0 : Rena

1163 Words
"Hm, ya. Pacaran aja sama bola, aku kan nggak penting." Itu adalah kata-kata terakhir yang diucapkan Rena sebelum dirinya mengakhiri panggilan dengan lawan bicaranya di telepon. Setelahnya ia mematikan ponsel dan menghempaskan pelan benda berwarna rose gold miliknya itu ke atas tempat tidur. Percakapan Rena bersama pacarnya-Gio-beberapa menit yang lalu sukses membuat mood-nya rusak. Raut wajah Rena sekarang pun benar-benar menunjukkan kalau dirinya sedang bete parah. Sedang dalam mode senggol bacok. Bagaimana tidak bete, Rena yang kebetulan sedang PMS, dan sedang butuh-butuhnya perhatian dari sang pacar harus menelan pil pahit karena pacar yang sudah bersamanya nyaris tiga tahun itu menghilang tanpa kabar sejak tadi pagi. Jangankan memunculkan batang hidung di hadapannya, menelepon, dan membalas pesan pun tidak dilakukan oleh Gio sama sekali seharian ini. Kontak yang dilakukan mereka hari ini hanyalah percakapan di telepon barusan. Itupun Rena yang menghubungi, dan mesti dilakukan lima kali panggilan sebelum teleponnya dijawab. Yang paling membuat Rena dongkol, Gio menjelaskan kalau ternyata seharian ini dirinya sibuk tanding basket dengan seniornya yang juga sama-sama anggota tim basket sekolah. Friendly match sebelum masuk sekolah besok, katanya. Gio pun minta maaf pada Rena dan hal itu nyaris sukses meluluhkan hati perempuan berambut sebahu itu, sebelum Gio kembali mengabarkan kalau dirinya tidak bisa berlama-lama berbicara di telepon karena harus main futsal dengan teman-teman kelasnya malam ini, saat ini juga. Tentunya itu membuat Rena gondok dan keluarlah sepenggal kalimat tadi yang diucapkan benar-benar dengan nada datar. Semoga saja Gio cukup peka untuk mengerti kalau pacarnya sekarang sedang ngambek. Dan kalau Gio tidak segera bertindak, jangan harap Rena akan mudah memaafkan. Yah, namanya juga perempuan, sedang PMS pula. Suasana hatinya benar-benar sensitif, bahkan lebih sensitif dari p****t bayi yang seringkali disebutkan di iklan popok atau sabun bayi. "t*i emang," geram Rena pada diri sendiri karena memang tidak ada orang lain di dalam kamarnya yang bisa ia jadikan pelampiasan. Air mata sudah menumpuk di pelupuk matanya, siap untuk tumpah akibat kekesalannya itu. Kalau sudah begini, Rena butuh hiburan agar tidak menangis tersedu-sedu. Ia pun segera bergerak turun dari tempat tidur yang tadinya ia duduki dan berjalan ke luar kamar setelah sebelumnya menarik nafas dalam agar air matanya tidak jadi keluar. Awalnya Rena hendak turun ke bawah setelah ia menutup pintu kamarnya, berniat untuk pergi ke dapur, dan mencari apapun yang bisa dimakan karena makanan adalah salah satu pendongkrak mood-nya. Namun, Rena kemudian teringat kalau dirinya sedang dalam proses penurunan berat badan. Dan fakta itu semakin membuatnya ingin menangis lagi. Terbersit di pikiran Rena untuk pergi menemui Rion, adik bayinya yang masih berusia enam bulan, namun pikiran itu juga tidak bisa direalisasikan karena Rena ingat kalau jam segini adiknya itu sudah tidur. Bisa diomeli bunda kalau Rena nekat membangunkan adiknya itu. Dengan berat hati Rena pun melepaskan lagi salah satu pendongkrak mood-nya. Ia sudah putus asa dan hendak memilih tidur saja di kamarnya, tetapi pandangan matanya tertuju pada pintu kamar saudara kembarnya yang berada tepat di sebelah kamar Rena sendiri. Jadilah Rena melangkahkan kaki ke sana, meski tahu kalau saudara kembarnya pasti akan marah-marah jika direcoki olehnya. Ya, tapi apa boleh buat, Rena sedang butuh hiburan. Kebetulan, Gio merupakan salah satu sahabat karib kembarannya itu. Bisa jadi, setelah mendengar unek-uneknya tentang Gio, laki-laki itu akan langsung dimarahi oleh kembarannya. Yah, mainnya ngaduan. "Rean!" Satu kebiasaan Rena setiap kali ingin masuk ke dalam kamar saudara kembarnya, dia pasti meneriakkan nama Rean, lalu membuka pintu tanpa mengetuk lagi. Dan itupun dilakukannya saat ini. Biasanya lagi, jika Rena melakukan itu, saudara kembarnya akan marah-marah, berulang-ulang mengingatkan Rena untuk mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk. Tetapi, begitu pintu berwarna putih tersebut terbuka, Rena tidak mendapati keberadaan seorang Rean di dalam kamar yang bernuansa abu-abu di hadapannya saat ini. Ruangan itu kosong, tanpa adanya tanda-tanda benda bernyawa di dalamnya. Pemandangan tersebut tidak mengurungkan niat Rena untuk masuk ke dalam. Ia pikir mungkin Rean sedang main ke rumah Ben-sahabat karibnya yang lain yang rumahnya tepat di seberang jalan. Biarlah jika Rean memang tidak ada, setidaknya Rena bisa tiduran sebentar di kamar Rean yang entah mengapa selalu saja terasa lebih nyaman dari kamarnya sendiri. Rena baru saja hendak menghempaskan tubuh ke atas tempat tidur king size yang berlapis seprei berlambang klub bola favorit Rean. Namun, ia segera mengurungkan niat begitu melihat laptop Rean dalam keadaan terbuka dan menyala ada di atas meja belajar laki-laki itu. Dari tempatnya berdiri, Rena bisa melihat kalau layar laptop tersebut menampilkan sebuah video yang sedang di-pause, kemungkinan video itu adalah film. Rena pun segera bergerak menuju meja belajar Rean dan mendudukkan dirinya di atas kursi meja belajar itu. Ia jadi tertarik untuk melihat film tersebut karena sejauh ini, film-film yang ditonton Rean selalu bagus. Ah, melihat film tersebut sedang di-pause, Rena berpikir kalau kemungkinan Rean sedang turun ke dapur untuk mengambil camilan. Laki-laki itu memang tidak bisa nonton film tanpa camilan. Tebakan Rena tentang Rean pergi ke rumah Ben pun sudah pasti melenceng. Tangan Rena kini sudah berada di atas mouse yang terhubung dengan laptop. Ia menggerakkan mouse hingga panah kursor muncul. Lalu, Rena pun mengklik mouse untuk memutar film yang di-pause itu. Biarlah saat Rean kembali nanti dia marah-marah karena merasa mendapat gangguan dari Rena. Yang terpenting saat ini, Rena butuh hiburan, dan kamar Rean menyediakan hiburan itu. Dengan serius Rena menatapi layar laptop yang kini sudah memutar film yang bahkan judulnya belum diketahui Rena apa. Namun, belum sampai semenit film itu diputar, kening Rena berkerut dalam, dan kemudian, ia menegang di tempat duduknya melihat apa yang sedang terputar di dalam layar laptop tersebut. Kedua mata Rena melebar dan bulu kuduknya seketika meremang. Ia meringis jijik sebelum akhirnya kembali menghentikan film itu dengan tangan bergetar. Rena shock berat atas apa yang baru saja ditontonnya. Tepat setelah itu, suara pintu kamar mandi yang terbuka mengejutkan Rena. Ia segera berbalik menghadap pintu kamar mandi yang terletak di samping kiri kamar. Di sana, dilihatnya Rean baru saja menghembuskan asap rokok terakhir sebelum mematikan rokok tersebut dan membuang puntungnya di tempat sampah yang ada di sudut kamar. Ia belum menyadari keberadaan Rena saat itu. Dan ketika ia mengangkat kepala hingga tatapan matanya langsung tertuju pada Rena yang masih menatapnya dengan raut wajah shock, Rean mematung di tempat. Diliriknya laptop yang ada di meja belajarnya, kemudian diliriknya saudara kembarnya secara bergantian. "Shit." Meski diucapkan dengan tidak jelas, Rena masih bisa mendengar u*****n Rean itu karena keadaan ruangan yang hening. Ditatapnya Rean yang masih mematung di tempat, lalu disadari oleh Rena kalau wajah laki-laki itu kini sudah memerah. Dan mungkin saja, wajah Rena juga sama memerahnya dengan wajah Rean saat ini. "Well, gue nggak nyangka bakal mergokin eksistensi sebuah film p**n di laptop lo," kata Rena kemudian. Suaranya sedikit bergetar saat mengatakan itu. Lalu, tanpa menunggu balasan dari Rean, ia segera berlari keluar meninggalkan kamar itu. Seketika Rena lupa tujuan awalnya datang ke sana, lupa juga dengan Gio, dan kekesalannya. Rena terlalu terkejut karena baru saja menemukan film yang seharusnya ditonton oleh seseorang yang berusia delapan belas tahun ke atas, di laptop seorang Rean yang baru saja genap berusia enam belas tahun. [].
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD