Bab 1. First Meet

2012 Words
Jordan Alexiel Collins mengecek penampilannya di cermin sekali lagi. Dia tak ingin mempermalukan diri, dia ingin penampilannya sempurna pada hari pertama dia bersekolah di sekolah barunya. Setelah yakin semuanya lengkap, termasuk peralatan sekolah, pemuda tujuh belas tahun itu segera mengambil sepedanya. Jordan ke sekolah memang menggunakan sepeda. Jarak sekolah dan flatnya tidak terlalu jauh, kurang lebih dua puluh menit maka dia akan sampai. Sengaja Jordan memilih tempat tinggal yang dekat, karena dia hanya mempunyai sepeda itu saja sebagai alat transportasi. Jordan bukan orang kaya. Dia tinggal seorang diri di flat kecil yang mampu dikontraknya dengan bekerja part time di sebuah restoran cepat saji. Dia tidak punya siapa-siapa. Jordan sudah sendiri sejak dia kecil, entah sejak kapan dia tidak ingat. Lagipula semua itu tidak terlalu penting baginya. Yang paling penting adalah dia bisa bersekolah seperti remaja lainnya, dapat tempat tinggal dan dia tidak kelaparan. Soal pekerjaan, dia akan bekerja apa saja, asalkan mendapatkan uang dan tidak melanggar hukum. Jordan memarkirkan sepedanya di tempat parkir khusus roda dua di pelataran parkir sekolah. Pemuda itu meringis, tempat parkir khusus ini penuh dengan motor, hanya dia yang menggunakan sepeda. Malu? Tentu saja tidak. Dia membeli sepedanya dengan uang hasil keringat sendiri, bukan hasil meminta kepada orang tuanya. Menghembuskan napas melalui mulut, Jordan menyugar rambut pirangnya. Memikirkan orang tua hanya membuat dadanya berdenyut perih, karena sampai sekarang dia masih belum tahu siapa orang tuanya. Collins bukan nama keluarganya sesungguhnya. Dia hanya menggunakan nama belakang itu untuk keperluan penting dan mendesak. Seperti mendaftar sekolah misalnya. Sekali lagi Jordan menghembuskan napas. Entah ini sekolah keberapa yang sudah dimasukinya. Dia beruntung karena sekolah ini masih mau menerima dirinya, padahal ini tengah semester. Mungkin karena nama Collins dibelakang namanya. Padahal nama itu tak ada hubungannya dengan keluarga Collins yang terkenal itu. "Hi, how you doing?" sapa Jordan ramah pada salah satu siswa yang juga memarkirkan motornya. Dia harus bersikap sopan dan menyapa lebih dulu kalau ingin mendapatkan teman. Pengalamannya yang sering berpindah-pindah sekolah mengajarkan. Siswa itu melepas helm-nya. Wajah tampan dan senyum ramah menghangatkan pandangan Jordan. Siswa itu menepuk bahunya. "Murid baru?" tanyanya. Jordan mengangguk. "Yeah." "Selamat datang kalau begitu. Semoga kau betah." Jordan mengangguk lagi. "Sure!" Jordan tersenyum. "Gareth Jones." Siswa itu menyebutkan namanya. Tangannya terulur untuk menjabat tangan Jordan. "Jordan Alexiel." Jordan juga menyebutkan namanya sambil menyambut uluran tangan Gareth. "Well, bruh, wish you enjoy your first day. And once again, welcome!" Sekali lagi Jordan mengangguk. "Sebaiknya kau segera melapor pada kepala sekolah, atau kau akan terlambat." Astaga, bagaimana mungkin dia bisa lupa pada hal sepenting itu. Jordan menepuk dahinya. "Ah aku lupa. Terima kasih sudah mengingatkan." Jordan mengangkat kepalan tangannya, menyatukannya dengan kepalan Gareth. "Sampai jumpa, bro. Senang mengenalmu." Setelah ber-tos ria sekali lagi, kedua pemuda itu berpisah. Jordan setengah berlari memasuki lobby sekolah barunya yang sudah mulai dipadati para siswa. Senyum kecil tersungging di bibir merah alaminya mengingat kalau dia sudah mendapatkan seorang teman dihari pertama dia bersekolah di sekolah baru. Jordan berharap semoga mereka menjadi teman baik nantinya. Jordan berhenti di depan sebuah meja besar setengah melingkar yang terdapat di sisi kanan lobby. Tersenyum manis sebelum menyapa seorang wanita dewasa yang berada di balik meja. "Selamat pagi, Mrs..." Mata biru Jordan mencari name tag yang biasa terpasang di d**a bagian kiri. Tersenyum lagi saat menemukan name tag itu. "Mrs. Tiffany," sapanya sopan. Wanita dewasa itu mengangguk. Senyum manis juga menghiasi bibirnya yang dipoles pewarna bibir merah maroon. "Iya. Ada yang bisa ku bantu, young man?" "Ah yeah!" Jordan tersenyum gugup. Mata cokelat Mrs. Tiffany menatapnya lekat. "Aku Jordan Collins, murid baru. Bisakah anda memberitahukan di mana ruang kepala sekolah berada?" "Owh, I see." Mrs. Tiffany mengangguk. Senyumnya masih mengembang. "Kau naik saja ke lantai dua, di ujung tangga kau belok kanan. Belok lagi ke kiri, ruangan kepala sekolah ada di sana." Jordan mengangguk. "Terima kasih, Mrs," ucapnya sebelum berbalik. Jordan mengikuti arahan dari Mrs. Tiffany tadi. Menaiki tangga dan berbelok ke arah kanan saat di ujung tangga. Di belokan kiri pertama Jordan meneruskan langkah. Matanya sibuk mencari setelah itu. Mengawasi setiap papan nama yang terpajang di atas pintu di tiap ruangan yang dilewatinya. Karena terlalu fokus, juga karena selalu melihat ke atas, ke arah papan nama, Jordan tak sengaja menabrak seseorang atau sesuatu. Suara pekikan seorang gadis membuatnya yakin kalau dia sudah menabrak seseorang, seorang gadis tepatnya. "Maaf, aku tidak sengaja." Jordan segera ikut berjongkok. Sosok yang ditabraknya sedang berjongkok sekarang, memunguti bukunya yang berserakan. Jordan membantu gadis itu memunguti bukunya. "Aku sungguh minta maaf. Aku benar-benar tidak melihatmu tadi." Jordan memberikan buku terakhir. Gadis itu menyambutnya tanpa mengangkat kepala. Dia masih meneliti dan menghitung, apakah semua bukunya sudah lengkap. "Tidak apa-apa," ucap gadis itu seraya berdiri. Jordan mendongak. Menatap sosok di depannya yang ternyata sangat... Wow! Jordan berdiri perlahan sambil matanya tak lepas dari sepasang mata biru gadis itu. Mata yang sangat indah, bathin Jordan terpesona. Tubuh mungil hanya sebatas dadanya, pipi chubby yang merona, berpadu dengan hidung lancip dan bibir peach yang mungil. Dibingkai rambut cokelat yang indah. Benar-benar perpaduan sempurna. Seperti boneka barbie hidup. Jordan mengulurkan tangan yang tak sempat dijabat oleh gadis itu. Ia segera berlalu setelah mendapat panggilan dari temannya. "Jeremia, come on!" "Iya!" Dan gadis barbie itu berlalu. Sebelum menghilang di tikungan, Jordan masih melihat gadis itu menoleh dan tersenyum padanya. Dan Jordan meleleh hanya dengan melihat senyumnya. Jadi namanya Jeremia, bathin Jordan. Baiklah, kalau begitu... "Sampai bertemu nanti, Jeremia." Jordan tersenyum. Pemuda itu kembali melanjutkan niatnya. Dia harus segera menemukan ruang kepala sekolah, atau benar-benar akan terlambat. . . . . . . . . . . Jeremia Rodriguez, tujuh belas tahun. Ternyata tidak sulit untuk mendapatkan informasi tentang gadis itu. Kota ini bukan kota besar seperti New York atau Los Angeles atau pun Washington. Brandville hanyalah sebuah kota kecil. Dan untuk mencari tahu tentang gadis secantik Jeremia tentu sangatlah mudah. Jordan tersenyum. Berharap hari ini dia akan bertemu lagi dengan gadis jelmaan barbie itu. Seperti kemarin, Jordan memarkirkan sepedanya di tempat parkir khusus roda dua yang mana hanya dia yang memarkirkan sepeda. Jordan tak ambil pusing. Pemuda itu segera berlari menuju gedung sekolah yang menjulang tinggi di depannya. Hari ini adalah hari keduanya sekolah. Jordan berharap nasibnya hari ini lebih baik dari sekedar bertabrakan saja. Mereka mengobrol, mungkin. Atau paling tidak saling berkenalan. "Hei, bro. Sup?" Jordan segera menyatukan kepalan tangannya dengan kepalan tangan Gareth. Mereka bertemu lagi, kali ini bukan di parkiran. Mereka bertemu di lorong kelas yang masih agak lengang. "Bagaimana, kau sudah menemukan ruang kepala sekolah?" tanya Gareth. Pemuda itu terkekeh mendengar pertanyaannya sendiri. Karena dia yakin kalau teman barunya ini telah berhasil bertemu kepala sekolah mereka. "Are you kidding me?" Jordan balas bertanya. Pemuda itu juga terkekeh. "Cukup sulit menemukan ruangannya, tapi yeah aku berhasil." Kedua pemuda itu berhigh five lagi. "Lebih sulit dari mencari tahu tentang gadis itu." Jordan menunjuk beberapa gadis yang melewati mereka dengan gerakan kepalanya. Jeremia salah satu diantara mereka. Gareth bersiul menggoda gadis-gadis itu, yang tak dipedulikan mereka tentu saja. Gadis-gadis populer seperti Jeremia dan teman-temannya tidak akan pernah menghiraukan godaan dari pemuda kurang populer sepertinya, Gareth sudah tahu itu. Tapi dia akan tetap mencoba. Siapa tahu salah satu dari keempat gadis itu ada yang tertarik padanya. Kan ia tampan. "Mereka ratu di sekolah ini, dude, kalau kau ingin tau." Gareth menepuk bahu Jordan. Jordan tersentak. "Aku tak heran," sahutnya. "Dia sangat cantik." "Mereka semua memang cantik," komentar Gareth. Mata hazel-nya terus mengawasi kawanan gadis-gadis cantik itu, sampai mereka menghilang di tikungan. "Tidak semuanya, hanya..." "Hanya?" Jordan mengangkat sebelah alis, memutar mata dan menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. "Oh nah!" Gareth menggeleng cepat setelah sadar maksud temannya. Tentu saja, semua laki-laki yang melihat gadis itu pasti akan langsung tertarik padanya. "Nah nah nah!" Tatapan Jordan berubah menjadi tatapan keheranan. "Jangan bilang kalau kau tertarik pada Jeremia?" potong Gareth dengan tatapan horor dilayangkannya pada Jordan. "Kenapa memangnya?" Jordan membalas menatap Gareth. Tatapan herannya berubah lagi menjadi tatapan bertanya. "Dari keempat gadis itu, Jeremia yang tidak boleh dan tidak akan bisa kau dekati." "Tapi kenapa?" Gareth menggeleng, menarik kakinya menuju kelasnya di lantai dua. "Lupakan niatmu mendekati Jeremia kalau kau ingin menjalani hari-harimu dengan tenang, dude." Jordan berlari mengejar Gareth, menjajari langkah pemuda itu. "Jangan pernah berpikir untuk mendekati Jeremia atau kau akan mendapat masalah!" bisik Gareth. Mata hazel-nya bergerak liar kesana-kemari seolah mengawasi sesuatu, atau mungkin seseorang. Jordan mengerjap. Membiarkan Gareth meneruskan langkah menuju kelasnya di ujung koridor. Dia sendiri juga memasuki kelasnya begitu bel tanda masuk berbunyi. Menghiraukan perkataan Gareth, Jordan mencoba fokus pada pelajaran yang sedang diterangkan Mr. Owen di depan kelas sana. Tapi tidak bisa, kata-kata temannya selalu terngiang. Apa Jeremia sepenting itu sampai-sampai tak bisa didekati oleh orang sepertinya? Ayah Jeremia memang salah satu orang kaya dan berpengaruh di kota ini. Itukah alasan yang membuat Gareth memintanya untuk tidak mendekati Jeremia? Jordan menggeleng. Menatap ke depan, ke arah papan tulis. Dia harus berhenti memikirkan Jeremia dan konsentrasi pada pelajaran Mr. Owen kalau ingin mendapatkan nilai sempurna. Bukan hanya pada mata pelajaran Mr. Owen saja dia harus sempurna, tapi pada semua mata pelajaran. Juga di mata para guru. Sebagai murid baru dia harus menunjukkan kepada para gurunya kalau dia adalah siswa yang baik. *** Sepanjang hari ini Jordan banyak mendesah. Hari ini bukan hari yang baik baginya. Dia terlalu banyak melakukan kesalahan. Baik di sekolah maupun di tempatnya bekerja. Di sekolah, dia tak terlalu bisa berkonsentrasi pada semua pelajaran hari ini. Sementara di tempat kerjanya, Jordan beberapa kali salah dalam mengantarkan pesanan ke meja para pelanggan. Dan semua ini dikarenakan satu orang gadis, Jeremia Rodriguez. Jordan mengembuskan napas lelah. Pemuda itu melemparkan tubuhnya ke tempat tidur begitu dia tiba di flatnya yang tak seberapa luas. Memejamkan mata sejenak, mengingat apa saja yang terjadi padanya hari ini. Pemuda itu menggeleng. Sepertinya dia harus berusaha lebih baik lagi besok. Jangan sampai kejadian seperti hari ini terulang. Bangun, Jordan bergegas ke kamar mandi. Dia harus membersihkan diri sebelum tidur. Memang terlalu malam untuk mandi, setidaknya dia bisa gosok gigi dan mencuci kaki. Lagipula dia sudah mandi tadi sore di tempat kerja. Jordan keluar dari dalam kamar mandi hanya menggunakan boxer bertuliskan Calvin Klein di sisi atas boxer. Dia terbiasa tidur seperti itu. Tanpa baju maupun celana, hanya boxer. Dia hanya sendiri di flat. Jadi tak perlu khawatir akan ada yang melihat 'ketelanjangannya'. Sebelum ke tempat tidur, Jordan menyempatkan diri memeriksa tas sekolahnya. Dia ingat, hari ini Mrs. Brigitte memberi kelasnya tugas dan dia belum mengerjakannya. Sedikit pun. Jordan mengambil buku dan peralatan menulis, membawanya ke tempat tidur. Mengerjakan pekerjaan rumah di tempat tidur sungguh bukan ide yang baik. Tapi Jordan tidak punya pilihan lain, dia terlalu lelah untuk duduk tegak di meja belajar. Bersender di kepala ranjang, Jordan menumpuk dua buah bantal yang dimilikinya, meletakkan kedua bantal di pangkuannya sebagai pengganti meja. Jordan mulai mengerjakan pekerjaan rumahnya. Dimulai dari soal yang paling mudah dan seterusnya. Jam digital di nakas menunjukkan angka 12.10 am ketika Jordan menyelesaikan semua pekerjaan rumah dari Mrs. Brigitte. Jordan cepat-cepat membereskan alat-alat tulisnya. Dia sangat mengantuk sekarang. Tadi juga sewaktu mengerjakan pekerjaan rumahnya, Jordan beberapa kali menguap. Untung saja dia masih dapat menahan kantuk dan tidak ketiduran saat mengerjakan tugas. Setelah meletakkan semua alat-alat tulisnya, Jordan ke kamar mandi sekali lagi. Pemuda itu mencuci kaki sekali lagi sebelum benar-benar naik ke tempat tidur. Jordan berbaring, menarik selimut sebatas d**a pemuda itu memejamkan mata. Hanya beberapa detik, mata biru itu kembali terbuka. Bayangan Jeremia yang sedang tersenyum menari di kepalanya. Makin menjadi nyata saat Jordan memejamkan mata. Jordan mengerang kesal. Menghembuskan napas dari mulut, meniup-niup anak rambut yang mulai menutupi mata. Jordan memukul-mukul kasur beberapa kali, kembali memejamkan mata kemudian membukanya lagi. Jordan menggeram tertahan, pemuda itu meremas rambut pirangnya frustrasi. Sudah pukul setengah satu pagi dan dia masih terjaga. Selamat Jordan! Jordan mengerang kesal dalam hati. Jeremia, pergilah dari kepalaku untuk saat ini. Kembalilah saat aku sudah tidur nanti. Kita bertemu di alam mimpi. Duduk sesaat lalu berbaring lagi. Memejamkan mata sekilas, kemudian membuka mata lagi. Begitu seterusnya sampai dia benar-benar lelah dan tertidur dengan sendirinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD