus, Sayang," balas Raka mengacak rambut Indria gemas. "Hah, aku jadi ragu untuk menerima promosi training di Jakarta. Aku takut terjadi apa-apa padamu." Khawatirnya. Indria menggeleng. Ya, Raka harus menetap di Jakarta kurang lebih selama tiga bulan karena urusan pekerjaan. Dia hendak mengajak Indria ikut serta. Namun, itu tidak mungkin sebab Indria juga memiliki pekerjaan di sini. "Tidak. Kamu harus tetap berangkat. Aku tak ingin kamu berpikir untuk membatalkannya," wanita itu berkata tegas. "Sebentar lagi kamu akan melahirkan, Indria. Aku harus menjadi suami siaga." "Masih dua bulan lagi. Kamu harus tetap berangkat, Raka. Lagipula, kamu pernah bilang 'kan jika ada saudaramu yang akan menjagaku selama kamu pergi." Indria mencoba memberi pengertian. "Kamu serius mau dijaga oleh saudaraku?" Raka memastikan keputusan istrinya. "Iya, dia 'kan saudaramu. Walau, aku belum pernah bertemu dengannya secara langsung," jawab Indria yakin. "Baiklah kalau begitu. Aku akan tetap berangkat dan meminta saudaraku untuk menjagamu," putus Raka sedangkan Indria memperlihatkan senyum senangnya. Aku harus menjalankan rencana tersebut lebih awal. Jujur aku takut, Indria. Kau mungkin tidak akan mudah tersenyum seperti ini lagi. Tapi aku harus tetap melakukannya untuk kebaikan semua pihak. Walau kamu membenciku nantinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD