Awal

483 Words
Jodoh tidak akan mungkin tertukar. Tetapi tinggal bagaimana caranya kita mutar-mutar untuk mendapatkannya. Entah pagi ini mengapa Wahid bisa tiba kembali ke kota di mana segala macam kenangan pernah tercipta. Mulai dari yang pahit sampai yang manis begitu membekas di hatinya. Padahal kenangan tersebut bukan dirinya yang membentuk. Tetapi semuanya tak mudah hilang dari pikirannya. Tepat dua hari yang lalu, sahabat setianya, Agam, memberitahu bila esok sabtu adalah acara kelulusan sang istri, Nada. Walau setelah cukup penuh drama kemahasiswaan, perempuan itu akhirnya berhasil menyelesaikan kuliahnya kurang lebih tiga tahun setelah musibah dalam hidupnya. Dan mungkin karena itu pula Wahid di sini. Setelah tiga tahun yang lalu dia sempat kembali ke Jerman untuk membereskan perkara perusahan kakeknya di sana. Akhirnya dia kembali ke tanah di mana seluruh keluarganya berada. "Assalamu'alaikum, Hid. Lo di mana?" salam si penelepon saat Wahid mengangkatnya. Wahid melirik ke kiri dan ke kanan. Sudah cukup jauh dia berjalan dari stasiun kota Malang yang dulunya sering dia datangi bersama sahabatnya Agam. "Gue dekat tukang pecel yang dulu kita pernah makan. Masih ada aja dia mangkal di sini," ungkap Wahid dengan tawa. "Tunggu di sana, gue jemput." Suara sahabatnya itu kembali terdengar. Setelah membalas salam dari Agam, dia memasukkan ponselnya ke saku celana. Beberapa kali orang-orang yang melewatinya nampak tak bisa mengalihkan pandangannya. Seketika dalam hati Wahid tertawa. Kenapa rasanya sekarang risih mendapatkan perhatian dari orang banyak? Padahal dulu saat ia terlarut dalam masa suram, semua perhatian dari orang lain menjadi candu untuknya. Apalagi perhatian dari perempuan yang sayangnya sudah menjadi istri dari kakak sepupunya. Ah, jika Wahid mengingatnya sakit yang ribuan kali dia coba hapuskan akan muncul kembali. Seakan ia tidak pernah rela melepaskan perempuan itu untuk laki-laki lain. "Hiiid ...." Agam memanggil dari atas motor bebek yang menjadi kendaraannya selama ini. "Gue pikir bakalan kesulitan cari lo di sini. Tapi sekali lihat aja gue udah kenal kalau itu lo," tawanya menggoda. Memberikan satu helm ke arah Wahid yang masih menatap jijik helm butut itu. "Kenapa?" tanya Agam. "Lo gila kali, Gam. Bisa turun pamor gue pakai helm begituan? Percuma gue punya perusahaan machine di Jerman kalau di Indonesia gue naik motor begini," ungkap Wahid jijik. "Udah naik aja. Bakalan beda rasanya kalau dibonceng sama gue." "Beda apanya?" "Kalau kemewahan bakalan membawa lo melambung di dunia. Tapi kalau kesederhanaan Insha Allah bakalan menuntun lo menuju jannah." "Tiga tahun enggak ketemu, lo enggak berubah, Gam. Masih aja gombal. Untung gue cowok. Kalau cewek bisa-bisa salah ngerti sama kata-kata lo," balas Wahid dengan tampang jijik. Tetapi setelahnya dia ikut naik, memakai helm yang Agam berikan untuk menjaga keselamatannya. "Pegangan. Gue takut anak-anak UB pada nerkam lo." "Kurang ajar lo," geram Wahid merasa kesal mendengar tawa Agam kali ini. Mungkin bisa jadi dia memang kesal kali ini dengan sahabatnya itu. Tetapi tidak ada yang tahu suatu saat nanti dia akan berterima kasih kepada Agam telah membantunya menemukan SCHATZ yang dicarinya selama ini. ------ continue
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD