1. Pengantar Koran

1004 Words
"Koran!" teriak wanita cantik berumur dua puluh empat tahun. Pakaian sederhana setiap pagi pukul enam sudah bersender di tempat penerbit surat kabar. Menggunakan fasilitas kendaraan sepeda buntut bukanlah hal biasa baginya. Velda Almorita Wijaya, biasanya di panggil Velda untuk kalangan lokal mengenalnya. Di sekitar daerah kota lokal padat dengan beraneka debu di mana-mana tetap tidak membuat wanita paras ayu dan cantik bermalas-malasan Dia menyukai pekerjaan seperti ini daripada harus bekerja kantoran di usaha bisnis orang tuanya sendiri yaitu Pabrik beras. Kehidupan keluarganya mampu dan sanggup membiayai kebutuhan sehari-hari untuknya. Namun tetap saja Velda tidak menginginkan segala t***k bengek milik keluarganya itu. Dia lebih baik mencari uang sendiri, bekerja seadanya untuk kemandiriannya adalah utamanya. "Vel, bisa minta lotong?" seorang pria usianya sekitar tiga puluh tahunan tapi sudah duda beranak dua, istrinya kawin lari lagi sama pria berduit. Namanya Andra Purnomo Suryo, 36 tahun, profesi sebagai marketing. Tapi, cakep sih mukanya untuk para wanita ada di dunia lokal ya. Kalau dunia lain kurang menahu. "Lotong atau tolong, sih? ngomongnya yang jelas, dong! Nanti benar-benar aku beli lotong di seberang Nenek Anik," semprot si Velda. "Sama sajalah, lotong sama tolong tinggal balikan. Tolong kamu antar koran ini. Dapat pelanggan baru, lumayan dapat makanan Mie kangkung belacan," ucapnya serahkan beberapa paket surat kabar, majalah dan lainnya. "Alamak, dekat banget pun harus di antar! Benar-benar OKB (orang kaya baru) jalan kaki pun malas banget, aku sumpah itu kesemutan terus pantatnya!" merepet si Velda. "Huss ... sembarangan saja kamu, OKB kayak begitu juga rejeki nggak kemana-mana. Sudah cepat berangkat, nanti uang kita melayang nggak dapat makan Mie kangkung belacan!" "Usir nih, ceritanya! Aku baru saja sampai, kasih satu menit kek untuk rehat!" protesnya "Nggak ada waktu lagi, Vel ... nanti habis dari sana, aku kasih kamu waktu istirahatnya 2 jam full, deh! Tapi, potong gaji ..." serunya Menciut bibirnya di pakai kembali topi berlogo V warna hitam. Rambut panjang di gulung masukan ke dalam balik topi itu. "Dasar pelit!" Mendayung kan sepedanya dengan kecepatan sedang. Terik matahari memang buat kulit mulus seperti Velda rela di bakar oleh alam. Tetap saja manis walau pun kecoklatan atau hitam. Masih cakep, tidak membuat orang-orang lewat berpaling muka. Suara rem dari sepedanya di depan pos satpam gedung tinggi dengan terpampang pamflet PT. Agro Astari Cendana. "Selamat siang, Pak!" Velda menyapa si penjaga pos tempat gedung tinggi ini. Bukan gedung tapi pabrik pakan ternak. "Selamat siang juga, mbak. Ada yang bisa di bantu?" sambut penjaganya dari nama tertempel di sebelah kiri dadanya Amir Wahyudi Purba. "Mau antar surat kabar sama beberapa majalah," lapornya paketan ada di keranjang depan sepedanya. "Oh ... masuk saja, mbak," ucap Amir persilakan Velda langsung menemui informasi. "Oke, Pak, Terima kasih." Di dorong sepedanya kemudian di parkir dengan deretan kereta beroda dua itu. Kemudian, di buka topinya rambut di gulung tadi terurai bebas sampai angin pun menyentuh dan memainkannya. Dia pun masuk ke dalam, aroma ternak tercium sangat menyengat di hidungnya. Namanya juga pabrik pakan, tetap saja aromanya tetap tercium. "Selamat siang, mbak,"sapanya lagi. Seorang wanita duduk tengah mencatat laporan keluar masuk barang dari mobil truk. Wanita itu mengangkat kepala, tatapannya tajam sepertinya galak banget. Velda tetap sesuai amanah sopan santunnya. "Ada paket dari...." "Taruh di sana!" potongnya kemudian, lalu kembali melanjutkan laporan di atas mejanya. Velda seperti orang b**o saja, " judes amat." Dia pun meletakkan paket itu di atas meja kerjanya. "Eh! Tanda tangan dulu!" teriak wanita itu, Velda menoleh, kembali melangkah kemudian menanda tangani bawah barang sudah sampai. Sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu utama dimana Velda keluar bersiap kembali ke tempat kerjanya. Dia menggulung rambut panjangnya kemudian di pakai topi ada di celananya. Sosok pria paras biasa saja keluar kedua mata mereka bertemu cukup lama, soalnya Velda menatap pria senyum padanya. Sayangnya Velda tidak menanggapi malah mendorong sepeda keluar dari pabrik berbau kotoran ternak. Pria itu masih memperhatikan sosok wanita cantik dan sedikit tomboi, tidak lepas dari pandangan pertama. "Bapak Arka ... Halo, Pak!" suara berat dari samping buat pria itu kembali ke alam dunia nyatanya. Pikiran berkecamuk membayangkan sosok wanita tadi. Dua bola matanya benar buat perasaan semakin ingin mengenal lebih. Arka Damian Kalandra, 28 tahun, seorang pria muda, pengusaha pakan ternak dari keluarganya sendiri. Sifatnya tergolong sangat sederhana namun berkelas untuk kalangan masyarakat setempat. Apalagi untuk wanita lokal saja jatuh hati untuk bersiap rela menjadi istri kedua atau pun seterusnya. Wajahnya itu memang biasa jauh beda dari pria kaya raya namun tampan. Dia setara dengan pria lokal indonesia, nggak ganteng tapi manis dan misterius. "Paket dari saya sudah datang?" suara berat dalam serak buat wanita ada di depan sedang mengerjakan laporan berabad-abad itu mendongak. "Sudah, Pak," jawabnya berikan kepada Arka. Dia menerima dan juga laporan tandan Terima dari pengiriman. Tanda tangannya tidak tercantum nama. "Siapa yang antar paketnya?" tanya Arka sekali lagi. "Tadi seorang wanita yang antar, baru saja keluar sekitar sepuluh menit yang lalu," jawabnya. "Oke, lain kali lebih teliti kalau paket masuk cantumkan namanya, untuk hari ini kamu aman, untuk selanjutnya gajimu saya potong setengah," katanya kemudian pergi meninggalkan tempat itu. Wanita yang duduk di depan tidak berkutik, terlalu shock. Seumur hidup dia nggak pernah salah walau si kurirnya nggak ada nama. Sampai di tempat kerja, Velda memarkirkan sepeda di dekat pos satpam. Duduk sejenak kemudian di buka botol aqua dekat pos satpam itu. "Capek ya, Vel?" tegur satpamnya sudah berusia puluhan tahun. Namanya Santo, 50 tahun. Sudah lama bekerja di tempat penerbitan surat media selama 30 tahun. Lama benar ya ... Dari masa muda hingga cucu dan cicit. "Iya nih, Pak. So hot, belum lagi jam makan siang masih lama. Perut sudah berdemo," ucapnya mengipas-ngipasi pakai topinya. Sebiji jagung bercucuran di setiap inci kulit pada wajahnya. Velda bangkit dari duduknya kemudian melangkah kaki untuk menyebrang salah satu warung Nenek Anik. Seperti biasa bantu cuci piring sama makan gratis dari pemilik warungnya. Itulah kebiasaan Velda, apa orang tuanya tidak marah. Tetapi baginya pekerjaan ini adalah jiwanya, walaupun halangan dari kedua orangtuanya membuat ia harus sabar menghadapinya. Apalagi sang mama yang selalu mengekang dirinya bekerja tempat seperti itu. *** jangan lupa tinggalkan jejak lovenya, manteman...  Tunggu update-an lanjutannya.  Terima kasih :) 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD